Lina dokter muda dari dunia modern, sang jenius harus meninggal karena kecelakaan tunggal, awalnya, tapi yang sebenarnya kecelakaan itu terjadi karena rem mobil milik Lina sudah di rusah oleh sang sahabat yang iri atas kesuksesan dan kepintaran Lina yang di angkat menjadi profesor muda.
Tapi bukanya kelahiran ia justru pergi kedunia lain menjadi putri kesayangan kaisar, dan menempati tubuh bayi putri mahkota.
jika ingin kau kelanjutannya ayo ikuti terus keseruan ceritanya, perjalan hidup sang putri mahkota
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26
Langit di atas Menara Sinar Ketiga kembali jernih, awan-awan yang semula menggumpal suram telah tersapu bersih oleh kemenangan Shuwan dan Feng Aoren. Tapi suasana hati Shuwan justru terasa semakin berat.
Ia berdiri di puncak menara, memandang ke arah utara. Phoenix Api dan Es mengitari tubuhnya, tapi aura mereka tampak gelisah.
"Ada yang datang," desis Phoenix Es, matanya menyipit ke arah cakrawala.
"Atau... sesuatu yang sedang menunggu," sahut Phoenix Api.
Feng Aoren berdiri tak jauh dari Shuwan. Dalam diamnya yang tenang, aura kekuatan menyelubunginya—seperti kabut gelap yang bukan iblis, namun dingin dan kokoh.
“Kau melihat sesuatu?” tanya Aoren akhirnya, suaranya dalam dan tenang.
Shuwan mengangguk. “Bayangan baru. Tapi... aku juga melihat cahaya. Seberkas kecil, jauh di utara. Aku yakin itu adalah pecahan cahaya keempat.”
Feng Aoren menyilangkan tangan, memandang arah yang sama. “Wilayah utara itu dijaga oleh Pasukan Pemburu Ilusi. Mereka tidak berpihak pada siapa pun. Mereka tunduk hanya pada kekuatan yang bisa menundukkan realita.”
“Berarti kita harus sampai ke sana sebelum iblis melakukannya,” ucap Shuwan lirih.
Aoren menoleh padanya, matanya menyipit. “Kau tidak ragu?”
Shuwan menatapnya lurus. “Sudah terlalu banyak yang kupertaruhkan. Aku tidak bisa berhenti sekarang. Dan jika kau memilih ikut, maka aku percaya padamu.”
Ada ketenangan di wajah Feng Aoren, tapi juga sorot peringatan. Ia tak menjawab, hanya membalikkan tubuh dan mulai melangkah.
“Kita berangkat saat senja.”
---
Di Dalam Mimpi Shuwan
Malam itu, Shuwan bermimpi.
Ia berdiri di dalam sebuah kuil kuno. Cahaya putih lembut menyinari patung raksasa perempuan bersayap, bermata lembut namun penuh kekuatan. Di hadapannya berdiri seorang lelaki berpakaian perang, berselubung kabut hitam dan putih—memiliki aura yang sangat familiar.
Shuwan melangkah maju. “Siapa kau?”
Lelaki itu membalikkan badan. Wajahnya teduh. Dingin. Namun saat menatapnya, mata lelaki itu melembut.
“Kau terlambat datang… Shuwan,” ujarnya.
“Kau... Feng Aoren?” bisiknya, walau dalam hati ia sudah tahu.
Lelaki itu mengangguk. “Dulu... kita pernah berdiri di sisi yang sama. Tapi kau belum mengingatnya sepenuhnya.”
Sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, dunia mimpi pecah—dan Shuwan terbangun dengan napas terengah.
---
Pagi di Perbatasan Utara
Perjalanan menuju utara tidak mudah. Kabut ilusi menggantung rendah, membuat setiap arah terlihat sama. Bahkan waktu terasa kacau—matahari muncul di timur dan barat sekaligus.
“Tanda bahwa kita sudah masuk wilayah perbatasan Pemburu Ilusi,” kata Feng Aoren. “Kita akan diuji. Tidak oleh pedang, tapi oleh kenyataan.”
Benar saja.
Di pertigaan batu besar, jalan di hadapan mereka berubah menjadi dua:
Satu jalan memperlihatkan masa depan Shuwan duduk di atas takhta kekaisaran, dikelilingi cahaya, rakyat bersorak.
Jalan lain memperlihatkan masa lalu—di mana ibunya, Permaisuri Jian, sedang memeluknya untuk terakhir kali, darah mengalir dari bibirnya.
Shuwan terhenti. Matanya memerah. Kedua Phoenix-nya meringkuk di dekat kakinya, bingung.
“Kau harus memilih,” ujar Aoren tanpa mendekat.
Shuwan menarik napas panjang. Ia menutup mata, lalu menjejakkan kaki di antara kedua jalan—dan menciptakan jalannya sendiri.
Cahaya muncul di bawah kakinya, menelan ilusi masa lalu dan masa depan.
“Aku tidak akan diperbudak oleh harapan ataupun penyesalan,” gumamnya.
Aoren tersenyum kecil. Dalam hati, ia berkata: Kau memang berbeda dari yang lain... Shuwan.
----
Mereka akhirnya melewati perbatasan. Di kejauhan, sebuah gunung es berdiri menjulang. Dan di puncaknya—bersembunyi dalam ribuan segel dan mantra—bersinar cahaya keempat, dikelilingi makhluk penjaga bernama Loh-Kha, sang Penjaga Realita.
Namun di balik kegelapan hutan es, pasukan iblis mulai merangkak naik.
Dan di antara mereka... seorang wanita misterius dengan wajah mirip Shuwan tersenyum pelan.
