Niatnya mulia, ingin membantu perekonomian keluarga, meringankan beban suami dalam mencari nafkah.
Namum, Sriana tak menyangka jika kepergiannya mengais rezeki hingga ke negeri orang, meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil – bukan berbuah manis, melainkan dimanfaatkan sedemikian rupa.
Sriana merasa diperlakukan bak Sapi perah. Uang dikuras, fisik tak diperhatikan, keluhnya diabaikan, protesnya dicap sebagai istri pembangkang, diamnya dianggap wanita kekanakan.
Sampai suatu ketika, Sriana mendapati hal menyakitkan layaknya ditikam belati tepat di ulu hati, ternyata ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Isyt : 23
Sebelumnya.
Baru saja Triani menutup pintu depan, dia berjalan hendak ke pasar. Rutinitasnya setiap pagi hari kecuali hari Minggu.
Sriana mengintip dari balik jendela, menunggu sampai lima menit, baru setelahnya dia menjalankan rencana sudah dipikirkan jauh hari.
Sengaja bermain ponsel, menggeser layar menyala di samping nenek yang memiliki keingintahuan tinggi.
Rencananya berhasil, nenek bertanya. “Apa yang kamu lihat, sepertinya hal menyenangkan.”
Dia mendekatkan ponselnya agar nenek juga dapat melihat. “Sedang ada discount di restoran samping apartemen Nyonya. Bukankah ini menu kesukaan, Nenek?”
Mata tua itu menyipit sampai keningnya mengerut. “Ambilkan kacamataku!”
Sang wanita yang mengenakan baju lengan panjang warnah hitam pun menurut, mengambil kacamata baca di atas meja pojok kamar.
“Tolong aku, ambilkan telepon rumah.” Tangannya masih terus menekan foto agar ponsel tetap menyala.
Sriana melangkah cepat ke ruang tamu, mengambil telepon jenis wireless.
Nenek langsung merengek ke anak bungsunya yang setiap akhir bulan datang ke sini. Meminta dibelikan satu porsi kwetiau goreng campur daging sapi lunak.
Adakalanya orang sepuh itu bertingkah layaknya anak kecil, bila keinginannya tidak dituruti, maka aduannya langsung tembus sampai Kanada. Tak jarang pula mengumpat khas nya, hal biasa bagi para lansia HK.
Sesudah mendengar kata 'iya saya belikan', langsung dia tertawa lalu memuji anaknya setinggi langit.
Percayalah, Sriana menahan tawa sambil tersenyum geli. ‘Kita lihat Tria, alasan apa yang dapat menyelamatkanmu kali ini.’
Kemudian Sriana keluar rumah sebentar, mengambil paper bag yang dia titipkan ke Eka.
“Piye anaknya nenek Tapasya, mbak Sri? Mesti mencak-mencak ‘kan?” dia menanyakan tentang reaksi Triani yang pasti melihat postingannya di media sosial.
“Ya gitulah, seperti penari India yang ditiup seruling biar kembali menjadi Ular, guling-guling rah genah.”
Kedua wanita itu terkikik, lalu Sriana kembali masuk rumah, menyimpan baik-baik ponsel serta skincare nya.
Kurang lebih satu jam kemudian, sebuah mobil listrik berhenti di tepi jalan. Sosok yang sebenarnya berumur empat puluh tahun, tapi terlihat seperti awal tiga puluh tahunan itu keluar seraya menenteng plastik ada logo restoran.
Si bungsu disambut sang ibu yang duduk di kursi roda, menonton televisi diruang tamu.
Sriana menyapa sopan, dan dibalas ramah. Si nyonya mencari keberadaan pembantunya satu lagi.
“Belum pulang dari pasar. Aku rasa dia pacaran dengan penjual daging Babi disana. Setiap hari pulangnya siang-siang,” adu nenek.
Nyonya tidak langsung percaya, karena ibunya suka mendramatisir keadaan.
Sriana pun melanjutkan pekerjaan seperti biasa, tidak terlihat sedang cari muka. Dia pergi menjemur baju di balkon, membiarkan anak dan ibu itu berbincang.
Sampai pukul setengah sebelas, Triani juga belum kembali.
***
Hingga jarum jam menunjukkan pukul sebelas lewat sepuluh menit, baru sosok wanita yang sudah bekerja hampir enam tahun itu masuk rumah.
"Kamu anggap rumah saya hutan ya, Triani?" ia mencoba menahan amarah, tidak gegabah, tak langsung memutuskan saat itu juga.
"Nyo _nya?” lidahnya keluh, terlebih melihat tatapan tajam menelisik dirinya lalu tas belanjaan di atas lantai.
Cepat-cepat dia raih lagi tali tas, menunduk dalam tidak berani memandang majikannya.
"Kamu ke pasar atau pergi bertamasya? Sudah masuk tengah hari baru kembali. Kemana saja dirimu?” tanyanya dengan nada dingin.
Sejenak Triani terdiam, lalu mendongak menatap nelangsa. “Tadi saya menunggu kios penjual dumpling buka.”
"Maaf Nyonya, saya berteriak dikarenakan sedang sakit perut.” Kepalanya kembali menunduk dalam.
Tak ada tanggapan, nyonya pun berbalik badan. Dia bukan tipe orang meledak-ledak, diamnya juga tidak boleh dianggap remeh.
“Ana, saya pulang dulu.” Bukan kepada Triani dirinya pamit, tetapi Sriana. Melewati begitu saja pembantu lamanya.
Dia menelepon sang sopir yang tadi disuruh parkir mobil di tempat aman, sehingga tidak terlihat oleh Triani.
Selepas kepergian sang majikan, mata Triani bergerak liar memandang setiap sudut ruangan.
