Karena pertempuran antar saudara untuk memperebutkan hak waris di perusahaan milik Ayahnya. Chairil Rafqi Alfarezel terpaksa harus menikahi anak supirnya sendiri yang telah menyelamatkan Dirinya dari maut. Namun sang supir malah tidak terselamatkan dan ia pun meninggal dunia setelah Chairil mengijab qobul putrinya.
Dan yang paling mengejutkan bagi Chairil adalah ketika ia mengetahui usia istrinya yang ternyata baru berusia 17 tahun dan masih berstatuskan siswa SMA. Sementara umur dirinya sudah hampir melewati kepala tiga. Mampukah Ia membimbing istri kecilnya itu?
Yuk ikuti ceritanya, dan jangan lupa untuk memberikan dukungannya ya. Seperti menberi bintang, Vote, Like dan komentar. Karena itu menjadi modal penyemangat bagi Author. Jadi jangan lupa ya guys....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ramanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEUMUR BAYI JAGUNG.
Keesokan harinya.
Waktu sudah menunjukkan pukul empat pagi. Chairil pun tersentak dari tidurnya. Dan disaat ia hendak bangkit tiba-tiba sebuah handuk kecil terjatuh dari dahinya. Lalu ia pun mengambil handuk tersebut yang ternyata masih lembab. Saat bersamaan matanya tak sengaja melirik ke sisi kanannya. Dan betapa terkejutnya ia tatkala ia melihat kebawah ternyata istrinya sedang tertidur dengan posisi tubuh yang terduduk di lantai, sedangkan tangannya menompang disisi ranjangnya sebagai bantalnya.
"Eh! Kenapa Yunda tidur disini? Apakah tadi malam aku demam, dan Dia merawatku?" Gumam Chairil, seraya ia hendak menaruh handuk yang ia pegang ke meja yang terdapat disisi tempat tidurnya. Dan diatas meja tersebut terdapat semangkuk bubur yang telah dingin, segelas air putih, baskom kecil berisikan air, serta obat-obatan yang ia bawak dari rumah sakit.
Chairil pun tersenyum tipis tatkala melihat itu semua. Lalu pandangannya beralih kembali ke istri kecilnya yang masih tertidur pulas. "Hmm... Walaupun kamu masih belia, tapi kamu pandai merawat orang yang sedang sakit." Gumanya lagi. Seraya ia menyentuh puncak kepala Widiya yang tertutup dengan hijab hitamnya.
Chairil kembali tersenyum saat melihat Widiya mengerutkan dahinya sambil memayunkan bibirnya tatkala ia mengusap-usap kepalanya. "Hmm.... Bikin gemes aja sih Kamu. Selain cantik kami juga pandai menutup auratmu. Padahal kamu tak perlu menutupinya di depanku. karena aku sudah menjadi mahrammu." Gumamnya lagi. Dan disaat bersamaan terdengar sayup -sayup suara Adzan subuh berkumandang. Chairil pun membangunkan Widiya.
"Widiya, bangun Wid. Sudah adzan subuh, kamu nggak sholat subuh?" Panggilnya dengan lembut. Seraya ia mengusap-usap kepalanya Widiya lagi.
"Umm... Iya Yah. Sebentar lagi ya Yah." Sahut Widiya dengan suara ciri khas orang bangun tidur. Namun tiba-tiba ia tersentak dan langsung duduk tegak. Sepertinya ia tersadar bahwa Ayahnya telah tiada. "Astaghfirullah! Ayahkan sudah meninggal." Gumanya. Lalu matanya langsung beralih ke atas ranjang. Dan tampaklah olehnya Chairil yang sedang duduk sambil menatap dirinya juga. Dan dengan spontan Ia pun langsung bangkit dari duduknya.
"Apakah demam Kakak sudah turun?" Tanyanya. Seraya tangannya langsung menyentuh dahi Chairil tanpa menunggu jawaban darinya.
Chairil malah tersenyum saat melihat Widiya yang sedang memegang dahinya dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya ia tempelkan ke dahinya sendiri. Sepertinya ia ingin mengetahui perbedaan dari suhu tubuhnya dengan suhu tubuh Chairil.
"Alhamdulillah... Syukurlah demam Kakak sudah turun." Ucap Widiya tampak lega. "Kakak mau makan? Aku panasin dulu ya buburnya?" Tanyanya lagi. Seraya ia hendak mengambil mangkuk yang terdapat diatas meja.
"Nanti saja Wid. Mamas mau shalat subuh dulu. Jadi tolong ambilkan kursi rodanya ya." Pinta Chairil dengan nada suara terdengar lembut.
"Ooh baiklah." Bales Widiya dengan singkat. Lalu ia pun mengambil kursi roda Chairil. Kemudian ia rapatkan kembali kursi tersebut ke sisi tempat tidur. Lalu ia pun menurunkan kedua kaki Chairil ke lantai dengan perlahan. Setelah itu ia pun memeluk tubuh Chairil tanpa ragu sedikitpun. Lalu memindahkannya ke kursi roda.
"Ugh..."
Widiya langsung tersentak setelah melihat Chairil yang tiba-tiba saja meringis karena kakinya tersenggol oleh Kakinya. "Eh, sakit ya Kak? Maaf maaf, Diya nggak sengaja Kak." Ucapnya merasa bersalah.
"Aah, nggak papa kok Wid. Terimakasih ya. Sekarang kamu pergilah, hari ini kamu sekolahkan?" Tanya Chairil dengan lembut.
"Iya." Jawab Widiya dengan singkat.
"Ya sudah kalau begitu kamu bersiaplah dan jangan lupa shalat subuh dulu, oke?" Ujar Chairil.
"Um... Emangnya kakak nggak papa ditinggal sendirian?"
