Aryani Faizah yang sedang hamil tua mengalami kecelakaan tertabrak mobil hingga bayi yang ia kandung tidak bisa diselamatkan.
Sang suami yang bernama Ahsan bukan menghibur justru menceraikan Aryani Faizah karena dianggap tidak bisa menjaga bayinya. Aryani ditinggalkan begitu saja padahal tidak mempunyai uang untuk membayar rumah sakit.
Datang pria kaya yang bernama Barra bersedia menanggung biaya rumah sakit, bahkan memberi gaji setiap bulan, asalkan Aryani bersedia menjadi ibu susu bagi kedua bayinya yang kembar.
Apakah Aryani akan menerima tawaran tuan Bara? Jika mau, bagaimana kisah selanjutnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Faiz menangis terisak-isak ketika tahu bahwa Ahsan telah bersekongkol dengan Chana untuk mengusirnya dari kediaman Barra.
"Saya kecewa sama kamu Bang!" Tandas Faiz menatap Ahsan dengan mata basah.
"Faiz, aku hanya ingin kamu kembali kepadaku, itu saja" Ahsan akhirnya mengakui bahwa benar dibantu Chana agar bisa bersatu kembali dengan Faiz. Ahsan tidak rela jika Faiz jatuh ke pelukan Barra.
"Saya tidak butuh penjelasan kamu." Faiz benar-benar kecewa. Ia pikir Ahsan sudah benar-benar taubat, tapi ternyata hanya kapok sambal, sudah menangis kepedesan tapi masih mengulangi lagi.
"Tapi Chana bilang, kontrak kerja kamu sudah selesai, Faiz" tutur Ahsan.
"Itu bukan urusanmu, hanya Tuan Barra yang punya hak memperpanjang kontrak kerja, atau memberhentikan saya. Ngerti!" Faiz menatap sinis wajah Ahsan.
Ojek yang Faiz pesan pun tiba, ia segera membonceng hingga motor pun menjauh dari Ahsan.
**********
Sementara di kediaman Barra, semua masih dibuat bingung oleh tangis si kembar. Chana hanya bisa marah-marah kepada Ratih, wanita yang dia percaya bisa menggantikan Faiz. Tetapi ternyata tidak bisa menarik perhatian si kembar.
"Mau bagaimana lagi Nyonya" Ratih pun sepertinya menyerah. Dia sampai rela meninggalkan anaknya yang baru berumur tiga bulan. Saat ini tinggal bersama suaminya di kontrakan karena tertarik dengan gaji besar yang ditawarkan Chana, tapi ternyata tidak semudah itu menyusui anak orang.
Hanya bibi yang masih bisa menangani si kembar walau sedikit, ia suapi dengan air tajin yang dia buat. Satu sendok, dua sendok mampu menenangkan mereka. Walaupun kadang wajah bibi disembur tajin tersebut oleh Rohman maupun Rohim hingga nyemprot ke wajahnya. Namun, bibi tertawa senang, setidaknya perut si kembar ada isinya dan mau diam walaupun hanya sebentar.
"Mau makan Bi?" Tanya Chana diikuti Ratih, mendekati si kembar yang saat ini berada di ruang tengah. Anak-anak itu disuapi bibi di atas kereta masing-masing, sementara bibi nongkrong di lantai.
"Oeeekk... Oeeek... Oeeek...
Rohman dan Rohim menangis berjama'ah, karena takut melihat Chana dan Ratih yang berdiri di depan kereta.
"Sayaaang... cup, cup, cuuup..." Bibi segera mengajak bicara si kembar agar tenang, tidak menjawab pertanyaan Chana. Dia kesal, sudah susah payah menenangkan si kembar tapi ditakuti dua hantu jadi-jadian itu.
"Rohman... Rohim... bibi punya mainan."
Ting ting ting.
Bibi menjadikan piring dan sendok sebagai musik, sembari mengajak bicara Rohman, Rohim.
"Nina bobo... oh Nina bobo, kalau tidak bobo digigit nyamuk," Abdullah yang sedang di ruang kerja, mendengar si kembar menangis lalu mendekat sambil bernyanyi. Diiringi denting piring, sendok oleh bibi, dan tepuk tangan Abdullah hingga menjadi musik yang seru. Si kembar pun akhirnya diam.
Bibi menoleh Chana di belakangnya, rupanya wanita itu melangkah pergi diikuti Ratih. Karena merasa menjadi pengganggu, atau merasa diabaikan hingga akhirnya menyingkir hanya Chana yang merasakan.
"Den, kalau sampai sore Mbak Faiz belum kembali, bagaimana ini?" Bibi resah, tentu kasihan si kembar.
"Saya akan mencari mereka Bi" Abdullah memutuskan untuk mencari Faiz. Alasan Abdullah tidak minta nomor hape Faiz karena khawatir Barra cemburu, tapi jika tahu akan begini Abdullah lebih baik menyimpan saja.
