NovelToon NovelToon
LUKA YANG KEMBALI

LUKA YANG KEMBALI

Status: tamat
Genre:Teen Angst / CEO / Action / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama / Tamat
Popularitas:112
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 8: SENYUM PALSU

Seminggu berlalu dalam kesunyian yang menyakitkan. Julian tidak menghubungi Laura untuk meeting lanjutan. Tidak ada email. Tidak ada telepon. Hanya keheningan yang membuat Laura semakin cemas dan sakit.

Apakah Julian sedang bersama Maudy? Apakah mereka sedang mencoba memperbaiki hubungan mereka? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui Laura, membuat tidurnya terganggu, membuat fokusnya buyar.

Nia mengunjunginya hampir setiap hari, membawa makanan, menemani, memastikan Laura makan dan tidak larut dalam kesedihannya. Tapi bahkan dukungan Nia tidak bisa sepenuhnya menyembuhkan luka di hati Laura.

Jumat sore, Dina mengetuk pintu kantor Laura.

"Mbak Laura, ada undangan event dari Sentinel Security Services," ujarnya, menyerahkan amplop mewah berwarna emas.

Laura membuka amplop itu dengan perasaan tidak enak. Di dalamnya, kartu undangan untuk acara peluncuran sistem keamanan terbaru Sentinel—semacam product launching dengan mengundang klien-klien potensial dan media.

"Anda diundang ke acara Sentinel Security Innovation Night. Sabtu, 20 Januari 2024. Pukul 19.00. Hotel Raffles Jakarta. Dress code: Formal."

Acara besok malam. Laura menatap undangan itu dengan perasaan campur aduk. Sebagai partner bisnis, dia memang harus hadir. Tapi apakah dia siap bertemu Julian lagi? Bertemu Julian yang mungkin datang bersama Maudy?

Ponselnya berdering. Email masuk dari Julian—email pertama setelah seminggu menghilang.

"Miss Laura, mohon konfirmasi kehadiran untuk event besok malam. Kehadiran Anda sebagai partner bisnis sangat penting. Terima kasih. - Julian Mahardika"

Formal. Dingin. Tidak ada sapaan personal. Tidak ada penjelasan tentang pembatalan meeting minggu lalu.

Laura menarik napas dalam dan membalas:

"Terima kasih atas undangannya. Saya akan hadir. - Laura Christina"

Singkat. Profesional. Menyembunyikan semua sakit di baliknya.

Sabtu malam tiba dengan cepat—terlalu cepat. Laura berdiri di depan cermin apartemennya, menatap pantulannya sendiri.

Dress merah marun panjang dengan potongan elegan memeluk tubuhnya dengan sempurna. Rambut digerai dengan wave lembut. Makeup natural dengan lipstik merah. High heels hitam menambah tingginya beberapa sentimeter. Dari luar, dia terlihat stunning—percaya diri, berkelas.

Tapi di dalam, Laura merasa seperti akan hancur.

"Kamu cantik," ujar Nia yang menemaninya bersiap. "Julian bodoh jika tidak melihat itu."

"Julian tidak perlu melihatku," jawab Laura pelan. "Dia punya Maudy."

"Kamu tidak tahu itu. Belum tentu mereka kembali bersama."

"Aku mendengar percakapan mereka, Ni. Julian bilang dia butuh waktu. Itu artinya dia mempertimbangkan untuk kembali dengan Maudy."

Nia tidak menjawab karena dia tahu Laura benar.

"Aku hanya perlu bertahan malam ini," ujar Laura, lebih pada dirinya sendiri. "Tersenyum, bersikap profesional, dan pulang. Aku bisa melakukan ini."

"Aku akan standby di telepon," ujar Nia. "Kapanpun kamu butuh aku, call me. Aku akan langsung datang."

Laura memeluk sahabatnya itu dengan erat. "Terima kasih, Ni. Untuk segalanya."

Hotel Raffles Jakarta dipenuhi oleh orang-orang berbusana formal. Ballroom besar didekorasi dengan tema modern dan elegan—dominasi warna hitam, perak, dan biru. Layar-layar besar menampilkan logo Sentinel Security Services. Live band memainkan musik jazz di sudut ruangan.

Laura masuk dengan kepala tegak, punggung lurus, dan senyum profesional terpasang sempurna di wajahnya. Beberapa orang menyapanya—klien-klien yang pernah bekerja sama dengan Mahkota Property. Laura menjawab dengan ramah, terlibat dalam small talk, berpura-pura semuanya baik-baik saja.

