Axel Rio terjebak bertahun-tahun dalam kesalahan masa lalunya. Ia terlibat dalam penghilangan nyawa sekeluarga. Fatal! Mau-maunya dia diajak bertindak kriminal atas iming-iming uang.
Karena merasa bersalah akhirnya ia membesarkan anak perempuan si korban, yang ia akui sebagai 'adiknya', bernama Hani. Tapi bayangan akan wajah si ibu Hani terus menghantuinya. Sampai beranjak dewasa ia menghindari wanita yang kira-kira mirip dengan ibu Hani. Semakin Hani dewasa, semakin mirip dengan ibunya, semakin besar rasa bersalah Axel.
Axel merasa sakit hati saat Hani dilamar oleh pria mapan yang lebih bertanggung jawab daripada dirinya. Tapi ia harus move on.
Namun sial sekali... Axel bertemu dengan seorang wanita, bernama Himawari. Hima bahkan lebih mirip dengan ibu Hani, yang mana ternyata adalah kakak perempuannya. Hima sengaja datang menemui Axel untuk menuntut balas kematian kakaknya. Di lain pihak, Axel malah merasakan gejolak berbeda saat melihat Hima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Village of Madness
Kulalui kehidupanku jauh dari kata ‘Kemewahan’. Aku bertemu banyak orang dari beragam profesi dan sebagian di antaranya masuk dalam kategori ‘berbahaya’. Contohnya, Bang Surip yang seorang petugas administrasi di gerakan pemuda setempat. Walau pun ada embel-embel ‘pemuda’ tapi para anggotanya ya tidak muda lagi. Mereka ini adalah preman setempat yang sebagian besarnya sudah merasakan bogem mentahku. Dia berperan besar mengenalkanku dengan banyak akses masuk ilegal ke instansi-instansi pemerintah.
3 bulan di kampung itu, aku dapat rumah sendiri dan tentunya kehormatan.
Apalagi... tampangku ini ganteng. Kayak artis kalau mereka bilang.
Antara senang dan tidak sih, di kondisi seperti ini wajah begini justru akan jadi masalah. Aku akan sangat mudah dikenali.
Selama tinggal di sini, kuganti nomor teleponku, kusimpan ponsel lamaku dan aku beli hape baru dengan merek yang terkenal tak mudah dilacak. Macam ZTE dan Huawei yang katanya seri tertentu dilarang diedarkan di Eropa dan Amerika karena ada regulasi produk yang ditolak. Nah justru ponsel yang begini bisa anti penyadapan. Ada lah trik-triknya agar hape itu bisa mendownload aplikasi yang umum.
Lewat Bang Surip, aku mengenal seseorang dengan nama Paijo.
Nama aslinya aku tak tahu, yang jelas kala itu dia petugas di Dukcapil. Aku ingin mengganti identitas diriku dan katanya si Paijo ini sudah biasa membuat KTP ganda untuk orang kampung sini.
Dia mulanya bertanya macam-macam, padaku.
Tak kujawab. Langsung kusodorkan 10 juta tunai di atas mejanya.
Tanpa banyak bicara, loloslah nama Jackson untuk identitas baruku.
Hanya satu kata itu.
Jackson.
Anak Jack Rio. Jack-Son.
Kubuat saja agamaku Islam, aku warga kampung sana.
KTP itu kugunakan untuk melamar ke Cafe di dekat gedung perkantoran, namanya D’Monsieur. Kujelaskan pada pemilik cafenya, aku putus sekolah. Aku kerja untuk dapat uang dan melanjutkan pendidikanku.
Sekali lagi, tampan Privilege.
Kalau wajahku amburadul pasti semua lebih waspada.
Kuncinya hanya dua, jauhi masalah dan ramah selalu.
Nahasnya, pengeluaranku banyak.
Banyak orang meminta bantuanku karena aku dianggap Ketua Genk.
Setiap bulannya ada saja Bayi dibuang di area kami. Ada saja orang kampung yang dipukuli, berantem, luka-luka, perkelahian antar kampung, yang beginian kan tidak bisa pakai BPJS. Juga banyak wanita hamil.
Aku mengerti kebutuhan biologis itu adalah hal yang manusiawi.
Dan saat Tuhan berkehendak, mau situ miskin, mau situ kaya, dia akan menitipkan amanahnya. Dia akan bolak balik hati makhlukNya, dari yang tak ingin punya anak karena miskin, menjadi terketuk hatinya untuk memiliki keturunan.
