Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.
Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.
Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.
Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.
Nah, kalau gue sendiri?
Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.
Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?
Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?
Itu cerita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Party
Suara musik dari klub-klub tumpah ke jalan, orang-orang pada ketawa, mobil lalu-lalang dengan klakson yang bersahutan. Gue mengikuti GPS di HP, menyebrang jalan, terus masuk ke kompleks rumah-rumah mewah. Gue jalan terus sampai akhirnya berhenti di depan rumah dua lantai yang, kata aplikasi, ini tempatnya.
Tangan gue mulai agak basah, jadi gue lap di jeans, ambil napas dalam, dan menyemangati diri sendiri. "Ayo, lo sudah sampai sini, Asta. Tinggal masuk doang."
Pintunya terbuka lebar, dan nggak ada yang peduli siapa yang keluar-masuk. Terlalu banyak orang. Musik makin kencang…
Musiknya benar-benar terasa sampai ke tulang, bikin telinga gue bergetar. Gue menyelip di antara sekumpulan orang yang... gue nggak yakin mereka lagi joget atau cuma berdiri diam saja. Kayaknya sih campuran keduanya.
Gue terus jalan sampai ke ruangan yang agak luas, ada rak buku besar menempel di salah satu dindingnya. Beberapa grup orang lagi ngobrol di sana, dan di tengah-tengah mereka, gue lihat dia.
Selma.
Dia lagi ketawa, kelihatan santai banget di antara orang-orang itu. Dan ya, jantung gue langsung ngebut kayak orang tolol.
Gue maju selangkah, ragu-ragu, mencoba dekati dia. Tapi terus… di pojok mata gue, ada sesuatu yang mencolok.
Gue refleks noleh ke kanan.
Phyton.
Dia cuma beberapa meter dari gue. Tapi dia nggak sendiri.
Di belakangnya, ada cowok berambut hitam melingkarkan tangan di pinggangnya dari belakang. Gue lihat dia cium pipi Phyton, sebelum akhirnya menyandarkan dagunya ke pundaknya… dan matanya langsung bertemu sama mata gue.
Selama beberapa detik, gue cuma bisa diam di tempat, menelan ludah.
Dan tiba-tiba, kata-kata Niria balik lagi ke kepala gue:
"Lo merasa, nggak, laut itu kayak nggak ada ujungnya?"
Gue menghembuskan napas pelan. "Iya, Niria. Emang nggak ada ujungnya."
Di tengah lautan manusia, gue cuma bisa berdiri diam, ragu-ragu.
Selma cuma beberapa langkah di depan gue. Dia belum lihat gue karena lagi asik ketawa sama sesuatu yang dibilang cewek di depannya. Gue perhatiin pipinya jadi agak lebih tembem pas dia ketawa.
"Gemesin," pikir gue.
Gue mengerti kenapa dia populer di kampus. Ada aura hangat di dalam dirinya, dan senyum itu, yang bisa menghidupi suasana. Nggak heran semua orang pengen ada di sekitarnya.
Dia mengingatkan gue sama Dino. Kayaknya mereka punya energi yang sama, yang bikin orang-orang langsung tertarik.
Gue selalu kepo sama bagaimana uniknya setiap manusia. Kayaknya itu juga salah satu alasan kenapa gue mutusin buat ambil Psikologi. Gue pengen mengerti lebih dalam tentang perilaku manusia, bagaimana kepribadian berkembang, dan semua hal yang nyambung ke situ.
Bagaimana bisa, meskipun tumbuh di rumah yang sama, gue dan saudara-saudara gue bisa punya kepribadian yang beda jauh?
Gue nggak bisa bohong, selama ini gue sering banget bandingin diri sendiri sama mereka… atau sama teman-teman mereka.
Anan sama Antari emang cenderung dingin, tapi itu nggak bikin mereka susah dapat teman atau bergaul.
Jadi kenapa gue yang malah kesulitan buat itu?
"Kamu itu jiwa tua yang kebetulan lahir di tubuh anak muda."
Kata-kata Kakek tiba-tiba muncul di kepala gue.
"Asta?"
Gue kaget waktu dengar suara Bessie di samping gue. Gue langsung noleh, dan ekspresi di mukanya nunjukin kalau dia juga sama kagetnya kayak gue. Gue nggak nyangka bakal ketemu dia di sini.
Dia satu-satunya teman yang gue punya di kampus, tapi selama ini, gue pikir dia bukan tipe yang suka datang ke pesta.
Rambutnya yang agak ikal diikat tinggi, dan dia pakai sweater merah sama jeans longgar.
"Oh… nggak nyangka," balas gue.
Bessie benarin kacamatanya sambil senyum. "Sama. Gue juga nggak kepikiran bakal ketemu lo di sini."
"Percaya deh, gue berpikir seribu kali sebelum mutusin buat datang."
"Mau minum?" Dia angkat cup merah di tangannya, tapi gue langsung geleng sebelum balik melihat ke arah Selma.
Bessie menangkap gerakan mata gue, terus tiba-tiba dia ngomong, "Ohh, Selma, ya?" Terus dia kelihatan kayak lagi mengingat sesuatu. "Tunggu… hari pertama kita ketemu, lo nulis ‘Selma’ di buku lo. Jadi itu, dia?"
cobalah utk hidup normal phyton
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗
𝚜𝚎𝚖𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚍𝚘𝚗𝚐 🥰🥰
𝚜𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚌𝚘𝚌𝚘𝚔 𝚢𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 🥰🥰
𝚜𝚎𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚍𝚐𝚗 𝚊𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚗𝚎𝚖𝚞𝚒𝚗 𝚓𝚊𝚝𝚒 𝚍𝚒𝚛𝚒 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚍𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚙𝚊𝚒𝚗 𝚟𝚎𝚢..𝚐𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚝𝚞𝚓𝚞 𝚔𝚕𝚘 𝚊𝚜𝚝𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚟𝚎𝚢