Tapi matanya terus mencari. Mencari sosok Julian di antara kerumunan.

Dan dia menemukannya.

Julian berdiri di dekat stage, berbincang dengan beberapa orang yang terlihat seperti investor. Dia mengenakan tuxedo hitam yang membuatnya terlihat lebih tinggi, lebih tampan, lebih... tidak terjangkau. Rambutnya ditata rapi, wajahnya terlihat lebih segar dibanding minggu lalu.

Dan di sampingnya, berdiri seorang wanita yang membuat napas Laura tercekat.

Maudy Angelica.

Wanita itu tinggi—hampir setinggi Julian bahkan tanpa heels. Kulitnya eksotis, rambutnya panjang bergelombang dengan warna cokelat keemasan. Dress biru metalik yang dia kenakan membuatnya terlihat seperti model di runway. Dan cara dia berdiri di samping Julian—terlalu dekat, terlalu akrab—membuat jelas bagi siapapun bahwa mereka punya sejarah.

Laura merasa dadanya sesak. Tapi dia memaksa dirinya untuk bernapas, untuk tetap tersenyum, untuk tidak menunjukkan apapun.

Seolah merasakan pandangan, Julian menoleh. Mata mereka bertemu dari seberang ruangan.

Untuk sesaat, ekspresi Julian berubah. Matanya melebar sedikit, bibirnya sedikit terbuka. Dia menatap Laura dengan tatapan yang... Laura tidak bisa membacanya. Terkejut? Kagum?

Tapi moment itu hilang dengan cepat saat Maudy menyentuh lengan Julian, menarik perhatiannya kembali.

Laura mengalihkan pandang, merasa seperti ditampar. Dia mengambil gelas champagne dari waiter yang lewat dan meneguknya—butuh sesuatu untuk menenangkan dirinya.

"Miss Laura Christina?" Seseorang menyapanya. Seorang pria paruh baya dengan senyum ramah. "Saya David Kusuma, dari InvestCorp. Saya dengar Anda project leader untuk Green Valley Residence?"

Laura mengaktifkan mode profesionalnya. "Ya, betul. Senang bertemu dengan Anda, Mr. David."

Mereka terlibat dalam percakapan tentang proyek, tentang industri properti, tentang prospek bisnis. Laura menjawab dengan cerdas, dengan percaya diri—tidak menunjukkan sedikit pun kekacauan di dalam hatinya.

Di tengah percakapan, Laura merasakan pandangan. Dia menoleh sedikit dan melihat Julian menatapnya dari kejauhan—tatapan yang intens, seolah sedang menganalisis sesuatu.

Lalu Maudy datang, merangkul lengan Julian dengan akrab, dan berbisik sesuatu di telinganya. Julian mengalihkan pandangan dari Laura.

Dan Laura merasa hatinya retak sedikit lebih dalam.

Acara dimulai dengan sambutan dari Julian di atas stage. Dia berbicara dengan percaya diri, dengan karisma, menjelaskan inovasi terbaru Sentinel di bidang keamanan cyber-physical. Suaranya jelas, tegas, memukau audiens.

Laura berdiri di antara kerumunan, menatap Julian di atas stage dengan perasaan sakit yang tidak tertahankan. Ini adalah pria yang dia cintai selama sepuluh tahun. Pria yang akhirnya mulai dia kenal dua bulan terakhir. Pria yang tidak pernah—dan mungkin tidak akan pernah—melihatnya lebih dari sekadar partner bisnis.

Setelah sambutan selesai, Julian turun dari stage. Maudy langsung mendekat, menyerahkan gelas wine sambil tersenyum manis.

Laura memutuskan sudah waktunya untuk pergi. Dia sudah hadir, sudah memenuhi kewajibannya sebagai partner bisnis. Tidak ada alasan untuk tetap tinggal dan menyiksa dirinya lebih lama.

Dia berjalan menuju pintu keluar, mencoba tidak terlihat terburu-buru.

"Miss Laura."

Suara itu—suara yang bisa membuat jantungnya berdebar hanya dengan menyebut namanya.

Laura berhenti, menarik napas, dan berbalik dengan senyum profesional terpasang. "Pak Julian. Acara yang luar biasa. Selamat untuk peluncuran produk barunya."

Julian berdiri beberapa langkah darinya, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Anda sudah mau pulang?"

"Ya, saya ada acara lain besok pagi. Jadi—"

"Laura, wait." Julian melangkah lebih dekat. "Tentang minggu lalu... tentang pembatalan meeting. Saya minta maaf. Ada... situasi pribadi yang harus saya tangani."

