NovelToon NovelToon
Takdir Yang Berbelit: Dari Mata-Mata Menjadi Duchess

Takdir Yang Berbelit: Dari Mata-Mata Menjadi Duchess

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Romansa Fantasi / Cinta Paksa / Mengubah Takdir / Fantasi Wanita / Bercocok tanam
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: d06

Prolog

Hujan deras mengguyur malam itu, membasahi jalanan berbatu yang dipenuhi genangan air. Siena terengah-engah, tangannya berlumuran darah saat ia berlari melewati gang-gang sempit, mencoba melarikan diri dari kematian yang telah menunggunya. Betrayal—pengkhianatan yang selama ini ia curigai akhirnya menjadi kenyataan. Ivana, seseorang yang ia anggap teman, telah menjebaknya. Dengan tubuh yang mulai melemah, Siena terjatuh di tengah hujan, napasnya tersengal saat tatapan dinginnya masih memancarkan tekad. Namun, sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak akan mati begitu saja.

Di tempat lain, Eleanor Roosevelt menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat tanpa kehidupan, seolah dunia telah menghabisinya tanpa ampun. Sebagai istri dari Duke Cedric, ia seharusnya hidup dalam kemewahan, namun yang ia dapatkan hanyalah kesepian dan penderitaan. Kabar bahwa suaminya membawa wanita lain pulang menghantamnya seperti belati di dada

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22 – jawaban yang ditunggu

...🌷 happy reading 🌷...

Sore itu, di ruang kerja yang diterangi cahaya matahari keemasan, Cedric duduk di belakang meja kayu mahoni yang penuh dengan tumpukan dokumen. Beberapa peta laut terbuka di hadapannya, menunjukkan rute pelayaran yang akan mereka tempuh. Namun, pikirannya melayang ke hal lain—ke seseorang yang sejak beberapa waktu ini membuatnya merasa ada yang ganjil.

Di seberang meja, Brian berdiri dengan tangan di belakang punggung, menunggu perintah selanjutnya. Meski secara hierarki dia adalah bawahan Cedric, hubungan mereka lebih dari sekadar tuan dan pengawal. Mereka sudah lama bersama, melewati banyak hal hingga Brian bisa dikatakan sebagai tangan kanan sekaligus sahabat Cedric.

Cedric menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara, “Brian, Eleanor ingin ikut bersama kita berlayar.”

Brian menoleh dengan ekspresi terkejut, seolah tak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. Dahinya sedikit berkerut sebelum dia bertanya, “Anda yakin tidak salah dengar, Tuan Cedric?”

Selama ini, Eleanor bukanlah tipe wanita yang suka bergaul atau bahkan ikut campur dalam urusan luar rumah. Setidaknya, itulah yang Brian ketahui dari sikapnya selama ini. Eleanor lebih sering diam dan tampak menjaga jarak dari orang lain. Bahkan dalam percakapan sehari-hari, dia jarang menatap lawan bicaranya secara langsung.

“Aku yakin. Eleanor sendiri yang mengatakan bahwa dia ingin ikut,” ujar Cedric sambil menatap Brian lekat-lekat. “Menurutmu, apa yang harus aku lakukan?”

Brian tidak langsung menjawab. Matanya sedikit menyipit, tampak berpikir dalam. Akhirnya, dia berkata dengan hati-hati, “Entahlah, Tuan. Jika Nona Eleanor ikut, saya khawatir dia akan kesulitan di sana. Pelayaran ini bukan perjalanan yang nyaman bagi seorang wanita, apalagi dia belum pernah mengalami perjalanan laut sebelumnya.”

Cedric masih diam, menunggu Brian melanjutkan.

“Tapi…” Brian menambahkan setelah beberapa detik berpikir, “jika Anda ingin mengetahui sesuatu, sepertinya ini saat yang tepat.”

Cedric mengangkat alis. “Mengetahui sesuatu? Maksudmu?”

Brian menghela napas pelan sebelum menjelaskan, “Seperti yang Anda katakan, Anda mencurigai Nona Eleanor belakangan ini, bukan? Sikapnya berubah, cara bicaranya pun berbeda dari sebelumnya. Jika Nona Eleanor selalu berada di dekat Anda selama 24 jam selama pelayaran, itu akan memudahkan Anda untuk menyelidikinya. Anda bisa melihat sendiri apa yang sebenarnya sedang terjadi padanya.”

