Ini tentang gadis ambigu yang berhasil merayakan kehilangannya dengan sendu. Ditemani pilu yang tak pernah usai menyapanya dalam satu waktu.
Jadi, biarkan ia merayakannya cukup lama dan menikmatinya. Walau kebanyakan yang ia terima adalah duka, bukan bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raft, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terbang - 12
...Melihatmu saja mampu membuat hatiku berbunga-bunga. ...
...Terimakasih sudah ada. ...
***
Malam ini rumahnya sangat ramai. Dipenuhi suara obrolan juga tingkah sepupunya yang sangat menyebalkan.
Dikta dan Ananta ini tercipta dari apa, sih? Kok aktif sekali dari tadi.
Rai sedang enak-enaknya nyemil sambil nonton, harus dibuat darah tinggi ketika Dikta tiba-tiba membungkus kepalanya dengan kantong kresek dari belakang.
"Ih! Ni diem, atuh!" Teriak Rai sambil menarik kereseknya dengan kasar.
Tante Dilla yang mendengar teriakkan Rai langsung berlari dari arah dapur untuk melihat kondisinya. Pasalnya ia sangat tau bagaimana tabiat kedua anaknya itu.
"Diapain, Rai?" Tanyanya ketika sampai.
"Masa kepala Rai dikeresin sih, Tan? Kayak belanjaan aja." Balas Rai sembari mengangkat kresek hitam itu, untuk ditunjukkan kepada Tante Dilla sebagai bukti nyata.
"Sama siapa? Dikta atau Ananta?"
"Dikta."
Tante Dilla menghela napas panjang. Lalu mengedarkan pandangan, mencari keberadaan Dikta untuk diberi peringatan.
Karena matanya tak berhasil menemukan, Tante Dilla akhirnya berteriak cukup kencang, memanggil Ananta yang sepertinya sedang berada diluar.
"Dikta Dirgantara!"
Dipanggil nama panjangnya, Dikta langsung menghampiri Ibunya dan menyengir tanpa dosa.
"Minta maaf sama Rai!"
Walau setengah cemberut, Dikta menghampiri Rai yang menatapnya cukup tajam, juga rambutnya yang berantakan.
Dikta mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Minta maaf ya, Rai. Tadi cuman bercanda. Biar rumah ini gak sepi sepi amat."
Rai menghela napas panjang, dan menerima uluran tangan Dikta. "Iya. Maaf juga aku gampang keselan orangnya."
"Gak papa, aku orangnya emang ngeselin." Dikta mengaku juga ternyata. Baguslah.
"Woi, Ta! Bantuin aku turun! Lama bener, astaga."
Padahal suasana sudah adem ketika mereka saling memaafkan. Tapi teriakkan Ananta dari luar membuat mereka kembali merasakan hawa yang tak menyenangkan.
Semua berjalan cepat keluar, dipimpin Dikta yang pasti sudah tau Ananta sedang ada diluar.
Terlihat jika Ananta sedang bergelantungan di pohon mangga milik keluarga Rey. Bahkan Rey dan Renata saja sampai keluar untuk melihat keadaan, setelah tadi teriakkan Ananta terdengar cukup lantang.
"Astagfirullahalazim, Nanta! Turun!" Suara Tante Dilla menggelegar, membuat tetangganya yang lain pada keluar.
"Bantuin, atuh! Tadi 'kan Nanta udah manggil Dikta buat bantuin turun."
"Kumaha ai kamu, naik bisa, turun teu bisa. Turun sorangan!"
(Gimana ai kamu, naik bisa, turun gak bisa. Turun sendiri!)
Tante Dilla sepertinya sudah sangat lelah mengurus kedua anaknya yang sangat aktif ini. Suaranya saja sampai tercekat menahan kesal.
"Lagian kamu kenapa naik pohon punya orang, sih?! Lama-lama Mamah jual kamu ke orang Belanda!"
Walau kesal, Tante Dilla tetap membantu Ananta untuk turun ke bawah. Disaksikan puluhan mata yang melihat ke arah mereka.