"Tidak masalah, Pak Julian," jawab Laura, menjaga suaranya tetap netral meski dadanya sesak. "Saya mengerti. Kehidupan pribadi lebih penting."

"Bukan begitu—"

"Julian!" Suara Maudy memotong. Wanita itu berjalan mendekat dengan langkah percaya diri, senyum lebar di wajahnya. Dia merangkul lengan Julian dengan akrab. "Darling, Mr. Henderson ingin bicara denganmu tentang—"

Maudy berhenti saat melihat Laura. Matanya menyipit sedikit, menganalisis Laura dari atas ke bawah dengan tatapan yang membuat Laura merasa seperti diukur dan dianggap kurang.

"Oh, siapa ini?" tanya Maudy dengan nada yang terlalu manis untuk tulus.

"Laura Christina," jawab Julian sebelum Laura bisa menjawab. "Partner bisnis kami untuk proyek Green Valley."

"Ohhh, partner bisnis." Maudy tersenyum—senyum yang tidak mencapai matanya. "Aku Maudy Angelica. Julian's... well, let's just say we go way back."

Dia menekankan kata "we" dengan cara yang membuat jelas klaimnya atas Julian.

"Senang berkenalan dengan Anda," ujar Laura dengan senyum yang sama palsunya.

"Dress-nya cantik," komentar Maudy, tapi nada suaranya menyiratkan sebaliknya. "Vintage style, ya? Jarang yang pakai model seperti ini sekarang."

Itu bukan pujian. Itu hinaan yang dibungkus halus.

"Terima kasih," jawab Laura, tetap tenang meski ingin sekali pergi dari sana secepatnya. "Saya lebih suka classic elegance daripada trend sesaat."

Sedikit comeback yang halus. Maudy mengernyit sedikit.

"Julian, kita harus—" Maudy mencoba menarik Julian pergi.

"Sebentar, Maudy," potong Julian, masih menatap Laura. "Miss Laura, tentang meeting yang tertunda. Apa Anda available Senin sore? Kita perlu finalisasi beberapa hal."

Laura ingin menolak. Ingin mengatakan dia tidak available. Tapi dia tidak bisa. Ini pekerjaan. Ini profesionalisme.

"Senin sore bisa," jawabnya.

"Baik. Saya akan email detail-nya."

"Julian, please, Mr. Henderson menunggu," desak Maudy, mulai tidak sabar.

Julian menatap Laura sejenak lebih lama, seolah ingin mengatakan sesuatu. Tapi akhirnya dia hanya mengangguk. "Sampai Senin, Miss Laura."

Mereka berbalik pergi—Maudy masih merangkul lengan Julian dengan posesif.

Laura berdiri di sana, menatap punggung mereka yang menjauh. Napasnya tercekat, dadanya sesak, matanya mulai terasa panas.

Dia bergegas keluar dari ballroom sebelum air matanya jatuh.

Di parkiran, Laura duduk di mobilnya dan akhirnya membiarkan air matanya mengalir. Tangan yang memegang setir gemetar, napasnya tersengal-sengal.

Tapi yang lebih menyakitkan dari semua ini adalah satu hal: Julian membela Laura tadi. Saat Maudy menghina dress-nya, Laura melihat rahang Julian menegang. Saat Maudy mencoba menariknya pergi, Julian memaksa untuk menyelesaikan percakapan dengan Laura dulu.

Itu bukan tindakan seseorang yang tidak peduli.

Tapi itu juga bukan tindakan seseorang yang mencintai.

Itu hanya... kepedulian profesional. Courtesy. Tidak lebih.

Dan entah kenapa, itu lebih menyakitkan daripada jika Julian benar-benar tidak peduli sama sekali.

Karena kepedulian tanpa cinta hanya membuat harapan palsu tetap hidup. Membuat Laura terus berharap pada sesuatu yang tidak akan pernah terjadi.

Ponselnya berdering. Nia.

"Lau? Sudah selesai? Bagaimana?"

Laura tidak bisa menjawab. Tangisannya pecah.

"I'm coming," ujar Nia tegas. "Share location-mu sekarang."

Dan Laura melakukannya, masih menangis sendirian di mobil di parkiran hotel yang mewah—menangis untuk senyum palsu yang harus dia pasang, untuk sakit yang tidak bisa dia tunjukkan, untuk cinta yang tidak akan pernah terbalaskan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!