Keheningan menyelimuti ruangan selama beberapa saat. Cedric menatap jendela di sampingnya, menyaksikan matahari yang perlahan tenggelam di balik cakrawala. Angin sore bertiup lembut, membawa hawa sejuk ke dalam ruangan.

Semakin dipikirkan, semakin masuk akal saran Brian baginya. Jika memang ada sesuatu yang disembunyikan Eleanor, maka dalam perjalanan ini, dia tidak akan punya banyak kesempatan untuk menghindar.

Akhirnya, Cedric menarik napas dalam dan berkata dengan mantap, “Benar. Aku akan mengizinkannya ikut.”

Brian menatapnya sejenak sebelum mengangguk. “Baik, Tuan.”

Sebuah keputusan telah dibuat—keputusan yang tanpa disadari akan membawa mereka ke dalam rahasia yang lebih besar dari yang mereka bayangkan.

...🧸ʕ⁠·⁠ᴥ⁠·⁠ʔ🧸...

Eleanor duduk di tepi tempat tidurnya, jari-jarinya memainkan ujung mantel yang dikenakannya semalam. Matanya sesekali melirik ke jendela, di mana matahari mulai condong ke barat, mewarnai langit dengan semburat jingga keemasan.

Sudah hampir sore, tapi tak ada kabar dari Cedric.

Dia menghela napas panjang, merasa sedikit gelisah. Cedric memang tidak langsung memberikan jawaban semalam, tapi Eleanor berharap pagi ini dia sudah memutuskan. Namun, sampai sekarang, tidak ada seorang pun yang datang untuk memberitahunya.

“Kenapa lama sekali?” gumamnya, menggigit bibir pelan.

Pikirannya mulai dipenuhi berbagai kemungkinan. Apakah Cedric benar-benar tidak akan mengizinkannya ikut? Atau dia masih mempertimbangkan sesuatu? Atau... dia sengaja membuatnya menunggu agar Eleanor menyerah dengan sendirinya?

Eleanor mengembuskan napas kesal, lalu berdiri dan berjalan ke balkon. Dari sana, dia bisa melihat halaman luas dengan beberapa pelayan berlalu-lalang, serta para prajurit yang sedang berlatih di kejauhan. Namun, sosok Cedric tidak terlihat di mana pun.

Saat dia hendak kembali ke dalam, suara langkah kaki terdengar dari koridor. Pintu kamarnya diketuk pelan sebelum akhirnya terbuka, menampilkan Brian yang berdiri dengan ekspresi tenang seperti biasanya.

Eleanor segera berbalik, matanya berbinar penuh harapan. “Bagaimana? Apa Cedric sudah mengambil keputusan?” tanyanya cepat.

Brian menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Tuan Cedric mengizinkan Anda untuk ikut berlayar.”

Eleanor membeku sesaat, memastikan bahwa dia tidak salah dengar.

Namun, begitu otaknya memproses kata-kata Brian, wajahnya langsung berseri. “Serius? Aku diizinkan ikut?” tanyanya lagi, memastikan.

Brian mengangguk. “Benar.”

Sekejap kemudian, Eleanor melompat-lompat kegirangan. “Ya Tuhan! Aku ikut! Aku benar-benar ikut!” serunya riang, tangannya mengepal di udara. Wajahnya dipenuhi kebahagiaan, senyum lebarnya seakan tak bisa dihapus.

Brian yang melihat reaksinya hanya bisa menggeleng kecil, sedikit terhibur dengan antusiasme Eleanor.

Eleanor berhenti melompat dan menatap Brian penuh semangat. “Aku harus bersiap! Kapan kita berangkat?”

“Besok lusa,” jawab Brian. “Tapi lebih baik Anda mempersiapkan diri mulai sekarang. Perjalanan ini tidak akan mudah.”

Eleanor mengangguk mantap. “Aku mengerti! Aku akan mempersiapkan semuanya!”