"Maaf ya bapak, ibu udah ganggu ketenangannya. Buat keluarga yang punya pohon mangga juga, saya bener-bener minta maaf." Ucap Tante Dilla setelah Ananta berhasil turun dan kini tengah berdiri di samping Dikta.
"Gak papa, Bu. Jadi hiburan sebentar."
Untunglah tetangga Rai baik semua.
"Jadi artis kita. Banyak yang nonton." Ucap Ananta berbisik kepada Dikta. Dikta juga langsung mengangguk antusias dan melambaikan tangannya kepada semua.
Orang yang otaknya kurang waras memang seperti ini. Jadi tolong maklumi saja, ya.
Tante Dilla langsung menarik tangan Dikta dan Ananta yang masih melambaikan tangannya ke udara, untuk masuk ke dalam rumah. Menahan malu karena menjadi pusat perhatian hal yang tidak menyenangkan.
Sedangkan Rai mulai melangkah ke arah Rey dan Renata yang masih setia menapaki tempatnya. Tersenyum sebentar lalu membungkukkan tubuhnya sebagai permintaan maaf yang dalam.
"Atas nama orang gila itu, aku minta maaf!"
Rey bahkan tertawa geli mendengarnya. Orang gila katanya.
"Santai. Gue seneng liat tingkah mereka."
Rai langsung menegakkan tubuhnya dan melotot tak percaya. "Aku jamin, kamu gak akan seneng kalau tinggal sama mereka. Muka aku aja tadi dikeresekin, masa!"
Rey kembali tertawa, bahkan sekarang lebih lepas dari sebelumnya.
Renata yang mendengar tawa menggema dari kakaknya, merasa bahagia. Ini pertama kalinya Rey tertawa karena orang selain keluarganya.
"Sayang banget gue gak liat muka lo itu. Pasti lucu."
Rai tambah melotot mendengarnya. "Lucu dari Hongkong! Mana kereseknya bekas ikan asin lagi."
Tawa Rey bertambah kencang, bahkan ia memegang perutnya yang mulai keram karena banyak tertawa sekarang.
"Kamu ini gak sopan! Aku lagi nyeritain tentang duka, kamu malah ketawa." Ucap Rai sebal, sembari menyilangkan tangannya di depan dada.
"Sorry, sorry. Tapi itu emang lucu. Sodara lo emang ada ada aja, astaga..."
"Iya, 'kan? Mereka itu emang nyebelin!"
"Emm, Kak Rai mau main dulu gak ke dalem?" Tanya Renata yang dari tadi hanya sibuk mendengarkan.
"Lain kali aja, ya! Sekarang udah malem. Takutnya ganggu. Lagi pun sebentar lagi jadwalnya aku tidur. Pamit, ya! Sampai ketemu besok."
Rey dan Renata mengangguk bersamaan. Dan mereka tidak langsung masuk ke dalam, mereka sibuk menatap Rai yang melangkah meninggalkan.
"Ren tambah yakin, kalau Kakak emang suka sama Kak Rai." Papar Renata yang membuat Rey menghela napas panjang.
"Kayaknya iya, karena kalau ada dia, hati Kakak selalu ngerasa nyaman."
Renata mengembangkan senyumnya. "Kalau gitu, tunggu apa lagi?"
Kalau Rey melangkah lebih jauh, takutnya ia juga menyakiti Rai lebih dalam ketika ia nanti menghilang.
Rasanya percuma untuk mengungkapkan, kalau umurnya saja tidak akan panjang.
Jadi, ia akan menikmatinya saja. Dan menunggu jawaban dari Tuhan, perihal apa yang harus ia lakukan ke depannya.
***
Kata Lengkara, hari ini kelas 12 tidak akan belajar. Karena sebelum mereka fokus untuk mempersiapkan ujian kelulusan, mereka akan disuguhkan berbagai pertunjukan dari adik kelasnya, juga berbagai perlombaan yang pasti akan menyenangkan.
