"Urgh... k-kurang ajar! B-bajingan!" gumam Lingga lirih. Tubuhnya semakin lemas dan kesadarannya semakin memudar. "A-apa aku akan... mati?"
Seorang bartender muda yang bergumul dengan utang dan cinta buta bernama Lingga, mengira hidupnya sudah cukup kacau. Tapi, semuanya berubah drastis dalam satu malam yang kelam. Saat hendak menemui pacarnya, Lingga menjadi korban pembegalan brutal di sebuah jalanan yang sepi, membuatnya kehilangan motor, harta benda, dan akhirnya, nyawanya.
Namun, takdir punya rencana lain. Di ambang kematian, Lingga terseret oleh lingkaran cahaya misterius yang membawanya ke dunia lain, sebuah dunia asing penuh kekuatan magis, monster, dan kerajaan-kerajaan yang saling bertarung. Terbangun dengan kekuatan yang belum pernah ia miliki, Lingga harus mempelajari cara bertahan hidup di dunia baru ini, menghadapi ancaman mematikan, dan menemukan arti hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kang Sapu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23
Langkah kaki Wirya menghentak tanah, meninggalkan debu tipis yang mengepul di belakangnya. Matanya yang menyala marah sempat melirik tajam ke arah Mitha dan Lingga. Dengan gigi terkatup rapat, ia mendesis penuh ancaman, "Ini belum selesai. Kau akan menyesal telah merebut apa yang seharusnya jadi milikku."
Tanpa menunggu tanggapan, tubuh kekar Wirya menghilang di balik tikungan jalan setapak, meninggalkan aura amarah yang masih terasa menusuk.
Mitha hanya menarik napas panjang, matanya menatap nanar arah kepergian Wirya. "Huft… dia memang seperti itu. Selalu memaksakan kehendak seolah dunia ini harus tunduk padanya."
Lingga yang masih berdiri kaku menatap kepergian Wirya dengan dahi berkerut. Ia lalu menoleh ke Mitha dan bergumam, "Orang nggak jelas. Punya tenaga tapi nggak punya akal sehat."
Namun, pikirannya langsung teralih ketika ia merasakan denyut sakit di punggung tangan kanannya. Ia mengusapnya pelan dan memandangi telapak tangannya dengan ekspresi heran.
"Gila... cengkeraman kakek-kakek itu..." bisiknya dalam hati. "Kayak dijepit palu godam."
Resi Wiranggeni, yang berdiri tak jauh dari mereka, tersenyum bijak sambil membetulkan letak selendangnya. Udara yang semula tegang kini mulai mencair, meski masih menyisakan sisa-sisa kejanggalan.
Mitha menoleh ke arah Resi dan bertanya dengan nada bingung, "Tapi, Resi… kenapa tiba-tiba Anda bisa muncul di sini? Apa memang kebetulan lewat?"
Resi Wiranggeni mengangguk perlahan, matanya tenang seperti telaga. "Aku sedang dalam perjalanan ke rumah ayahmu, Mitha. Ada hal penting yang perlu aku bicarakan dengannya. Tapi saat melintasi jalan tadi, aku mencium aroma konflik. Maka aku singgah."
"Ah... begitu rupanya…" Mitha mengangguk mengerti.
Resi Wiranggeni mengamati Lingga dengan lebih seksama. Matanya yang tajam menyipit sedikit, memperlihatkan sorot tajam yang menyelidik, seperti mampu menembus selubung rahasia.
"Siapa pemuda ini, Mitha?" tanyanya pelan, namun penuh makna.
Belum sempat Lingga membuka mulut, Mitha dengan cepat menjawab, "Namanya Lingga, Resi. Dia... temanku dari Agniamartha. Dia kebetulan datang ke desa karena katanya ada tugas penting yang harus diselesaikan."
Lingga menoleh ke Mitha, sedikit terkejut tapi kemudian mengangguk canggung, "Iya… begitu, Resi."
"Lingga..." Resi Wiranggeni mengulang nama itu pelan, seolah mengecap makna di baliknya. Lalu ia menatap mata Lingga lekat-lekat.
"Sungguh, dari nama dan penampilanmu aku merasa aura yang kuat... Tapi aku tak hanya mencium aura yang kuat. Aku juga mencium... sesuatu yang tersembunyi," ucapnya tiba-tiba, suaranya turun satu oktaf lebih dalam.
Wajah Lingga seketika menegang sesaat. "A-apa maksud Resi...?"
Namun Resi tiba-tiba tertawa pelan dan mengangkat tangannya, "Ah, jangan pedulikan ucapanku yang tua ini. Mungkin pikiranku sedang terlalu jauh melayang."
Lingga hanya membalas dengan senyum kecut, sementara pikirannya bergolak.
"Apa dia tahu sesuatu... tentangku?" batin Lingga penuh tanya.
Mitha memotong kebisuan yang mulai mencekam, "Sudahlah, ayo kita ke rumah. Ayah pasti menunggu. Resi juga, mari ikut bersamaku."
Resi Wiranggeni mengangguk tenang. "Baiklah, Mitha. Ayo."
Mereka bertiga melanjutkan langkah, menyusuri jalan setapak menuju desa. Langit mulai meredup, ditingkahi suara burung sore yang mulai kembali ke sarangnya. Aroma tanah basah dan suara dedaunan yang bergesek lembut mengiringi mereka.
Namun dalam hati Resi Wiranggeni, ada sesuatu yang tak bisa diabaikannya. Matanya sesekali melirik Lingga.
"Bocah ini bukan pemuda biasa. Ada sesuatu yang belum ia sadari… atau mungkin belum ingin ia tunjukkan. Energi di tubuhnya... terlalu kuat untuk manusia biasa. Terlalu dalam... dan terlalu mistis."
Sementara itu, Lingga berjalan di samping Mitha dengan langkah sedikit tertatih karena tangannya yang masih nyeri. Namun yang lebih mengganggunya bukan rasa sakit di tubuhnya, melainkan bisikan rasa curiga yang perlahan tumbuh di benaknya.
Resi Wiranggeni mengerutkan kening. "Apa mungkin pemuda ini..."
*