Anesha dan Anisha adalah kakak beradik yang terpaut usia tiga tahun. Hidup bersama dan tumbuh bersama dalam keluarga yang sama. Namun mereka berdua dibesarkan dengan kasih sayang yang berbeda. Sebagai kakak, Nesha harus bekerja keras untuk membahagiakan keluarganya. Sedangkan Nisha hidup dalam kemanjaan.
Suatu hari saat mereka sekeluarga mendapat undangan di sebuah gedung, terjadi kesalah pahaman antara Nesha dengan seorang pria yang tak dikenalnya. Hal itu membuat perubahan besar dalam kehidupan Nesha.
Bagaimanakah kehidupan Nesha selanjutnya? Akankah dia bahagia dengan perubahan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Halu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nisha Hamil
Nisha mematut dirinya di cermin besar yang ada di kamarnya. Ia berputar ke kana dan kekiri. Merasa bahwa ada perubahan pada tubuhnya. Tiba-tiba jantungnya berdebar kencang saat ingat kalau dirinya belum mendapat 'tamu bulanan' padahal sudah lewat dua minggu lalu.
Ia membolak-balik kalender kecil diatas meja riasnya. Lalu menutup mulutnya yang menganga dengan telapak tangan. Ternyata 'tamu bulanan' itu bukan lewat dua minggu, tapi dua bulan. Tangannya bergetar meletakkan kembali kalender itu diatas meja.
Ia meraih jaket yang tersampir di dinding dan meraih kunci motornya. Dengan melaju sedikit cepat, ia menuju apotek yang agak jauh dari lingkungannya sambil menggunakan masker dan kacamata hitam.
Ia membeli empat macam testpack yang berbeda. Masih dengan jantungnya yang berdebar kencang, ia masuk kamar mandi dengan membawa semua benda tersebut, lalu menjajalnya satu persatu.
Tubuhnya gemetar hebat melihat semua benda tersebut menunjukkan hasil yang sama, dua garis merah. Tubuhnya melorot di dinding kamar mandi. Ia tak menyangka bahwa dirinya akan hamil sebelum menikah.
Tok tok tok
"Siapa di dalam?" Suara Bu Rumi membuyarkan lamunan Nisha. "Cepetan, aku kebelet nih!" seru ibunya yang sudah berkali-kali mengetuk pintu kamar mandi. Segera ia memungut semua benda itu dan memasukkan ke dalam kantong kresek hitam, lalu memasukkan dalam jaketnya.
"Kamu ngapain aja, sih, lama banget. Ibu udah kebelet nih!" seru Bu Rumi langsung melesak masuk ke dalam kamar mandi.
Segera ia mengirim foto semua testpack itu pada Fandi.
[Aku hamil, Mas] Pesan yang dikirim oleh Nisha.
Tak sampai lima menit, nama lelaki itu sudah di layar ponselnya melakukan panggilan.
"Cepat datang temui aku di bengkel", ucap Fandi dari seberang. Segera Nisha menuruti titah kekasihnya sambil membawa kresek hitam berisi testpack tersebut.
"Mau kemana, Nis? Buru-buru banget?" Tanya Nesha yang berpapasan di depan kamar. Tanpa menjawab, Nisha hanya berlalu tak acuh pada Nesha.
Nesha hanya menatap kepergian Nisha sambil geleng-geleng kepala, karena melihat adiknya itu ngebut.
Tuk.
Tak sengaja Nesha menendang sebuah benda persegi kecil berwarna putih. "Hah? Tes kehamilan?" Nesha terpaku saat ia melihat dua garis merah di benda itu, tangannya bergetar.
"Nisha?" Gumamnya sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan.
"Apa itu, Nes?" Tanya Pak Edi yang datang dari luar rumah. Segera Nesha menyembunyikan benda tersebut di balik badannya.
"Bukan apa-apa, Pak. Aku balik ke kamar dulu." Nesha segera balik masuk ke dalam kamarnya lagi.
"Ya Allah, Nisha!" serunya dengan suara tertahan sambil berlinang air mata. Kemudian ia menyimpan benda itu ke dalam lemari.
***
"Mas, ini gimana?" Nisha kebingungan.
"Nggak tahu. Aku lagi pusing kamu nambahin aja!" Sentak Fandi sambil meremas rambutnya dengan kasar.
"Mas, jangan bilang nggak tahu!" balik sentak Nisha dengan wajah sudah pucat pasi.
"Gugurkan saja", ucap Fandi lirih penuh keraguan.
"Gila kamu mas!" bentak Nisha dengan suara tertahan. Ia tak ingin ada yang mendengar suaranya.
"Kita harus segera menikah, Mas", ucap Nisha sambil menatap lekat Fandi yang berada disampingnya.
Fandi hanya terdiam, tak ada jawaban dan tak ada respon. Membuat hati Nisha semakin kalut.
"Pulanglah. Aku akan memikirkan sendiri bagaimana caranya nanti", titah Fandi dengan nada lemah. Dengan perasaan kesal, Nisha pergi bengkel Fandi yang tampak sepi. Hanya ada dua pegawai yang menunggu pelanggan.