Brian tersenyum tipis sebelum pamit, membiarkan Eleanor dengan kegembiraannya.

Sementara itu, Eleanor masih berdiri di tempatnya, merasakan dadanya berdebar penuh antisipasi. Ini akan menjadi perjalanan pertamanya, dan dia tidak sabar untuk melihat dunia luar yang selama ini terasa jauh dari jangkauannya.

Tanpa menyadari bahwa di balik izin Cedric, ada alasan lain yang membuat pria itu mengizinkannya ikut—alasan yang akan membawa mereka pada banyak hal yang belum terungkap.

...🧸ʕ⁠·⁠ᴥ⁠·⁠ʔ🧸...

Bab 21 – Keputusan Cedric dan Penentangan Duchess Rosamund

Setelah Brian pergi, Eleanor masih diliputi kegembiraan. Dia segera berlari kecil menuju lemari, mulai memilah pakaian yang akan dibawanya. Beberapa gaun tergantung rapi di sana, tapi dia tahu pakaian-pakaian itu tidak cocok untuk perjalanan laut.

"Aku harus meminta sesuatu yang lebih praktis," gumamnya, sebelum matanya menangkap belati yang tadi pagi ia letakkan di meja.

Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya. Entah kenapa, perasaan tidak nyaman menyelinap di dadanya, seolah-olah perjalanan ini bukan sekadar perjalanan biasa. Eleanor mengambil belati itu dan menggenggamnya erat, membiarkan kilauan logamnya berpendar di bawah cahaya matahari yang masuk melalui jendela.

Di saat yang sama, di ruangan lain dalam kastil, perdebatan sengit tengah berlangsung antara Cedric dan ibunya, Duchess Rosamund.

“Aku tidak percaya kau benar-benar mengizinkan perempuan itu ikut, Cedric,” suara Duchess Rosamund terdengar dingin, menggema di dalam ruangan yang dipenuhi perabotan mewah bernuansa gelap. Matanya yang tajam menatap putranya dengan penuh ketidaksetujuan.

Cedric berdiri di depan meja, kedua lengannya terlipat di dada, ekspresinya datar, namun tatapannya menunjukkan bahwa ia sudah menduga pembicaraan ini akan terjadi.

“Ibu, aku sudah mengambil keputusan,” jawab Cedric dengan nada tenang namun tegas.

“Keputusan yang bodoh!” Rosamund menyela. “Eleanor tidak punya pengalaman menghadapi perjalanan seperti ini. Jika kau memang ingin membawa seorang wanita, lebih baik kau bawa Carolet. Dia lebih bisa diandalkan.”

Cedric menghela napas dalam, berusaha menahan kesabarannya. “Aku tidak membutuhkan Carolet, dan aku tidak ingin membawanya.”

Rosamund mengangkat dagunya dengan ekspresi penuh otoritas. “Kau terlalu membiarkan wanita itu mempengaruhimu.”

Mata Cedric berkilat tajam. “Ibu selalu seperti ini. Selalu ingin mengatur hidupku. Bukankah selama ini ibu sudah cukup mengatur semuanya? Kapan ibu akan berhenti mengontrol keputusanku?”

Rosamund menyipitkan matanya. “Kau sudah berani melawan ibumu sendiri, Cedric? Sepertinya perempuan itu telah merusak akal sehatmu. Pilihan ayahmu memang buruk.”

Cedric mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. “Jangan pernah menghina Ayah. Ingat itu.”

Tatapan mereka saling beradu dalam ketegangan yang begitu kental. Duchess Rosamund memang selalu berusaha menanamkan kendalinya atas Cedric, dan selama ini Cedric memilih untuk diam. Namun, kali ini berbeda. Untuk pertama kalinya, ia tidak mundur.

Rosamund menghela napas panjang, lalu memalingkan wajahnya. “Lakukan sesukamu, tapi jangan menyesal jika kau membuat kesalahan besar.”

Cedric tidak menjawab. Ia hanya menatap ibunya sekali lagi sebelum berbalik meninggalkan ruangan itu.

Setelah pintu tertutup, Rosamund mengepalkan tangannya di atas meja, matanya menatap tajam ke arah jendela.

