Di tengah gelapnya dunia malam, seorang Gus menemukan cahaya yang tak pernah ia duga dalam diri seorang pelacur termahal bernama Ayesha.
Arsha, lelaki saleh yang tak pernah bersentuhan dengan wanita, justru jatuh cinta pada perempuan yang hidup dari dosa dan luka. Ia rela mengorbankan ratusan juta demi menebus Ayesha dari dunia kelam itu. Bukan untuk memilikinya, tetapi untuk menyelamatkannya.
Keputusannya memicu amarah orang tua dan mengguncang nama besar keluarga sang Kiyai ternama di kota itu. Seorang Gus yang ingin menikahi pelacur? Itu adalah aib yang tak termaafkan.
Namun cinta Arsha bukan cinta biasa. Cintanya yang untuk menuntun, merawat, dan membimbing. Cinta yang membuat Ayesha menemukan Tuhan kembali, dan dirinya sendiri.
Sebuah kisah tentang dua jiwa yang dipertemukan di tempat paling gelap, namun justru belajar menemukan cahaya yang tak pernah mereka bayangkan.
Gimana kisah kelanjutannya, kita simak kisah mereka di cerita Novel => Penebusan Ratu Malam.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Arsha menata kotak makan itu dengan rapi di atas meja teras. Ia membuka tutupnya, membiarkan uap hangat dari nasi kuning dan aroma harum suwiran ayam pedas menyeruak, mencoba mengalahkan sisa aroma pahit yang masih menempel di baju Ayesha.
"Wah, kelihatannya enak sekali," gumam Ayesha pelan, mencoba memecah kecanggungan. Ia duduk di kursi kayu dengan gerakan kaku, masih merasa 'kecil' di hadapan Arsha yang tampak begitu tenang.
Arsha menyodorkan sendok plastik yang sudah ia bersihkan. "Ini resep rahasia dari restoran jadul tempo dulu. Katanya, kalau makan ini saat sedih, nasinya bisa memberikan energi ekstra untuk hati yang sedang lelah. Coba sedikit."
Ayesha menyuap nasi itu perlahan. Rasa hangatnya seketika menjalar ke perutnya yang kosong sejak kemarin. "Enak," ucapnya tulus. Untuk pertama kalinya sejak pemakaman ibunya, ada sesuatu yang terasa benar masuk ke tubuhnya.
Melihat Ayesha mulai makan, Arsha tidak lantas menceramahinya tentang rokok atau botol yang ia sembunyikan. Sebaliknya, ia justru tersenyum kecil sembari memperhatikan seekor burung yang hinggap di pagar.
"Tahu tidak, Ayesha? Tadi pagi saat mau ke sini, saya hampir saja salah masuk mobil," ujar Arsha tiba-tiba dengan nada jenaka.
Ayesha mendongak, alisnya bertaut. "Hah? Bagaimana bisa?"
"Efek kurang tidur karena memikirkan doa semalaman mungkin," Arsha terkekeh pelan, sengaja memberikan kode halus tentang perhatiannya. "Saya hampir membuka pintu mobil tetangga yang warnanya sama. Untungnya, pemiliknya belum keluar. Kalau tidak, mungkin sekarang saya tidak membawa nasi kuning, tapi sedang diinterogasi di kantor polisi karena disangka pencuri mobil yang sangat sopan karena mengetuk pintu dulu."
Tawa kecil yang singkat akhirnya lepas dari bibir Ayesha. Itu adalah suara paling indah yang didengar Arsha pagi ini. "Kamu? Jadi pencuri? Mana ada pencuri pakai baju serapi itu, Arsha."
"Jangan salah," Arsha menyahut sambil pura-pura memperbaiki kerah bajunya dengan gaya sombong yang dibuat-buat. "Pencuri hati itu biasanya memang berpakaian rapi supaya korbannya tidak curiga."
Wajah Ayesha memerah seketika. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan senyumnya di balik suapan nasi. Candaan ringan itu perlahan-lahan meruntuhkan dinding pertahanan yang ia bangun sejak semalam. Kesunyian yang tadi terasa mencekam, kini berubah menjadi keheningan yang nyaman.
"Terima kasih, Arsha," bisik Ayesha setelah tawa mereka mereda. "Terima kasih karena tidak bertanya, tidak menghakimi, dan... terima kasih karena tetap di sini meski kamu tahu aku tidak sesempurna bayanganmu."
Arsha meletakkan sendoknya, menatap Ayesha dengan binar mata yang penuh kesungguhan. "Ayesha, saya ke sini bukan untuk mencari kesempurnaan. Kalau saya mencari kesempurnaan, saya mungkin akan tetap tinggal di dalam kamar saja sambil bercermin."
Ia menjeda sejenak, membuat Ayesha kembali tertawa kecil.
"Saya ke sini untuk menemani seorang wanita hebat yang sedang berjuang. Tugas saya bukan untuk membuang awan mendung di atas kepalamu, tapi untuk memegang payung supaya kamu tidak basah sendirian sampai mataharimu terbit lagi."
