Aku menunggu jawaban dari bu Nirmala dan bu Zahira, namun hingga dua hari ini berikutnya, aku belum mendapatkan jawaban dari masalah tersebut.
"Bu, Andai aku tak cerita tentang masalah bullying ini pada ibu, aku mungkin masih sekolah di sekolah X ya bu," ucap Zahrana padaku saat kami tengah makan bersama.
Aku memandang putri sulungku tersebut.
"Bila kamu tidak bilang pada ibu, ibu yakin, Allah akan menunjukkan jalan lain agar ibu bisa mengetahui masalahmu nduk. Wis nggak usah dipikirkan lagi. Ayo cepat makannya. Nanti keburu dihabiskan mas," ucapku mengalihkan pembicaraan.
Aku berusaha tak terlalu mendengarkan perkataan Zahrana karena aku masih menunggu penjelasan dari bu Zahira dan bu Nirmala dan pengakuan dari Ghania agar semua menjadi jelas. Akankah Zahrana tetap bisa sekolah disana atau tidak pun tidak, akupun tak tahu jawabannya karena aku akan mempertimbangkan semua dari beberapa sisi, dan aku pasti akan memilih sisi yang paling aman untukmu, Zahran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DUOELFA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENGAMBILAN SERAGAM SEKOLAH X
Kuraih dompet hitam milikku dari dalam tas dan kuhitung uang didalam dompet tersebut. Uang saat ini tinggal empat ratus lima puluh ribu rupiah saja. Besok adalah hari pengambilan seragam. Praktis dua hari ini aku belum bisa menjual hasil rongsokan dari bahan plastik, bekas mainan kedua anakku saat masih kecil, yaitu mobil-mobilan bekas. Hari ini untuk membayar uang registrasi dan besok untuk mengambil mengambil seragam Zahrana di sekolah X.
Ternyata seperti ini rasanya memiliki seorang anak yang begitu berprestasi. Ada perasaan bangga tersendiri menyelinap dalam hati saat memiliki anak yang belum lulus dari sekolah dasar, tapi telah diterima di sekolah lanjutan dan bisa masuk ke kelas khusus seperti kelas keagamaan. Aku juga memiliki perasaan tersebut saat ini dan sungguh, aku sangat bangga pada Zahrana.
Tak terasa hari sudah berganti. Saat ini jam digitalku sudah menunjukkan pukul sepuluh tepat. Aku segera melajukan motor matic ku menuju ke sekolah Mumtaz yang berada tak jauh dari rumah. Setelah meletakkan tas Mumtaz di rumah, aku melanjutkan perjalanan menuju ke sekolah Zahrana. Saat di sekolah Zahrana, aku tak berhenti di bawah pohon sawo seperti biasanya. Aku segera memutar balik motor matic ku untuk menuju ke sekolah X dalam rangka pengambilan seragam yang dijadwalkan pada pukul sepuluh hingga pukul dua belas siang. Aku sungguh takut terlambat mengingat saat ini jam digital di pergelangan tangan kiriku menunjukkan angka jam sepuluh lewat tiga puluh menit.
Aku tidak seberapa bisa menikmati suasana perjalanan dalam pengambilan seragam kali ini karena aku takut terlambat sampai di sekolah X.
Tempat pengambilan seragam Zahrana terletak di ruang kelas yang persis berada disamping masjid tapi agak ke belakang, yang berhadapan langsung dengan kamar mandi dan tempat wudhu untuk para siswa. Aku segera meminta Zahrana untuk menemani kedua adiknya, Mumtaz dan Arsenio di gazebo yang tak jauh dari lokasi pengambilan seragam tersebut. Sementara aku yang akan mengantri di dekat pintu kelas tempat pengambilan seragam.
Saat nama Zahrana dipanggil oleh petugas sekolah, aku segera menghampiri Zahrana dan menggandeng kedua anakku dan masuk ke ruang kelas tersebut.
"Maaf Bu. Anak saya bawa masuk ke dalam. Takut lari kemana-mana," ucapku pada petugas.
"Tidak apa-apa bu. Ini kembar ya?"
"Tidak bu. Hanya selisih satu setengah tahun saja."
"Seperti kembar ya."
"Iya."
"Monggo bu. Ini contoh ukuran seragamnya di bagian kiri. Untuk pengambilan seragam nanti disebelah kanan ya," jelas petugas tersebut.
Aku segera memilihkan seragam untuk Zahrana yang terletak di bagian kiri ruangan dengan bangku yang berderet. Aku memilih baju dengan meletakkan contoh baju tersebut di badan Zahrana. Aku memilihkan Zahrana baju ukuran yang sedang saja. Tidak terlalu kebesaran dan tidak terlalu kekecilan mengingat ia masih dalam masa pertumbuhan. Intinya masih ada stan kain yang bisa dilipat ke arah dalam. Setelah memilih ukuran baju, baik atasan maupun bawahan, kami segera menuju ke arah pengambilan baju. Setelah semua dipacking dan ditaruh dalam tas kresek berwarna hitam, petugas memberikan seragam tersebut padaku. Setelah itu, kami keluar dari tempat pengambilan seragam tersebut karena semakin lama, ruangan tersebut semakin penuh sesak dengan para wali murid lain yang belum mengambil seragam.
