Eleanor tak pernah membayangkan akan bertemu Nicholas lagi, mantan suami yang bercerai darinya tujuh belas tahun silam. Semua berawal dari pesta rekan kerja yang ia datangi demi menemani sahabat kecilnya, William. Malam yang mestinya biasa berubah kacau saat tatapannya bertemu dengan Nicholas, lelaki yang dulu pernah ia cintai habis-habisan sekaligus orang yang paling ia hindari saat ini. Pagi hari setelah pesta, Eleanor menemukan dirinya terbangun tanpa pakaian di samping Nicholas. Pertemuan malam itu membawa hubungan baru dalam hidup keduanya. Apalagi setelah Nicholas dikejutkan dengan keberadaan remaja berusia enam belas tahun di rumah Eleanor.
Bagaimana takdir akan membawa hubungan mantan suami istri itu kembali? Atau justru Eleanor akan menemukan cinta yang baru dari seorang berondong yang sudah lama mengejar cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menerima Keadaan
Rumah itu tenggelam dalam diam. Tak ada suara selain denting jam dinding dan desau hujan di luar jendela. Tirai tipis menampung cahaya redup sore, bergoyang pelan diterpa angin dari celah ventilasi. Eleanor duduk di tepi ranjang, membungkuk sedikit melihat dengan jelas kedua tangannya menelusuri perutnya yang masih datar.
Ia baru saja menelan obat dari dokter. Tubuhnya masih terasa berat dan dingin, tapi yang paling menyesakkan justru pikirannya. Kenapa harus seperti ini lagi…?
Seakan tujuh belas tahun tak cukup panjang untuk menata hidup, semuanya kembali berantakan hanya dalam satu malam. Ia menarik napas dalam, menatap kosong ke lantai. ‘Sepuluh minggu’ itu berarti sejak malam di pesta itu. Malam yang semestinya ia lupakan, tapi terus membayang.
Eleanor menunduk lebih dalam, matanya kembali berkaca-kaca. Ia bukan wanita yang lemah, tapi kelelahan yang satu ini berbeda. Karena ia tahu tidak ada yang bisa ia salahkan selain dirinya sendiri.
Tangannya mengusap perutnya lembut, “Maaf…” suaranya nyaris tak terdengar. “Maaf, karena aku sempat berpikir ingin menolakmu.”
Senyum getir muncul di bibirnya, terlalu singkat untuk disebut senyum. “Kau tidak salah… ini salah Mum. Mum yang bodoh.”
Ia memejamkan mata, menahan napas yang berat, mencoba menenangkan denyut rasa bersalah itu. Dari luar jendela terdengar langkah kaki berlari di bawah hujan, lalu suara pintu depan terbuka.
“Mum?”
Eleanor menoleh pelan. Elio berdiri di ambang pintu, rambutnya meneteskan air hujan sementara seragamnya masih utuh walau sedikit kusut. Ia membawa kantung kertas besar dari toko organik, menggoyangkannya kecil-kecil sambil tersenyum.
“Lihat, aku bawa sesuatu yang spesial,” katanya dengan gaya berlebihan, seolah sedang mempresentasikan hadiah penting. “Teh herbal, salad, dan…” ia mengangkat satu kotak susu warna pastel, “ini… susu hamil.”
Eleanor memandangi anaknya itu lama, lalu memejamkan mata sebentar. “Elio, Mum…”
“Don’t worry, Mum” potong Elio cepat, “Aku sudah cek labelnya, tinggi kalsium, rendah gula, cocok untuk menambah berat badan bayi.” Ia meniru nada manis iklan, membuat Eleanor tidak bisa menahan senyum haru.
“Elio…” suaranya pelan, “Kau tidak perlu melakukan ini.”
Elio meletakkan kantung di meja dan duduk di tepi ranjang, bahunya menempel sedikit pada bahu Eleanor.
“Kau tahu kan, aku anak yang berbakti dan paling rajin di dunia.” katanya ringan.
Eleanor menghela napas kecil, matanya menatap ke depan kosong. “Elio, Mum baik-baik saja.”
“Kau terlihat seperti zombie,” sahut Elio cepat, “yang mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa masih hidup.”
Eleanor menatapnya, tersenyum kecil. “Mulutmu itu…”
Elio mengangkat alisnya, “Menawan?”
“Ya… sangat.” sambung Eleanor cepat, matanya berkaca.
Eleanor menunduk, menatap perutnya lagi. Bibirnya bergetar kecil, tapi tidak ada kata keluar.
Elio memperhatikan diam itu, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit.
“Mum,” katanya pelan tapi serius kali ini, “kau tidak sendirian, oke?”
Eleanor mengangguk tanpa suara. Ia tahu anak itu berusaha keras menjaga wajahnya tetap santai, tapi matanya, mata yang sama dengan milik pria itu dulu… terlalu jujur untuk menyembunyikan perasaan.
Elio berdiri, berjalan ke dapur sambil berseru, “Aku panaskan sup, tapi janji minum susunya, Mum!”
Eleanor memandangi punggung anak itu yang semakin tinggi, semakin dewasa dan genuine. Seandainya bukan karena Elio, mungkin ia sudah menyerah pada rasa takut sejak lama.