“Waktunya kau kembali padaku… saudariku,” bisiknya.
...----------------...
Salju turun perlahan di wilayah Gunung Salaka, wilayah utara tempat legenda Loh-Kha, sang Penjaga Realita, menjaga pecahan cahaya keempat.
Shuwan dan Feng Aoren tiba di tepi lembah es. Aroma sihir kuno memenuhi udara, seolah waktu tak lagi berlaku di tempat itu. Di depan mereka, jalur menuju puncak tampak seperti tangga kristal yang melayang, tapi langkah pertama tidak bisa diambil sembarangan.
"Ini medan ujian," ujar Aoren sambil mengamati segel-segel di udara. "Setiap langkah akan membuka ingatan yang paling dalam dan ketakutan yang paling gelap. Kita harus tetap sadar, atau akan tersesat selamanya."
Shuwan menggenggam pedangnya erat. Di pundaknya, dua Phoenix menyempitkan mata, bersiaga. Cahaya dari tubuh mereka saling menyatu, menandakan kekuatan gabungan api dan es yang siap dilepaskan kapan saja.
"Kalau begitu, ayo kita mulai," ucap Shuwan mantap.
Mereka melangkah.
---
Di Dunia Bayangan
Sementara itu, jauh di hutan es bawah Gunung Salaka, sesosok perempuan bertudung hitam berdiri menghadap sebuah kolam beku. Ia tak lain adalah Yi Lian, wanita misterius berwajah sangat mirip dengan Shuwan.
Di belakangnya, pasukan iblis bayangan tengah bersiap.
"Dia sudah mendekat," gumam Yi Lian sambil menyentuh permukaan es. Seketika, bayangan Shuwan muncul di sana.
"Aku tahu, suatu hari kita akan bertemu," lanjutnya pelan. "Kau yang membawa cahaya... dan aku, yang ditinggalkan dalam gelap."
Dari balik pepohonan, makhluk-makhluk berwujud kabut hitam menjelma. Mereka merunduk di hadapan Yi Lian, sang Putri Bayangan.
"Mereka akan menyesal telah membuangku," desisnya. "Dan cahaya itu... akan kularutkan ke dalam gelap untuk selamanya."
---
Pendakian Gunung Salaka
Setiap anak tangga yang diinjak Shuwan dan Aoren membawa mereka ke dunia ilusi.
Di satu langkah, Shuwan melihat bayangan ibunya—Permaisuri Jian—tersenyum.
Langkah berikutnya, ia melihat dirinya duduk sendiri di atas takhta kekaisaran, menangis dalam sepi, meski dikelilingi gemerlap kekuasaan.
“Jangan terkecoh,” suara Aoren mengingatkan dari sebelahnya.
Tapi kemudian Aoren juga terguncang.
Ia melihat dirinya berlutut di hadapan seorang lelaki tua bermahkota, lalu bayangan tubuhnya terikat rantai, dihakimi oleh rakyat yang dulu memujanya.
Aoren mendesah pelan, tapi tidak berhenti. “Ini... tak lebih dari bayangan masa lalu.”
Mereka melangkah bersama.
Dan akhirnya, di anak tangga ke-99, kabut ilusi pecah.
Di depan mereka berdiri Loh-Kha, makhluk raksasa dengan tubuh kristal, sayap cahaya dan mata menyala. Ia menatap keduanya tajam.
"Siapa kalian yang ingin mengambil cahaya keempat?"
Shuwan melangkah maju, aura dari pedang naga dan dua Phoenix melingkupinya.
“Aku adalah Putri Cahaya dari Kekaisaran Dawei. Aku datang bukan untuk menguasai cahaya itu, tapi untuk menyatukannya demi menghentikan kehancuran dunia.”
Loh-Kha memandang Aoren.
Feng Aoren tidak menjawab, tapi tubuhnya memancarkan aura seimbang—gelap dan terang. Yin dan yang.
“Dia... adalah penjaga batas dua dunia,” ucap Loh-Kha perlahan. “Maka aku akan menguji kalian satu hal terakhir—”
Tiba-tiba, tanah bergetar. Kabut hitam menyelimuti langit, dan puluhan iblis menyerbu ke atas.
Dari tengah kabut, melayang sosok Yi Lian.
Shuwan terkejut melihat wajahnya sendiri dari arah musuh.
“Kau... siapa kau sebenarnya?” tanya Shuwan dengan suara tajam.
Yi Lian tersenyum pahit. “Aku... adalah pantulanmu yang ditinggalkan. Aku adalah warisan yang dilupakan. Dan aku datang untuk mengambil tempatku kembali.”
Loh-Kha menyalakan perisai kristalnya.
Pertempuran besar pun tak terelakkan. Phoenix Api menghambur ke udara, menghanguskan pasukan iblis. Phoenix Es membekukan tanah, menghancurkan formasi musuh.
Feng Aoren melompat ke medan, pedangnya bersinar dengan kekuatan putih dan hitam yang menyatu.
Dan Shuwan...
Ia menatap Yi Lian dengan sorot sedih namun tegas.
“Aku tidak tahu siapa yang membuangmu... Tapi aku tahu, kita tidak perlu saling menghancurkan.”
Yi Lian tersentak. Sesaat, matanya memerah—bukan karena marah, tapi karena tersentuh.
Namun sebelum jawaban keluar, suara gemuruh dari lembah membuat semua terdiam.
Di balik kabut, Tuan Penguasa Kegelapan muncul—sosok yang lebih besar, lebih kelam dari yang pernah mereka lihat.
"Akhirnya... semua pemain telah berkumpul. Kini... kita mulai permainan terakhir."
Bersambung
---