“Kau pikir kau bisa lepas dariku semudah itu, Cedric?” bisiknya pelan, namun penuh dengan makna tersembunyi.

...🧸ʕ⁠·⁠ᴥ⁠·⁠ʔ🧸...

Setelah mengemasi barang-barangnya, Eleanor berjalan santai di koridor kastil. Pikirannya masih dipenuhi kegembiraan karena diizinkan ikut dalam perjalanan bersama Cedric. Namun, langkahnya terhenti ketika di tikungan lorong, dia hampir bertabrakan dengan seseorang.

Duchess Rosamund.

Tatapan tajam wanita itu langsung mengunci Eleanor, seakan menelanjangi setiap inci keberadaannya. Gaun megah berwarna merah marun yang dikenakan Rosamund semakin mempertegas auranya yang penuh dominasi.

Eleanor, sebaliknya, tetap tenang. Dia menegakkan tubuhnya dan memberikan sedikit anggukan. “Duchess.”

Rosamund menyipitkan matanya, lalu tersenyum kecil—senyum yang penuh dengan nada meremehkan. “Betapa mengejutkannya. Rupanya kau cukup berani untuk berdiri di hadapanku tanpa rasa takut.”

Eleanor hanya mengangkat bahu. “Kenapa aku harus takut?”

Rosamund tertawa kecil, tapi nadanya penuh ejekan. “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan untuk membuat Cedric mengizinkanmu ikut. Tapi ketahuilah satu hal, perempuan sepertimu tidak pantas berada di sisinya.”

Eleanor tetap mempertahankan ekspresinya yang tenang. “Oh? Dan perempuan seperti apa yang pantas menurut Anda?”

Rosamund mendekat, tatapannya tajam seperti elang yang siap menerkam mangsanya. “Seseorang yang bisa mendampinginya dengan terhormat. Bukan seorang wanita tak berharga yang bahkan tidak memiliki latar belakang jelas.”

Eleanor tersenyum tipis. “Ah, jadi menurut Anda saya tidak berharga?”

“Sudah jelas, bukan?”

Eleanor mengangguk pelan. “Kalau begitu, saya akan membuktikan bahwa Anda salah.”

Senyum Rosamund menghilang, tergantikan dengan ekspresi penuh kebencian. “Kau sungguh berani.”

“Saya hanya mengatakan yang seharusnya.” Eleanor menyentuh belati kecil yang tergantung di pinggangnya dengan gerakan santai, lalu menatap langsung ke mata Rosamund. “Lagi pula, saya bukan orang yang suka diatur-atur oleh orang lain.”

Rosamund mengepalkan tangannya, ekspresinya semakin gelap. “Jangan berpikir bahwa kau bisa menang melawan aku.”

Eleanor tersenyum lembut, lalu sedikit menundukkan kepala dengan sopan. “Saya tidak perlu menang. Saya hanya perlu menjalani hidup saya dengan cara saya sendiri.”

Tanpa menunggu balasan, Eleanor berbalik dan berjalan pergi dengan langkah ringan, meninggalkan Duchess Rosamund yang masih berdiri di tempatnya, menatap punggung Eleanor dengan penuh amarah.

Duchess Rosamund mengepalkan tangannya semakin erat.

“Gadis itu benar-benar tidak tahu tempatnya.”

...🥀 thanks for reading 🥀...

1
Khanza Safira
Hai Aku mampir
dea febriani: hai, terimakasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca cerita ini❤️
total 1 replies
masria hanum
kak ini ceritanya bagus banget lho, cerita yang lain2 juga bagus2 semoga viewers nya makin banyak ya...

suka banget sama alurnya, pelan tapi ada aja kejutan di tiap bab...
dea febriani: MasyaAllah Tabarakallah, terima kasih banyak! Komentar kamu benar-benar bikin aku semangat. Semoga kamu juga selalu diberkahi dan tetap menikmati ceritaku! 💖
total 1 replies
Sribundanya Gifran
lanjut thor
Sribundanya Gifran
eleanor rubahlah dirimu jgn krn cinta kau lemah, tingglkan yg tak menginginkanmu dan buatlah benteng yg kuat untuk dirimu.
lanjut up lagi thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!