Dan disinilah Rai dan yang lainnya berada. Di lapangan utama yang ramai oleh bazar makanan, serta berbagai pertunjukan yang baru dimulai.
"Lo mau jajan gak, Rai?"
Suara Lengkara hanya singgah sementara. Karena langsung teralihkan oleh suara musik yang mengalun di udara, juga ramainya orang di sekitar mereka.
"Rai? Mau jajan, gak?" Tanya Lengkara sekali lagi.
"Liat liat dulu. Kalau ada yang Pikabitaeun, mau."
Lengkara merasa kesal karena tidak mengerti apa yang Rai ucapkan. "Pikabitaeun itu apa? Jangan pake bahasa yang gak kita ngerti, dong!"
Angkasa tiba-tiba menoyor jidat Lengkara. "Lo aja kali yang gak ngerti, gue mah ngerti." Ucapnya.
"Apa coba?"
Angkasa baru akan membuka mulutnya, tapi langsung tertahan karena Rey sudah menjawab duluan.
"Menggiurkan, intinya kalau dia mau, dia bakal beli."
Angkasa mengangguk membenarkan, sembari menatap Lengkara yang berdehem panjang.
"Udah beli makanan. Kita langsung cari tempat duduk, ya! Biar bisa liat perform dengan nyaman."
Semua menyetujui ucapan Lengkara.
Mereka melangkahkan kaki bersama untuk menjelajahi setiap stand makanan yang tersedia. Hingga akhirnya kaki mungil Rai berhenti di depan stand penjual jasuke, makanan yang ia suka.
"Aku mau ini, deh!"
Dan entah kenapa, semua jadi tertarik dengan makanan serupa.
"Aku pengen keju sama susunya aja. Bisa, 'kan?" Pertanyaan Rai mampu membuat semua yang ada disana menatapnya heran.
"Bukan jasuke dong itu namanya-"
"Tapi suke!" Sela Rai mendahului ucapan Rey.
"Emang jasuke tanpa jagung enak?"
Kalau iya, Rey ingin mencoba juga.
"Ya kamu bayangin aja. Kalau keju sama susu rasanya bakal kayak gimana."
"Manis."
"Kayak lo." Lanjutnya dengan berbisik.
Jantung Rai bertalu kencang, merambat ke seluruh tubuhnya, dan merasakan getaran tak biasa ketika ucapan itu terdengar olehnya.
Ketika mata Rai menatap ke arah Rey, senyum tulus itu menyapanya. Membuat orang yang melihat itu bisa terpesona seketika.
Ganteng.
Eh, astaghfirullah. Gak boleh! Batinnya.
"Astaga naga! Rey senyum karena si Rai!" Ucap Lengkara dengan heboh, karena dirinya juga tak sengaja melihat senyuman itu.
Lengkara menengadahkan tangannya, dan menyebutkan harapannya dengan kencang. "Ya allah, gantikan aku dengan si Rai. Hambamu ini pengen jadi sumber Rey tersenyum seperti tadi. Biar mukanya terus keliatan sempurna! Aamiin.."
Angkasa kembali menoyor jidat Lengkara. Mencipta ringisan kecil karena tidak suka. "Doa tuh yang bener, tutup auratnya."
"Ih! Sakit, tau! Noyor mulu dari tadi hobi lo. Heran gue." Lengkara tentu merasa kesal.
"Lebay lo! Orang gue noyornya pelan."
"Ya tetep aja gue gak suka. Gak sopan tau, gak?"
"Gak tau."
"Kalau gak tau nanya. Punya mulut gunanya apa?"
Rey menarik Rai agar menjauh dari mereka yang sedang beradu omongan. Menghindari hal yang pasti membuat Rai bosan. Karena Lengkara dan Angkasa memang selalu bertengkar sampai berjam-jam dan merugikan sekitar.
Rey berniat membawa Rai untuk mencari tempat. Agar mereka bisa menikmati acara, hanya berdua saja. Seperti keinginannya.
***
^^^24-Mei-2025^^^