Saat melahirkan, malah kebingungan biayanya.
Aku tidak menyalahkan kemiskinan kami. Karena kalau korupsi tidak merajalela di pemerintahan, tidak akan ada orang miskin di negara ini. Indonesia ini kaya loh. Sumber dayanya lebih dari cukup untuk menghidupi 287juta jiwa, kalau dihitung secara matematis.
Tapi untuk mengungkap yang begini-beginian kan butuh campur tangan Tuhan.
Contohnya aku.
Sekaya apa aku dulu? Tuhan membalik kehidupanku 180 derajat.
Makanya jangan menghina kaum miskin, dan jangan iri dengan orang kaya.
Karena kedudukan itu bisa saja berbalik pada dirimu.
Siapa kamu mengatur-atur takdir seseorang, kamu manusia sama seperti kami.
Kembali lagi ke masalahku,
Jadi yang bisa kulakukan adalah membantu yang butuh pertolongan. Semampuku.
Jelas mereka tak berani pinjam uang padaku. Ya aku sadar diri saja, kasihan kalau aku tak acuh.
Aku pernah melihat video wanita melahirkan loh. Aku sangat tahu itu tak mudah.
Yang lebih sulit lagi adalah masa-masa setelah melahirkan, harus menghidupi anak banyak.
Yang aku merasa salut.
Mereka hidup miskin, tapi mereka mampu kasih makan anak banyak.
Banyak orang menyalahkan kaum kami, aku suka mencuri dengar obrolan para karyawan di Cafe yang membuat hatiku panas.
Seperti kata mereka, ‘tega-teganya orang miskin punya anak banyak, itu namanya Child Abuse, penganiayaan terhadap anak. Anak-anak kan jadi tak bisa hidup layak’.
Waduh, aku jadi tahu kalau pendidikan itu tidak menjamin kamu pintar.
Sebagai anak yang dibesarkan di keluarga kaya raya, aku cukup iri loh dengan anak-anak kampung sini. Yang disayang sepenuh hati oleh orang tua mereka. Bapak-bapak dan ibu-ibu berjuang keras rela menyerahkan nyawa 24 jam 7 hari untuk berusaha demi anaknya bisa makan.
Kalau Bapakku kan cukup menipu orang, menggelapkan uang, bisnis narkoboy, dan akhirnya dia menumbalkan anaknya sendiri. Semua dilakukannya sambil duduk dan bercinta dengan istri-istrinya. Bahkan dia sempat-sempatnya menyakiti ibuku. Dan banyak juga orang kaya yang menggunakan pengasuh untuk anaknya. Jadi kepribadian mereka malah mirip baby sitternya, bukan orang tuanya.
Setelah cocok dengan Babysitternya, anak-anak lengket kayak perangko, eeeh, si baby sitter dipecat ibunya.
Bukankah itu namanya juga penyiksaan, secara mental dipisahkan dari ‘ibunya’. Yang namanya ‘bonding’ tuh sulit dilepaskan loh. Kalau trauma, bisa jadi kayak Hani.
Yang seperti ini aku sangat percaya hanya sebagian kecil dari masyarakat. Medsos saja yang membesar-besarkan kesannya hampir semua rakyat berperilaku begini. Padahal lebih banyak wanita karier yang bisa menyeimbangkan antara pekerjaan dan kehidupan rumah tangga loh, pekerjaan mereka sukses, anak mereka juga dicurahi kasih sayang ortunya. dan sangat banyak laki-laki yang memuja-muja istrinya. Rela bekerja untuk mencari nafkah dan menikahi satu istri saja selamanya. Kasus perselingkuhan seperti di medsos itu kan terkesan banyak karena viral.
Dan mohon maaf, setelah kulihat-lihat, kebanyakan yang berselingkuh justru tampangnya standar, gaji pas-pasan.
Yang glowing sepertiku malah hidupnya kebanyakan menjauhi masalah. Aku lebih baik nyewa cewek spa daripada menikah. Aku belum bisa berkomitmen. Kubayangkan pasti sakit banget hatiku kalau aku diduakan. Karena aku melihat sendiri penderitaan ibuku saat bapakku berselingkuh dengan banyak wanita.
Komitmenku yang utama saat ini adalah : Hani. Tentu saja.
**
Kampung kami, suatu saat, dihebohkan dengan bayi yang dibuang di tempat sampah.