Kami menghampiri motor matic. Setelah kutata sedemikian rupa, seragam kutaruh di dalam ransel Zahrana yang semula adalah milik almarhum bapakku. Zahrana tetap saja meminta untuk membawa seragamnya sendiri diranselnya. Ia terlihat sangat bahagia membawa seragam dari sekolah X. Meskipun ransel tersebut terlihat sangat berat, mengingat terdapat empat stel seragam didalamnya, tapi Zahrana begitu terlihat gembira.
Saat motor melaju menuju rumah, entah mengapa motor terasa semakin oleng.
Duarrrrrr
Terdengar bunyi ban meletus. Aku menghentikan motor matic. Ternyata benar. Ban belakang motorku bocor. Kutuntun motor itu di saat sinar matahari terasa begitu terik di atas kepala. Zahrana kupinta untuk menggandeng kedua adiknya agar tidak berlarian di jalan raya. Setelah agak lama menuntun, kurang lebih sepanjang dua kilo meter, akhirnya aku menemukan tempat servis motor yang sekaligus bisa melakukan tambal ban. Segera kubelokkan motor ke tempat tersebut. Kuparkir motor tersebut di teras agar segera dicek oleh tukang servis tersebut. Sementara itu Zahrana dan kedua adiknya masih berjalan di belakang sana yang berjarak kurang lebih empat ratus meter dari tempat servis tersebut. Kubelikan air minum dan roti ditoko yang berada disamping tempat servis tersebut. Mereka pasti haus dan lapar setelah berjalan di panas yang terik seperti ini.
Setelah dicek oleh tukang servis, motorku ternyata tidak hanya bocor. Tapi ban belakang, baik bagian luar dan dalam sudah dalam kondisi bolong. Hal itu terlihat dari ban luar yang sudah kelihatan serat benang yang mulai keluar sehingga terlihat juga ban bagian dalam yang bocor.
"Mas, mohon maaf mau bertanya. Bila diganti semua bannya, ban luar dan dalam, kira-kira nanti habis berapa ya?" Tanyaku pada tukang servis tersebut.
"Disini adanya ban luar yang harganya mahal bu. Untuk yang murah, siang-siang seperti ini biasanya tutup. Untuk ban luar harganya dua ratus ribu dan ban dalam lima puluh ribu," jelas tukang servis.
Tidak ada ban yang murah di tempat servis tersebut. Harga yang paling murah untuk ban luar yaitu kisaran dua ratus ribuan. Bila ditambah dengan ban bagian dalam maka membutuhkan uang kisaran dua ratus ribuan. Tak apalah. Daripada harus menunggu begitu lama di tempat ini dan suasana begitu panas siang hari ini.
"Ya mas. Gak apa. Silakan diganti ya," ucapku pada tukang servis tersebut.
"Iya bu."
Dengan cekatan, tukang servis itu mulai membongkar ban bagian belakang. Zahrana dan kedua adiknya sudah berada ditempat servis tersebut. Kuulurkan air mineral dan roti pada mereka.
"Panas bu," ucap Mumtaz.
"Capek bu," ucap Arsenio.
Aku hanya tersenyum menanggapi celotehan mereka berdua. Ketiga anakku terlihat mulai meminum air yang telah kuberikan. Tak lupa dengan roti yang mereka makan dengan begitu lahap.
Tak butuh waktu lama, motor telah selesai diservis. Kuulurkan uang dua ratus ribu rupiah pada tukang servis tersebut.
"Terima kasih mas," ucapku pada tukang servis tersebut.
"Sama-sama bu," balasnya.
Aku mengambil motor dan menyelah motor matic. Kami semua naik kembali dan kulajukan motor dengan agak cepat. Sesampainya dirumah, kami semua berbaring diruang keluarga karena sangat kelelahan setelah berjalan siang tadi. Kami terlelap hingga tak terasa hari telah berganti menjadi sore hari karena mendengar kumandang azan Asar di mushalla yang tak jauh dari rumah.
Aku bergegas bangun dari tidur, kemudian ke kamar mandi untuk membasuh mukaku yang terlihat begitu lelah. Kulanjutkan lagi untuk mencuci piring di belakang rumah, serta menyiapkan makan malam untuk ketiga anakku. Aku hanya memasak nasi, tumis wortel, sawi yang kutuangi satu butir telur yang telah kukocok lepas. Masih ada sisa satu bungkus kerupuk yang kubeli tadi pagi di toko mbok Jum yang letaknya tak jauh dari rumah. Setelah semua selesai, aku kembali ke ruang keluarga untuk membangunkan ketiga anakku.
"Mbak, Mas, Adik. Bangun. Mandi dulu. Setelah itu salat dan segera makan ya," ucapku.
Mereka segera antri mandi. Saling berebutan di sana.
"Mas dulu," ucapan Mumtaz
"Adik dulu. Mas ngalah dong sama adik," ucap si kecil tak mau kalah.
"Mbak dulu," seloroh Zahrana yang membuat suasana terasa semakin gaduh.
Aku tersenyum melihat tingkah polah mereka semua. Masa kecil yang tak akan terulang kembali. Semoga aku selalu sabar dalam membersamai mereka.