Sriana mendengus pelan, dia tahu apa yang dicari kakak sepupunya itu.
“Ini ulahmu ‘kan, Sri?” suaranya menggeram. “Kamu sengaja mau membuatku terlihat buruk di depan Nyonya, ngaku!”
Sriana terkekeh. “Sebelum menuduh, lebih baik cari tahu dulu. Kebetulan nenek nonton televisi di kamarnya, sana tanya sendiri kenapa tiba-tiba anaknya datang. Lagian ini kan rumahnya, terserah dia lah mau kesini kapan saja.”
Triani belum puas dengan jawaban sepupunya, dia mengikuti Sriana ke dapur sambil membawa tas belanjaan. “Kenapa kamu ndak ada chat aku kalau Nyonya datang?”
“Sudah tak WhatsApp, cek sendiri sana!” Sri melanjutkan mencuci sayur.
Triani membanting tas belanjaan diatas meja, buru-buru mengambil ponsel di tas selempang. “Ndak ada!”
“Yang nomor Indonesia, bukan Hongkong,” ucap Sriana.
“Kok kamu kirim pesan ke sana, bukannya ke nomor ini? Sengaja pasti!” dia tetap ingin menyalahkan.
“Mana aku tahu kamu bawa ponsel yang mana. Biasa juga kalau tak chat ke nomor satu lagi langsung direspon,” kilahnya membela diri. Padahal dia tahu kalau hari ini Triani tidak membawa kedua ponselnya. Handphone satu lagi tertinggal di atas kasur kamar mereka.
Emosi Triani belum juga reda, dia cemas kalau majikannya berubah sikap kepadanya. “Apa saja yang dilakukan Nyonya?”
“Ngobrol bareng nenek, setahuku cuma itu.”
“Dia ndak ada pasang kamera tersembunyi ‘kan?” ini yang dia takutkan, bertahun-tahun dirinya kerja disini tanpa kamera pengawas membuatnya leluasa melimpahkan semua pekerjaan ke Sriana.
“Nggak. Kalau kamu ndak percaya periksa saja sendiri!” Sriana mengeluarkan barang belanjaan dari dalam tas. ‘Untuk sekarang memang tidak, tapi aku kedepannya bisa jadi sebaliknya.’
Sriana bukanlah wanita terlalu bodoh, dia paham kalau orang Cina itu kalau sudah percaya maka akan baik, tapi sekalinya dikhianati jangan harap mudah mendapatkan kepercayaan itu lagi.
Melihat bagaimana raut dingin sang nyonya, dia memiliki keyakinan tinggi, tak lama lagi pasti akan ada gebrakan baru, dan dirinya tidak sabar menunggu hari itu tiba.
Bukan gayanya mengadu, bermulut manis, itu hobinya si Triani. Suka menjilat, pintar bersilat lidah dan berakting.
Sriana menggunakan cara cerdik sekaligus licik, membiarkan majikannya meraba, menerka, dan bertindak sendiri setelah di pancing dengan hal jauh dari apa yang selama ini didengar, dilihat sekilas tentang sikap manis Triani bila dihadapan sang nyonya.
***
Semenjak kedatangan tiba-tiba nyonya rumah, Triani selalu pulang belanja tepat waktu. Dia masih takut kalau majikannya bertindak yang akan merugikan dirinya.
Sikapnya ke Sriana masih sama, semena-mena. Contohnya hari ini, dia pergi berlibur tapi tidak tahu diri meninggalkan kerjaan menumpuk yang dari semalam enggan diselesaikan.
Cucian piring menumpuk di kitchen sink, lantai dapur masih berminyak, kamar mandi bau air seni karena tidak disikat.
Sudah dua hari nenek merasa tidak enak badan, manjanya kambuh. Tidak mau ditinggal barang sejenak pun, sehingga Sriana terus berada didekatnya, dan pekerjaan rumah terbengkalai.
Jam sepuluh pagi, Sriana baru selesai membereskan rumah.
Namun tiba-tiba dia kedatangan majikan perempuan dan juga laki-laki.
Sriana terkejut, dalam hati langsung menerka. Dia bersikap sopan, menyapa ramah.
“Ana, saya mau minta tolong – pergilah ke hunian saya, ambilkan barang yang tadi mau dibawa kesini tapi ketinggalan. Nanti ada Cece yang kasih ke kamu, dia tidak libur,” pinta nyonya berwajah cantik, nada hangat.
“Baik, Nyonya.” Sriana bergegas naik ke lantai dua, masuk ke dalam kamar dan berganti pakaian lebih tebal dikarenakan diluar dingin.
“Aku ndak sabar melihat bagaimana kisah akhir mu disini Triani.”
.
.
Bersambung.
semoga berhasil ambil Semua yg berharga,🤲🤲🤲
ada paparazi
lek Dimas?
naaaaaa kaaannnn
sudah lama hubungan mereka
🤬🤬🤬🤬🤬
part Iki misuh troooosss kak cublikkkkk 😆😆😆
astagfirullah astagfirullah astagfirullah astagfirullah
haduuuwww seketika ngakak
🤣🤣🤣🤣maaf zaaa✌️✌️✌️
Treek Treeekkkk
sekarang mulai menata dr awal
pelan tpi pasti keluar dari jeratan laki2 gak guna!
sampai mau nikah dgn laki2 mokondo?
apa ada campur tangan Ita mbokne Tri?
akan ada kegemparan apa?🤔
bener kui Sri 👍👍👍
langsung muntah ke mukamu gooooonggggg
ngarang kentang 🥔
opo mau lewat hape
emange Trisundel, muaaaaaaakkkkk 🤢🤢🤢
tensi meroket huasy* Kowe guuunggg!!!!
astagfirullah astagfirullah astagfirullah
yg ngitung gaji siapa!