Aku dipanggil warga waktu lagi ngajarin anak-anak asuhku matematika.
Sambil ngedumel aku menghampiri kerumunan. Aku lumayan malas menghentikan saat-saat aku mengajar di ‘sekolah alam’, karena aku yakin Ical Asep dan Anton bakalan kabur kalau aku jeda waktu mengajarku 5 menit saja, mereka pasti sudah menghilang dan akan mangkal di lampu merah untuk ngamen.
Kenapa aku susah payah bikin sekolah di bawah Fly Over? Karena hal konyol sering terjadi, se-simple kesalahpahaman hitung-hitungan saja bisa bikin seseorang terbunuh, dan penyebabnya konyol. Sebagian besar karena pembagian hasil ngamen atau curian. Paling banyak yang kuajarkan adalah matematika dasar, dan agama.
Iyaaa, agama, terutama Islam karena mayoritas di sini. Apalagi kami seringkali menguburkan seseorang tak dikenal dengan cara Islam, atau dihantui korban, atau perasaan depresi yang mengarah ke bundir. Aku yakin semua itu bisa lebih ditanggulangi dengan agama.
Tentu saja tidak mudah bagiku belajar dari awal mengenai Islam. Ya tapi untungnya semua pengajaran di sana tidak jauh beda dengan yang diajarkan di gereja. Ada perbedaannya, tapi tidak banyak, dengan berbagai alasan yang menurutku cukup masuk akal. Sementara di sini, mereka bisa saja menyembah poster boyband Korea. Saat aku datang, mereka gantung fotoku di sebelah BTS dan di sediakan altar di bawah fotoku. ‘Mulai sekarang kamu Tuhan kami’. Gitu kata ciwi-ciwi punk.
Kutanya kenapa aku dianggap Tuhan.
Karena katanya aku ganteng dan selalu menolong yang kesulitan.
Bayangkan.
Ketawa aja, nggak papa kok, aku juga tak habis pikir, antara mau ketawa tapi kesal. Sambil tersenyum kusiram air seember ke kepala mereka. Makanya, aku akhirnya belajar agama, Islam dan Kristen karena di sini juga ada yang memeluk agama Kristen. Setelah aku tahu, kuajari mereka. Cara solat jenazah, cara menguburkan mayat, ayat kursi kalau ketemu setan, yang gitu-gitu.
Seringkali aku mau ketawa juga saat aku briefing sebelum beraksi mencuri, atau waktu main judi, mereka bilang “Bismillah, semoga berhasil’. Yaelah mau nyolong pake bilang Bismillah... penistaan itu namanya.
Tapi aku diam saja yang penting mereka ingat Tuhan.
Kembali lagi ke bayi yang dibuang itu.
Saat itu, usia Hani sekitar 14 tahun kala itu. Kondisinya masih sama seperti pertama kali. Bengong, pasrah, hanya menatap lurus ke depan.
Dan... sering dijahili anak-anak di sini.
Kuakui, sebagai anak yang beranjak dewasa, Hani lumayan cantik. Makanya semua orang percaya saja kalau Hani kusebut dengan ‘adikku’.
Jahilnya anak-anak di kampung ini tidak sama dengan anak normal pada umunya. Ical menyodorkan 'milik'nya di dekat mulut Hani.
Di depan mataku.
Asep sering meremas dada Hani saat aku lengah.
Anton apalagi, dia memiliki ketertarikan yang intens tapi tidak berani maju karena takut padaku. Jadi dia sering menciumi pempers Hani yang sudah kubuang ke tong sampah.
Sakit jiwa? Yah, di sini hampir semua memiliki perilaku yang di luar nalar.
Setelah kuajari mengenai etika berdasarkan agama, mereka agak mereda. Mereda karena kuancam.
Tebak apa yang mereka lakukan ke bayi yang dibuang itu?
Mereka tampar, mereka tendang, lalu mereka berteriak-teriak, “Buang ke kali, buang aja! Tampangnya serem, anak jin kayaknya nih, bekep aja mulutnya pake air comberan biar keselek!”
Tanpa mereka ketahui, saat mereka kecil, mereka juga ditemukan dalam keadaan yang sama.
“Kenapa lo gituin, bang sat!” seruku marah sambil menarik anak-anak di sana menjauhi bayi itu.
