Aku menunggu jawaban dari bu Nirmala dan bu Zahira, namun hingga dua hari ini berikutnya, aku belum mendapatkan jawaban dari masalah tersebut.
"Bu, Andai aku tak cerita tentang masalah bullying ini pada ibu, aku mungkin masih sekolah di sekolah X ya bu," ucap Zahrana padaku saat kami tengah makan bersama.
Aku memandang putri sulungku tersebut.
"Bila kamu tidak bilang pada ibu, ibu yakin, Allah akan menunjukkan jalan lain agar ibu bisa mengetahui masalahmu nduk. Wis nggak usah dipikirkan lagi. Ayo cepat makannya. Nanti keburu dihabiskan mas," ucapku mengalihkan pembicaraan.
Aku berusaha tak terlalu mendengarkan perkataan Zahrana karena aku masih menunggu penjelasan dari bu Zahira dan bu Nirmala dan pengakuan dari Ghania agar semua menjadi jelas. Akankah Zahrana tetap bisa sekolah disana atau tidak pun tidak, akupun tak tahu jawabannya karena aku akan mempertimbangkan semua dari beberapa sisi, dan aku pasti akan memilih sisi yang paling aman untukmu, Zahran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DUOELFA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEKILAS TENTANG MBAK NINA
Perkataan pak Hasan begitu tergiang ditelinga yang membuatku tak mampu berkonsentrasi pada hal lain. Setelah sambutan dari pak Hasan, langsung pembacaan do'a dari ketua pengurus asrama, dilanjutkan penutupan yang dilakukan oleh pembawa acara.
Selesai acara, aku masih duduk di serambi masjid sekolah sembari menunggu motor keluaran terbaru milik para calon wali murid serta aneka mobil yang terparkir banyak di luar pintu gerbang sekolah keluar dari pintu gerbang dan lokasi sekolah. Selain menghindari kemacetan, dan terlihat mobil atau motor saling berhimpitan, aku takut bila motor bututku tak sengaja menyenggol atau bila parah, menggores mobil atau motor mereka. Bisa-bisa nanti aku ganti rugi dengan nominal yang cukup besar dan jelas saja aku belum mampu untuk hal yang satu ini. Setelah terlihat agak mulai sepi, aku segera beranjak dari tempat duduk dan menuju tempat parkir motor maticku yang berada di lapangan voli dan menuntun motor menuju depan pintu gerbang. Para calon wali murid banyak yang menaiki motor mulai lapangan voli tersebut dan melewati para guru piket yang berada di koridor antara ruang kantor dan ruang kegiatan siswa. Tapi entah mengapa, aku sungkan sendiri melakukan hal tersebut seakan aku tak memiliki sopan santun di hadapan para guru disana. Aku baru mulai menyelah motor setelah melewati pintu gerbang.
Aku mengendarai motor bersama Arsenio dan melewati area sawah seperti biasanya. Tapi kali ini aku tak bisa menikmati perjalanan pulang ke rumah karena aku memikirkan tentang pembayaran pada kelas tujuh Zahrana pada sekolah X. Tak lupa aku menjemput Mumtaz yang tengah berada di kolam renang karena ada outing class yang terletak tak jauh dari rumah.
"Assalamu'alaikum Ustadzah. Maaf menunggu lama njeh. Tadi antrinya lama. Mau keluar dari lokasi agak susah," ucapku pada ustadzah Najma.
"Wa'alaikumussalam bunda. Tidak apa-apa. Ini Raihan juga belum dijemput karena bundanya masih ada keperluan mengantar kakaknya berobat ke puskesmas. Hari ini dik Mumtaz baik sekali. Manut sama para ustadzah. Tidak rewel," jelas ustadzah Najma padaku.
"Alhamdulillah. Terima kasih ustadzah. Saya pamit dulu. Mau jemput Zahrana. Hari ini katanya pulang pagi juga. Ada rapat dewan guru," pamitku.