Suara hujan di luar makin lembut, seperti musik latar yang samar. Suara panci berdenting terdengar dari dapur, aroma sup hangat mulai mengisi udara rumah. Eleanor bersandar di kursi dekat meja makan, matanya mengikuti gerakan Elio yang mondar-mandir dengan celemek miliknya.
“Aku hampir lupa punya anak yang suka memasak,” katanya datar.
Elio menoleh sebentar, tersenyum bangga. “Bakat tersembunyi, Mum. Dulu kan kau sibuk kerja dan aku harus belajar bertahan hidup.”
Eleanor terdiam sejenak, merasa bersalah untuk masa kecil Elio yang berat. “Sorry…”
Elio menggeleng, tapi ujung bibirnya terangkat sedikit. “Jangan terlalu banyak meminta maaf, Mum. Kau wanita paling hebat yang aku kenal di dunia.”
Ia mematikan kompor, membawa dua mangkuk sup ke meja lalu duduk berhadapan dengannya.
Ia menyendokkan sedikit dan meniup pelan, seperti dulu saat masih kecil.
“Coba,” katanya, menyodorkan sendok ke Eleanor.
Eleanor mencicipi sedikit, namun reaksinya datar.
Elio menatapnya penuh harap. “Bagaimana?”
Eleanor mengangkat bahunya santai, “Yeah, bisa dimakan.”
“Itu pujian atau penyesalan?”
“Interpretasi bebas.” balasnya santai.
Elio tertawa, menunduk sambil makan. “Kau jahat, Mum.”
Beberapa menit mereka hanya diam, menikmati makan malam sederhana itu. Setelah mangkuknya hampir kosong, Eleanor akhirnya bicara pelan.
“Elio…”
“Hm?”
“Aku akan menjual mobil.”
Elio berhenti makan. “Untuk apa?”
“Supaya cukup untukmu masuk college yang kau impikan.”
Elio menatap ibunya tajam. “Dan kau?”
“Aku masih punya tabungan. Lagipula proyek terakhir di kantor akan selesai sebentar lagi.”
Elio menghela napas keras, menaruh sendok. “Mum, berhenti bicara seperti kau masih harus menanggung dunia sendirian. Aku sudah besar.”
“Kau tujuh belas.”
“Ya, tapi bukan anak kecil.”
“Kau masih remaja, Elio.”
“Tapi remaja ini bisa dapat beasiswa penuh dan kerja part-time,” jawabnya cepat, senyum miringnya muncul lagi. “kau lupa?”
Eleanor menghela napas pelan, menatap anaknya lama. “Beasiswa itu belum tentu cukup.”
Elio menjawab dengan percaya diri. “Cukup, aku sudah menghitungnya, Mum. Aku ini jenius matematika, remember?”
Eleanor mencoba menahan tawa tapi gagal. “Kau menyebalkan.”
Elio menyeringai puas. “Tapi kau mencintaiku.”
“Mum…” Ia meletakkan sendoknya, kemudian menatap Eleanor serius. “Aku ingin meminta satu hal.”
Aleanor menengadah, seperti bertanya ada apa tanpa harus bertanya.
“Aku ingin kau berhenti bekerja di tempat itu. Kau tidak perlu bertemu pria itu lagi.”
Eleanor mengangkat kepalanya, menatap anaknya dengan mata merah.
“I wish, Boy. Tapi aku tidak bisa. Itu proyek terakhirku dan kontraknya masih berjalan.”
Elio tak menjawab, hanya menatap ibunya lama lalu akhirnya berdiri, berjalan ke arah kulkas dan mengambil kotak susu hamil. Ia menuangkannya ke gelas tanpa bicara, lalu meletakkannya di depan Eleanor. “Minum ini dulu.”
Eleanor menatap gelas itu, lalu menatap anaknya. “Perintah?”
“Ancaman penuh kasih,” jawab Elio dengan nada datar, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat.
Eleanor tertawa kecil, tawa yang nyaris seperti helaan napas. Ia mengambil gelas itu, meneguknya perlahan. Sementara itu Elio berdiri di dekat jendela, memandangi hujan yang mulai reda.
“Lihat,” katanya pelan, “hujannya berhenti.”
Eleanor menoleh, “Ya.”
“Pertanda baik, Mum.”
Eleanor tersenyum samar. “Pertanda malam yang panjang,” katanya lembut.
Elio menatapnya, lalu tiba-tiba menepuk bahunya. “Kau ini selalu dramatis.”
Eleanor meliriknya, setengah tersenyum.
“Mum berjanji akan keluar setelah proyek itu selesai.”
Elio langsung menghela napas lega. Tidak menjawab namun langkahnya mendekat, merangkul ibunya dari belakang dalam diam, membiarkan waktu berjalan tanpa suara.
𝚋𝚒𝚊𝚛 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚝𝚊𝚖𝚋𝚊𝚑 𝚞𝚙𝚍𝚊𝚝𝚎 𝚡.. 🤭
𝚊𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚗𝚐𝚐𝚞 𝙺𝚎𝚕𝚊𝚗𝚓𝚞𝚝𝚊𝚗 𝚡.. 💪