Chairil tersenyum tipis setelah mendengar pertanyaan dari istri kecilnya. Jelas sekali ada kekhawatiran yang tersirat diraut wajah cantiknya itu. Hal itu justru membuat Chairil tampak senang. Namun ia tak ingin menunjukkan rasa senangnya itu di hadapan istrinya.
"Emangnya kamu mau bolos sekolah?" Tanya Chairil balik. Widiya pun langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak bisakan? Ya sudah, kamu bersiaplah" katanya lagi.
"Maaf ya Kak, Diya mau ujian semester. Jadi nggak bisa bolos." Balas Widiya memberikan alasannya.
"Iya nggak papa. Kamu belajar yang benar ya. Agar kelak menjadi orang sukses." Ujar Chairil dan langsung dibalas Widiya dengan anggukan kepala saja. Setelah itu ia pun langsung pergi begitu saja tanpa berkata apapun lagi.
"Ay, langsung pergi? Nggak pamit dulu gitu?" Gumam Chairil setelah kepergian istrinya. "Hmm... Sudahlah yang penting dia sudah tidak jutek lagi sama Aku. Jadi aku bisa lebih mendekatinya lagi nantinya." Gumam Chairil. "Aah... Sebaiknya Aku ke kamar mandi, sudah hampir ketinggalan subuhnya." Katanya lagi, lalu ia pun langsung menggerakkan kursi rodanya menuju ke kamar mandi yang kebetulan masih berada kamarnya.
Lima belas menit kemudian, Chairil sudah kembali lagi ke dalam kamarnya. Dan ternyata diatas tempat tidurnya yang telah dirapikan terdapat setelan baju Koko berwarna putih berserta sarungnya yang masih terlipat rapih. Chairil pun tersenyum setelah melihatnya.
"Hmm... Istriku tubuhnya begitu kecil, tapi tenaganya begitu kuat, dan juga cekatan dalam bekerja. Lihat saja, baru juga Aku tinggal sebentar, tempat tidur sudah rapih aja." Gumanya seraya ia memakai baju Koko yang telah tersedia untuknya. Lalu dilanjutkan memakaikan sarungnya.
Setelah semuanya telah rapih Chairil pun langsung melaksanakan kewajibannya dengan posisi tetap duduk di kursi rodanya yang ia arahkan menghadap Kiblat. Tak memakan waktu yang lama, karena memang sholat subuh rakaatnya lebih sedikit. Makanya tak sampai lima menit ia pun telah menyelesaikan kewajibannya. Setelah selesai ia langsung menggerakkan kursi rodanya mengarah kepintu. Sepertinya ia ingin keluar dari kamarnya.
Baru saja Chairil melewati pintu kamarnya. Tiba-tiba kursi rodanya didorong oleh seseorang dari belakang. Ia pun langsung menoleh kebelakang. Dan ternyata istri kecilnya yang telah mendorongnya. Karena memang kamar mereka saling bersebelahan. Jadi saat ia keluar dari kamarnya. Ternyata Widiya juga baru keluar dari kamarnya.
"Kamu sudah mau berangkat?" Tanya Chairil setelah melihat istrinya yang telah rapih dengan seragam sekolahnya.
"Iya." Balas Widiya dengan singkat. Sambil ia mengarahkan kursi roda Chairil ke meja makan. "Sekarang Kakak sarapan bubur dulu ya. Nanti setelah sarapan jangan lupa diminum obatnya, ya?" Katanya sambil mengambilkan semangkuk bubur yang masih panas, lalu ia letakkan diatas meja tepat dihadapan Chairil.
"Baiklah Nyonya Chairil." Balas Chairil, membuat Widiya yang mendengarnya langsung tersentak.
"Eh! Iiih... Apaan sih kak?" Widiya tampak merinding tatkala di panggil nyonya.
"Kenapa? Apakah kamu tidak mengetahui nama suami kamu, hm?" Tanya Chairil. Namun tak di jawab oleh Widiya. "Baiklah akan keberitahu. Tapi kamu harus mengingatnya ya? Dengar baik-baik, nama suami kamu, Chairil Rafqi Alfarazel. Tapi kamu cukup panggil Mamas Airil aja, oke?" Katanya lagi. Dan lagi-lagi Widiya tak meresponnya. Yang ia lakukan hanyalah menuangkan air minum kedalam gelas, lalu ia letakkan di samping mangkuk yang ada hadapan Chairil.
"Udah selesai? Diya berangkat Kak." Pamit Widiya, membuat Chairil langsung terpelongoh.
"Haaa... kok main pergi aja sih? Emangnya kamu nggak sarapan dulu?" Tanya Chairil dengan nada suara tinggi, sebab Widiya sudah hampir mendekati pintu luar.
"Sudah! Tadi saat memanasin bubur!" Jawab Widiya dengan suara kerasnya juga. Sebab ia sudah berada di luar rumah.
"Haiiis... Ternyata sulit banget ya mengakrabinya. Mana nggak bisa di bawa bercanda lagi." Gumam Chairil dengan mata mengarah ke pintu. "Aah... Tidak papa Airil, pernikahanmu kan masih seumur bayinya jagung. Jadi perjalanannya masih panjang. So... Cayo Airil!" katanya lagi, menyemangati dirinya sendiri.
Bersambung
┈┈••✾•◆❀◆•✾••┈┈
Jangan lupa tinggalkan jejaknya ya guys. Kasih bintang, Like, Vote, dan komentar, kalau suka dengan novel Author ini, oke? Syukron 🙏🏻
thor prasaan dkit bngt dah up ny, ga terasa/Grin/
double up kk/Grin/
prsaan trsa dkit ya mmbca krya tiap bab ny/Grin/.
brhrap ada double up, triple up. pisss hny brcnda tpi smga diwujudkn/Grin/