Abdullah mengeluarkan motor dari garasi, ketika tiba di halaman, ia melihat taksi yang berhenti di luar pagar. "Mudah-mudahan itu Faiz" Abdullah meninggalkan motor mendorong pagar muat satu orang. Tatapan matanya tidak berpaling dari taksi, menunggu penumpangnya turun.
"Abang" Abdullah menatap Barra berbinar-binar, ternyata penumpang taksi itu adalah abangnya.
"Kamu nggak ke kantor?" Barra merasa aneh, belum jam dua belas siang Abdullah sudah di rumah.
"Nanti aku ceritakan Bang," Abdullah mengikuti Barra masuk dengan perasaan tidak menentu. Bayangan Barra akan marah sudah di depan mata.
"Oeeekk... Oeeek... Oeeek....
Begitu satu langkah kaki Barra menginjak lantai dalam pintu, tangisan si kembar sudah terdengar. Ia mempercepat langkahnya hingga nampak si kembar masih di dalam kereta di temani bibi.
"Sayang..." panggilnya menggema. "Assalamualaikum..." Barra melongok kedua putranya di atas kereta.
Arrohman, Arrohim diam sebentar menatap Barra dengan mata basah, memasukkan jari ke dalam mulut sambil berbicara, tapi tidak jelas. Mereka seolah tahu siapa yang datang.
"Waalaikum sallam..." Bibi yang menjawab. Ia menatap Barra dengan wajah tegang. Sudah bisa dipastikan jika tuanya akan marah.
"Sebentar sayang..." Barra segera ke kamar tanpa menyentuh si kembar karena belum cuci tangan.
"Bagaimana ini Den, bibi takut Tuan marah." bibi mendongak menatap Abdullah yang baru muncul.
"Tenang saja Bi, Bibi salah apa memang?" Abdullah mengatakan seandainya marah pun tentu bukan dengan bibi.
"Oeeekk... Oeeek... Oeeek...
Si kembar pun menangis lagi, bibi segera menggendong Arrohman, sementara Abdullah menggendong Arrohim.
"Memang Faiz sama Dilla kemana?" Pertanyaan itu akhirnya muncul dari bibir Barra yang berjalan tergesa-gesa ingin segera menggendong salah satu putranya.
"Bang, ada yang ingin aku bicarakan."
"Apa..." Barra ambil alih Rohim dari tangan Abdullah.
Abdullah menceritakan apa yang terjadi di rumah ini, tapi belum cerita jika ada ibu susu pengganti. "Terus kenapa handphone Abang tidak bisa dihubungi?"
"Hape aku hilang." Barra kehilangan handphone saat di bandara sebelum berangkat ke luar negeri. Dia memang sudah membeli handphone yang baru, tapi sayangnya semua kontak tidak ada yang dia hafal.
"Sudah lama mereka pergi Bi?" Wajah Barra merah padam, rasa marahnya ingin meluap, tapi jika dia marah yang ada si kembar semakin kejer karena mereka pikir memarahi mereka. Barra pun menahan diri.
"Saya pulang pasar sekitar jam sepuluh, tapi Mbak Faiz sudah tidak ada Tuan..."
"Sudah kamu cek cctv di kamar si kembar, Dul?" Tanya Barra berpaling dari bibi, menatap Abdullah. Ia ingin tahu kebenaran yang diceritakan adik sepupunya itu.
"Astagfirullah..." Abdullah tepuk kening, sampai melupakan cctv karena panik. Abdullah hendak ke kamar si kembar tapi Barra menghentikan.
"Bukanya kamu menyimpan nomor yayasan baby sitter?" Barra ingat ketika mencari baby sitter 6 bulan yang lalu.
"Aku cari dulu Bang," Abdullah aktifkan hape lalu mencari kontak yayasan.
"Ada Bang"
"Cepat hubungi yayasan" Barra minta Abdullah menanyakan apakah Dilla pulang ke sana.
Hanya dalam hitungan detik terdengar jawaban dari admin yayasan. Abdullah lantas menanyakan apakah Dilla pulang ke tempat itu.
"Assalamualaikum..." Suara tidak asing pun terdengar, tentu saja dia adalah Dilla.
Abdulah baru menjawab salam, tapi secepat kilat Barra ambil handphone di tangan Abdullah. "Kamu cepat kembali kesini. Tapi kirim nomer handphone Faiz dulu." perintah Barra kepada Dilla tanpa basa basi.
"Baik Tuan"
Barra mengembalikan handphone kepada Abdullah, kemudian mengajaknya ke kamar si kembar mengecek cctv sambil menggendong Rohman yang masih menangis.
...~Bersambung~...
ayooo trima faiz, jngan lama lama kalau mikir....
lanjut...
semangat...
terima ajaaa
mau dkasih hadiah kah.?? atau perpnjang kontrak... 🤭
lanjut kak