Menceritakan tentang dimana nilai dan martabat wanita tak jauh lebih berharga dari segenggam uang, dimana seorang gadis lugu yang baru berusia 17 tahun menikahi pria kaya berusia 28 tahun. Jika kau berfikir ini tentang cinta maka lebih baik buang fikiran itu jauh - jauh karena ini kisah yang mengambil banyak sisi realita dalam kehidupan perempuan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1
Tahun 2008, pertengahan
Hujan mengguyur kota tanpa henti, menciptakan tirai air yang menyelimuti jalanan. Kilat menyambar langit kelam, disusul gemuruh petir yang menggema. Di antara riuh kendaraan yang berlalu-lalang, seorang pria muda berlari menerobos hujan. Napasnya tersengal, peluh bercampur dengan air yang mengalir di wajahnya. Dalam pelukannya, seorang bayi perempuan terbungkus kain lusuh, menangis lirih di tengah kebisingan malam.
Di belakangnya, sekelompok pria berpakaian serba hitam mengejar tanpa ampun.
"Cepat kejar! Kita tidak boleh kehilangan pria itu!" seru salah satu dari mereka, suaranya nyaring menembus gemuruh hujan.
Pria muda itu mempererat pelukannya pada bayi kecilnya, dadanya sesak oleh ketakutan. "Apa yang harus kulakukan...? Ke mana ayah harus membawamu, Yeon Ji...?" bisiknya, berusaha menenangkan tangisan putrinya meski dirinya sendiri diliputi kepanikan.
Rasa takut mengaburkan fokusnya. Saat menyebrang jalan tanpa berpikir, sorot lampu dari sebuah mobil BMW hitam mendadak menyilaukan pandangannya.
"TIIIIIIIIINNNNNN!!!"
Suara klakson memekakkan telinga, disusul rem mendadak yang menciptakan cipratan air ke segala arah.
Seorang sopir muda keluar dari mobil dengan wajah marah. "Apa matamu buta?! Kenapa kau berlari saat lampu masih hijau?!" hardiknya.
Pria muda itu terhuyung, lututnya hampir menyerah. Tapi ia tidak peduli. Dengan sisa tenaga, ia berlutut di hadapan pria itu, memeluk erat bayinya.
"Maafkan saya, Tuan... Tapi saya mohon, selamatkan bayi ini."
Mata sopir itu menyipit, ekspresi bingung dan tidak percaya terpampang jelas di wajahnya.
"Apa-apaan ini?! Pergi sana! Beraninya kau menghalangi jalan Tuanku—"
Dorongan kasar dari sopir membuat pria itu terjatuh ke tanah. Bayinya kembali menangis, suara kecil itu terdengar memilukan di antara suara hujan dan lalu lintas. Namun, meski tubuhnya gemetar dan kedinginan, pria itu tidak menyerah. Ia bangkit lagi, meraih kaki sopir dengan putus asa.
"Kau boleh melakukan apa pun padaku... Tapi, tolong, selamatkan bayi ini..." suara pria itu bergetar, bercampur dengan isak tangis yang tertahan.
Di balik sorot lampu mobil yang masih menyala, seseorang di kursi belakang memperhatikan mereka dengan tatapan tajam.
"Apa yang terjadi di luar? Kenapa dia lama sekali?"
Seorang sekretaris yang duduk di kursi depan menoleh dengan ragu. "Saya tidak tahu, Tuan. Tapi jika Anda mau, saya bisa memeriksanya."
Lelaki itu terdiam sejenak, lalu jemarinya mengetuk perlahan pegangan kursi. "Tidak perlu. Biar aku lihat sendiri."
Sementara di luar mobil, hujan terus mengguyur deras. Pria itu masih berlutut di tengah jalan, memeluk bayi dalam dekapannya. Matanya yang penuh keputusasaan menatap ke atas, memohon belas kasihan.
"Tolong kami, Tuan... Hidup kami bergantung pada kebaikan hati Anda..."
Sopir itu menghela napas kasar, wajahnya penuh kejengkelan.
"Haaah... Diamlah! Aku tidak punya waktu untuk mengurus orang sepertimu! Pergi dari hadapanku!"