Ya maaf saja kalau bahasaku tidak sopan. Karena memang begitu adat di sini. Kalau aku bicara sesuai kaidah, yang ada malah mereka akan merendahkanku. Sementara aku masih harus menyembunyikan Hani sampai dia bisa mandiri dan bisa tetap perawan. Kupilih usia 18 tahun karena itu usia dewasa.
“Dia bayi setan bang, liat aja tampangnya aneh gitu! Pantes aja dibuang.” Kata seorang anak.
Kuperhatikan bayi yang tergeletak di tumpukan sampah itu. Dari wajahnya, dia adalah pengidap down sindrom.
Aku menarik nafas panjang.
Miris...
Kutoyor dahi anak di sebelahku, “Tampang lo juga sama anehnya, bego. Lo nggak pernah ngaca? Di sini yang tampangnya paling bener cuma gue.” Gerutuku.
“Cacat nih bayi, cuma nyusahin doang nanti.” Salah satu abang preman berkedok penjual mainan malah mengangkat bayi itu tapi dengan cara narik sebelah kaki si bayi ke atas. “Buang ajalah...” dan dia putar-putar bayi itu bersiap mau membuang sosok mungil itu ke sungai.
“Lancang banget lu, gue belum ngomong apa-apa. Turunin.” Geramku.
Dia diam, menatapku, lalu dia lempar bayi itu ke tumpukan sampah lagi.
Dia....lempar.
Pembaca tak tahan? Itulah yang terjadi di jalanan.
Makanya jaga selalu anak kalian, jangan sampai lepas dari pandangan dan diculik, lalu berakhir di jalanan. Karena ini yang akan terjadi.
Ini yang membuatku menetap di sini, di lokasi ini.
Berbatasan dengan perkantoran elit dengan kaum hedon yang bekerja di sana, rupiah-rupiah berseliweran di lantai, aksesoris emas menghiasi tangan dan leher mereka, ada kampung yang seperti ini. Sangat tidak merata, sangat senjang.
Dan semua tutup mata.
Kenapa?
Karena saat mereka mau bersikap baik, orang di kampung ini malah memanfaatkan keadaan dengan lebih kurang ajar lagi.
Tidak semua memiliki kemampuan bela diri sepertiku, dengan dendam membara di kepalaku, dengan keadaan tak takut mati sepertiku. Tidak semua memiliki mental sepertiku.
Yang bisa masyarakat awam lakukan hanyalah menghindar dan berusaha tak peduli. Tidak berurusan dengan preman, kesenggol dikit panggil aparat. Itu saja tindakan paling tepat.
Ah, kalau sekarang, panggil damkar saja ya.
Tahu lah kenapa.
Kuambil bayi itu dan kugendong dengan hati-hati.
Bayi ini tidak menangis, hanya menatap kosong. Mungkin karena dia ‘anak luar biasa’ jadinya tidak bertingkah senormalnya bayi.
Namun, aku langsung sayang padanya.
Ini anak istimewa, dan kehadirannya di sini mungkin sebagai kesempatan bagiku untuk memutihkan dosaku.
Tanpa banyak bicara, kubawa dia ke dokter .
Ke dokter ya, bukan puskesmas. Karena petugas di sana pasti akan menghubungi dinas sosial. Dinas sosial pasti akan mencari tahu siapa yang membawa anak ini ke puskesmas, lalu malah menuduhku macam-macam. Bisa-bisa aku malah jadi tersangka.
Sementara kalau dokter umum, karena buka praktek untuk makan diri sendiri, dan tidak terikat dengan pihak instansi manapun, lebih bisa diajak kerjasama.
Ya tapi memang aku harus merogoh kocekku dalam-dalam.
Atas saran dokter, aku membeli beberapa obat oles, salep, susu, dan kubersihkan dia dengan hati-hati. Kunamai dia Farid.
Tapi karena aku harus kuliah sekaligus bekerja, akhirnya mau tak mau aku harus bayar pengasuh untuk Farid. Karena anak-anak lain pasti akan menyerangnya.
Mukjizat pun terjadi.
kau kan liat Hana Sasaki pas ada luka g0r0k di lehernya... himawari keadaan baik baik saja...
jelas beda lah Jakson
mksih sdh rajin update teruuusss...
terima kasih up nya Thor séhat selalu 🙏🏻🙏🏻🥰
yg tadinya mood bacanya berterbangan entah kmn ....eeehh tetiba semangat lagi
nuhun madaaaam