Ayesha menatap Arsha lama, merasakan kehangatan yang lebih nyata daripada alkohol yang ia minum semalam. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin ia memiliki harapan untuk sembuh.
"Habiskan nasinya," pinta Arsha lembut. "Setelah ini, bagaimana kalau kita siram tanaman di halaman depan? Sepertinya mereka juga butuh diajak bicara seperti kita."
~
Matahari mulai merangkak naik, menyinari halaman rumah Ayesha yang sedikit terbengkalai. Arsha mengambil selang air di sudut taman, lalu mulai mengalirkan air yang jernih ke arah deretan tanaman mawar dan pucuk merah yang tampak haus.
Ayesha berdiri di sampingnya, memegang gunting tanaman untuk merapikan beberapa daun yang kering. Suasana yang tadinya penuh tawa pelan-pelan berubah menjadi lebih tenang, lebih kontemplatif.
"Ayesha," panggil Arsha. Suaranya kini lebih rendah, lebih mantap, namun tetap terjaga kelembutannya. "Boleh aku bicara sesuatu yang lebih serius?"
Ayesha menghentikan gerakannya. Jantungnya tiba-tiba berdegup lebih kencang. Ia hanya mengangguk pelan, tetap menunduk menatap tanah yang basah oleh air.
"Semalam, di sela sujudku, namamu tidak pernah absen aku sebut," Arsha menghentikan aliran air sejenak, ia memutar tubuhnya menghadap Ayesha sepenuhnya. "Aku bukan pria yang suka mengulur waktu untuk sesuatu yang sudah diyakinkan oleh hati. Aku ingin memuliakanmu, Ayesha. Aku ingin membawamu ke dalam ikatan yang diridhai-Nya."
Arsha menarik napas dalam, matanya menatap Ayesha dengan ketulusan yang murni. "Aku ingin menikahimu. Aku ingin kita membangun masa depan bersama, dalam bingkai yang halal. Aku ingin menjadi imammu."
Dunia seakan berhenti berputar bagi Ayesha. Gunting tanaman di tangannya hampir saja terjatuh. Kalimat itu - 'kalimat yang seharusnya menjadi impian setiap wanita' justru terasa seperti petir di siang bolong bagi Ayesha.
Ia terdiam. Lidahnya kelu. Pikirannya seketika terbang jauh ke balik dinding-dinding pesantren yang megah, ke arah keluarga Arsha yang sangat dihormati, dan ke arah sosok kiai dan ustadzah yang begitu bersahaja.
"Arsha..." suara Ayesha bergetar. "Kamu tahu siapa kamu? Kamu adalah seorang pemimpin agamamu. Keluargamu adalah penjaga moral, orang-orang suci yang dihormati ribuan murid."
Ayesha mendongak, matanya mulai berkaca-kaca, namun bukan karena bahagia, melainkan karena ketakutan yang luar biasa. "Sedangkan aku? Aku bukan sekadar wanita yang merokok atau minum alkohol, Arsha. Aku punya masa lalu yang... yang jika keluargamu tahu, mereka mungkin akan merasa rumahmu telah dikotori oleh kehadiranku."
Ia meremas jemarinya sendiri yang terasa dingin. "Aku ini wanita malam, Arsha. Aku hidup di dunia hitam yang sangat jauh dari cahaya agamamu. Bagaimana jika mereka tahu? Bagaimana jika statusku terungkap? Aku tidak ingin menjadi noda hitam di baju putihmu yang bersih."
Arsha tidak tampak terkejut. Ia justru melangkah satu langkah lebih dekat, namun tetap menjaga jarak yang sopan.
"Ayesha, dengarkan aku," ucap Arsha tenang. "Masa lalu adalah milikmu, tapi masa depan adalah milik kita bersama. Allah adalah Sang Maha Pengampun, lantas siapakah manusia sehingga berani menutup pintu tobat bagi sesamanya? Aku tidak meminang masa lalumu, aku meminang dirimu yang hari ini sedang berjuang untuk bangkit."
"Tapi keluargamu, Arsha... kehormatanmu..." potong Ayesha dengan isakan yang mulai terdengar.
"Aku yang akan menjadi tamengmu," jawab Arsha tanpa ragu. "Aku tidak menjanjikan jalan yang tanpa kerikil, tapi aku menjanjikan tangan yang tidak akan pernah melepasmu saat kerikil itu membuatmu tersandung. Statusmu di mata manusia bisa saja rendah, tapi statusmu di mata Tuhan ditentukan oleh bagaimana kamu mengakhiri perjalanan ini."
Ayesha memalingkan wajah, menyembunyikan tangisnya yang mulai pecah. Ia merasa berada di persimpangan jalan, antara meraih tangan yang menawarkan surga, atau tetap bersembunyi di kegelapan karena merasa tak pantas mendapatkan cahaya.
...----------------...
Next Episode....
Bagaimana reaksi Ayesha selanjutnya? Apakah ia akan meminta waktu untuk berpikir, atau justru meminta Arsha untuk menjauh demi kebaikan pria itu?
Kita baca di Up episode selanjutnya yaaa... Jangan kemana-mana, pantengin terus...
duh Gusti nu maha agung.... selamatkan keduanya.