"Monggo bunda."
"Assalamu'alaikum," ucapku pada ustadzah Najma.
"Wa'alaikumussalam."
Aku kembali melajukan motor matic menuju ke arah sekolah Zahrana. Ia terlihat duduk sendirian di serambi masjid sekolah.
"Lama sekali jemputnya bu?" Sungut Zahrana padaku.
"Pulang dari pertemuan wali murid, menjemput Mas Mumtaz di kolam renang, baru terakhir ke sini," jelasku.
"Kok Mas dulu?"
"Nggak enak sama Ustadzah Najma. Jaga Mas terlalu lama. Temannya sudah pulang semua. Tinggal Mas sama Raihan saja tadi disana."
Dengan wajah cemberut, Zahrana bergegas naik ke motor matic. Kulajukan kendaraan tersebut menuju arah rumah. Sesampainya di rumah, aku melihat gawai di tas selempang yang terbuat dari kain umbul-umbul yang kujahit sedemikian rupa saat Mas Anton masih bekerja di diler tiga tahun yang lalu. Gawai tersebut mati karena kehabisan baterai. Aku bergegas mengambil cas dan kucolokkan ke stop kontak yang ada di kamarku. Sambil menunggu baterai segera penuh, aku menyiapkan makan siang untuk ketiga anakku. Aku hanya memasak nasi, bening sawi serta tempe goreng pada hari ini. Bagiku, ini sudah lebih dari cukup daripada hari-hari sebelumnya yang membuatku harus memilih, sayur saja atau lauk saja karena aku tak memiliki cukup uang bila harus memilih keduanya. Saat semua telah selesai, aku meminta ketiga anakku untuk segera makan.
"Alhamdulillah. Ibu punya uang untuk masak," doa si kecil, Arsenio.
"Alhamdulillah. Ayo segera makan. Ambil piring dirak ya dik," pintaku padanya.
Arsenio tampak mengangguk dan menuju ke arah rak piring.
"Buat mbak sama Mas juga?" Tanya Arsenio.
"Iya."
Arsenio membawa tiga piring berbahan enamel menuju ruang keluarga dimana Zahrana dan Mumtaz telah dahulu membawa nasi, sayur dan lauk dan menatanya di atas karpet berwarna hijau. Setelah membaca do'a sebelum makan, mereka makan dengan begitu lahap. Aku tersenyum bahagia memandang pemandangan itu.
"Ibu nggak makan?" Tanya Zahrana.
"Ibuk makan nanti saja setelah kalian. Ibuk masih kenyang. Nanti setelah makan, jangan lupa piringnya dibawa ke belakang ya," ucapku padanya Zahrana.
"Iya bu," jawabnya.
Aku kembali ke kamar dan menyalakan gawai sembari berbaring di atas peraduan guna mengusir rasa kelelahan yang amat sangat setelah perjalanan dari sekolah X. Aku menyekrol pesan WA. Ada tertera mbak Nina di sana yang entah mengapa begitu mengusikku kali ini. Aku membuka WA tersebut yang ternyata isinya seperti membuat harga diriku seakan teriris.
Hei Siti
Kamu itu sungguh tak tahu diri
Sudah tahu miskin, nggak becus mengurus anak
Sekarang malah mau menyekolahkan anak di sekolah negeri yang mahal
Apa kamu mampu?
Sekedar untuk beli beras saja harus kesana kemari nyari rongsokan di rumah
Mbok yo ra usah ngoyo
Anton juga sudah tak suruh nggak usah ke rumahmu
Biar saja kamu ngurusin ketiga anakmu sendiri
Biar tau rasa
Jadi perempuan nggak manut sama sekali pada suami
Suka nglawan
Jadi istri nggak tahu diuntung
Kamu itu juga sudah jelek, gendut
Wayahe diopertombokne karo wong wedok sing luwih ayu
(Lebih baik ditukar tambah (digantikan) sama perempuan yang lebih cantik).