Nisha melajukan motornya tak tentu arah. Ia bingung, bagaimana cara mengatakan pada kedua orangtuanya. Pasti bapak dan ibunya akan marah besar. Anak yang mereka banggakan malah mencoreng nama baik keluarga.
Tibalah Nisha disebuah rumah milik keluarga Fandi. Dengan kaki sedikit gemetar, ia mengetuk pintu besar dihadapannya.
Tak lama kemudian, suara pintu terbuka. Menampakkan Bu Reni yang mengernyitkan dahi ketika melihat dirinya.
"Loh, Nisha?" Bu Reni sedikit terkejut dengan kedatangan calon mantunya. "Fandi nggak ikut pulang?" ia celingukan mencari anaknya yang tak tampak batang hidungnya.
Nisha menggeleng lemah. "Mas Fandi masih di bengkel, Ma", ucap Nisha sambil meremat ujung jaketnya.
Bu Reni pun mempersilahkan Nisha masuk dan duduk.
"Ada apa, Nis? Tumben kamu kesini sendirian?" Tanya Bu Reni sedikit curiga.
"Sa-saya..." Belum sampai Nisha menyampaikan maksudnya, tiba-tibaa terdengar suara ketukan pintu.
"Bentar, ya, Nis", Bu Reni pun segera bangkit dari duduknya dan membukakan pintu. Wajah Bu Reni terkejut ketika mendapati kedua calon besannya yang datang.
"Loh kalian janjian mau kesini bareng? Kok nggak ngasih tahu?" seru Bu Reni dengan canggung dan senyum yang sedikit dipaksakan.
"Janjian? Sama siapa, Bu Reni?" Pak Edi pun bingung dengan ucapan Bu Reni.
"Itu ada Nisha di dalam. Silahkan masuk". Pak Edi dan Bu Rumi pun tak kalah terkejut ketika melihat anaknya yang sudah duduk seraya menundukkan kepala di ruang tamu.
"Jadi ada apa kalian semua kok kesini?" Bu Reni merasakan sebuah firasat buruk. Pasti ada sesuatu yang mereka inginkan pikirnya.
"Nisha, kenapa kamu kok kesini sendirian?" Tanya Pak Edi.
Bukannya menjawab, Nisha langsung menangis tergugu. Membuat semua orang bingung dan kelabakan. Pak Edi dan Bu Rumi pun berusaha menenangkan anaknya. Sedang Bu Reni sangat bingung dengan situasi yang dihadapinya.
Mendengar ada kegaduhan, Pak Faris pun keluar dari kamar. Masih dengan sarung dan kaos oblong. Karena memang ia tak tahu kalau ada calon besan dan menantunya yang datang.
Sesaat kemudian, Nisha mengeluarkan kresek hitam dari saku jaketnya. Namun masih ia pegang dengan erat.
"Apa ini, Nis?" Pak Edi penasaran apa isi di dalam kantong tersebut. Nisha tetap setia bungkam.
Bu Rumi yang tak sabar pun menyahut kantong itu dan mengeluarkan isinya. Semua orang terbelalak melihat benda-benda yang berjatuhan.
Bu Rumi dengan ragu meraih benda tersebut dan.. "Ya Allah, Nisha!" pekiknya histeris seraya memukul lengan Nisha berkali-kali.
Bu Reni dan Pak Faris yang mengerti maksud ucapan Bu Rumi pun ikut terduduk lemas. Mereka tak menyangka akan mendapat cucu sebelum ngunduh mantu.
Pak Edi hanya bisa terdiam seraya memijat keningnya yang terasa pening.
"Jadi ini maksud mbakmu yang sedari tadi mendesak kami untuk segera membicarakan pernikahan kalian? Ternyata kamu.... Astaghfirullah, nak!" Ucap Pak Edi seraya memejamkan mata tak sanggup melihat keadaan sekitarnya.
"Hah? Darimana Nesha tahu kalau aku hamil?" batin Nisha bingung. Lalu ia melirik ke arah alat tes yang ada di meja, ternyata hanya ada tiga. "Sial! Tadi pasti jatuh pas buru-buru keluar!" imbuh gerutu Nisha dalam batin.
"Jadi pernikahan ini harus segera dilaksanakan sebelum perut Nisha semakin besar", ujar Pak Faris sambil mengibas-kibaskan sebuah majalah diwajahnya. Padahal ruang tamunya ber-AC namun terasa panas dan menyesakkan.
"Saya setuju, Pak Faris. Lebih cepat lebih baik." Pak Edi menambahi.
"Tapi persiapan pesta pernikahan kan nggak bisa mendadak!" Bu Rumi menginterupsi.
"Bu Rumi masih sempat ya memikirkan pesta? Memangnya anda nggak malu kalau perut Nisha membesar?!" sentak Bu Reni sambil melotot tajam ke arah calon besannya.
Bu Rumi pun kicep setelah mendapat serangan dari Bu Reni. Memang akan malu kalau perut Nisha tampak buncit karena kelamaan mempersiapkan pesta. Tapi akan lebih malu lagi karena pesta pernikahan Nisha yang megah yang selalu ia bicarakan kesana-kemari pada para tetangga ternyata tak terjadi.
Duh Bu Rumi punya mulut emang suka ember!