Aku hanya membaca saja WA dari mbak Nina, dan tak akan pernah kubalas WA tersebut.
Ingatanku melayang tentang mbak Nina yang selalu memperkeruh rumah tanggaku bersama mas Anton. Kenangan paling parah dan membuatku tak ingin menyapa mbak Nina lagi adalah saat keguguran anak keempat karena menuruti keinginan mas Anton yang ingin jalan-jalan ke kota Pacitan. Aku sudah menolak untuk bepergian ke kota kelahiran mertua karena saat itu aku tengah mengalami pendarahan hebat. Aku sudah menjelaskan hal itu pada mas Anton. Tapi ia tetap saja tidak percaya dan mengira hanya beralasan saja karena aku tak mau bepergian dengan Vania, putri mbak Nina yang terkenal begitu angkuh dan kalau berbicara suka cepas ceplos.
Benar saja. Saat malam hari di Pacitan, aku keguguran. Pagi harinya, saat semua sedang asik menikmati pemandangan dan bermain air di pantai Teleng Ria, aku hanya bisa menangis tersedu di dalam mobil karena baru saja kehilangan janin yang telah kukandung selama tiga bulan.
Sepulang dari Pacitan, didepan seluruh kerabat mas Anton, ada simbah, budhe, pak lik, keponakan, saudara sepupu, mbak Nina berbicara dengan lantang yang membuat hatiku begitu remuk.
"Lihatlah itu. Si Siti. Anaknya masih kecil wis arep duwe anak neh (anak masih kecil sudah mau punya anak lagi. Untung saja keguguran. Setelah ini tak suruh tutup hamil saja. Ben gak metang meteng ae (biar tidak hamil lagi)."
Hatiku terasa sakit, tapi aku hanya diam karena merasa masih mampu menghadapi perkataan itu. Aku merasa mbak Nina tidak memiliki rasa empati sedikitpun padaku yang saat itu tengah berduka karena kehilangan janin. Aku mencoba meredam emosi yang bergejolak di dada. Tak lupa aku juga meminta mas Anton untuk melakukan tahlil bagi janinku yang telah tiada ini. Mbak Nina langsung menyergah.
"Arep slametan geden-geden (mau mengadakan selamatan secara besar-besaran) seperti yang biasa kamu lakukan Sit? Kadar bocah telagang wis mati eg (ini hanya janin yang sudah meninggal saja kok)."
Emosiku langsung memuncak kala itu. Aku seperti sudah hilang kendali bila menyangkut tentang anak.
"Mbak, aku tadi sudah cukup diam menanggapi semua perkataanmu. Kamu menyuruhku tutup hamil, biar tidak hamil lagi. Aku hamil toh karena adikmu. Apa kamu kira aku tak menjaga diri dengan KB? Bila akhirnya tetap diberi rezeki anak oleh Allah, aku harus tetap menerima bukan? Tapi menurutku ini sudah diluar batas. Bagaimanapun bentuknya anakku, masih hidup atau sudah meninggal, ia tetaplah anakku. Aku akan tetap tahlilan untuk anakku. Terima kasih atas semuanya."
Aku melangkah pergi membawa ketiga anakku dan meminta bantuan tetangga mas Anton untuk mengantarku pulang. Sejak saat itu, aku mulai menjauh dari keluarga mas Anton, terutama mbak Nina dan lebih memikirkan keluarga sendiri serta tak ingin berjumpa sama sekali. Dadaku masih terasa sesak dan sakit bila mengingat itu semua. Saat mas Anton pergi dari rumah seperti ini, aku juga segera harus memikirkan langkah apa selanjutnya, terutama menyangkut pendidikan anak karena aku yakin mas Anton juga tak akan membantu biaya sekolah, mengingat sudah hampir enam bulan ia tak ke rumah, walau sekedar untuk menengok anaknya.