Dorongan keras kembali membuat pria itu jatuh terduduk di aspal yang basah. Namun, sebelum ia bisa bangkit, sebuah suara berat memecah ketegangan.
"Ada apa ini? Kenapa kau lama sekali?"
Suara itu berasal dari seorang pria yang baru saja keluar dari dalam mobil. Langkahnya mantap, tatapannya dingin, menatap kejadian di hadapannya dengan penuh evaluasi.
Sopir itu segera menundukkan kepala dengan canggung. "Maafkan saya, Tuan. Tapi pria ini terus memohon agar saya menyelamatkan putrinya..."
Pria yang berlutut itu langsung mengangkat wajahnya. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Tolong selamatkan putri saya... Saya bersumpah akan melakukan apa pun sebagai gantinya..."
Sekali lagi, sang sopir memutar bola matanya dengan kesal. "Benar-benar tidak tahu malu! Berani sekali kau menghalangi jalan Tuanku!"
Ia baru akan menyingkirkan pria itu dengan kasar, namun sebelum sempat melangkah, sebuah gerakan tangan menghentikannya.
Do Hyun mengangkat satu tangan, memberi tanda agar sopirnya tidak bertindak lebih jauh. Tatapan tajamnya tertuju pada pria yang berlutut di hadapannya, seakan menimbang sesuatu dalam pikirannya.
"Jika aku membantumu, apa yang bisa kau berikan padaku?" tanyanya dengan nada tenang, tetapi ada ketajaman di balik suaranya.
Pria itu mengangkat wajahnya, tatapannya penuh keputusasaan. Air hujan terus mengguyur, membasahi rambutnya yang sudah lepek.
"Aku tidak tahu, Tuan… Tapi aku siap melakukan apa pun asalkan putriku tetap bersamaku…" suaranya hampir bergetar, tetapi ada keteguhan di dalamnya.
Do Hyun mengalihkan pandangannya ke bayi kecil dalam dekapan pria itu. Tangisan lirih bayi itu bercampur dengan suara hujan dan gemuruh petir di kejauhan. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, sekelompok pria berbaju gelap datang mendekat.
Lampu merah yang tadi menahan mereka kini berubah hijau, memberi mereka kesempatan untuk bergerak.
Salah satu pria maju, ekspresinya tak ramah.
"Maaf, Tuan. Anda tidak ada urusan dengan hal ini. Kami harus membawa pria ini sekarang."
Do Hyun menoleh ke pria itu dengan tatapan dingin. "Urusan apa?"
Pria itu, pemimpin dari kelompok tersebut, menegakkan bahunya. "Nama pria ini Kim Woon. Dia berhutang delapan ratus juta pada bos kami."
Mata Do Hyun sedikit menyipit. "Delapan ratus juta?"
Tatapannya kembali turun pada pria yang masih tersungkur di kakinya.
Kim Woon menggeleng cepat, suaranya terdengar putus asa. "Tidak, Tuan! Saya hanya meminjam dua ratus juta untuk membeli rumah kecil di desa. Tapi mereka mencurangi saya! Mereka memaksa saya menandatangani perjanjian yang tidak saya pahami!"
Pemimpin kelompok itu mendengus. "Apa pun itu, kau sudah menandatanganinya. Dan itu sah secara hukum. Hutang adalah hutang."
Ia lalu menambahkan dengan nada yang terdengar kejam, "Sesuai perjanjian, jika kau tidak mampu membayarnya, maka putrimu akan dijadikan jaminan sampai semuanya lunas."
"TIDAK!!!" Kim Woon berteriak histeris, memeluk putrinya lebih erat seolah takut seseorang akan merebutnya saat itu juga. "Aku tidak akan pernah menyerahkannya! Kau tidak pernah menjelaskan ini di awal perjanjian! Jika aku tahu dari awal, aku tidak akan pernah mengambil pinjaman itu!"
Pria itu mendengus kasar, tampak muak dengan keluhan Kim Woon. "Aku tidak punya banyak waktu untuk mendengarkan ocehanmu. Cepat seret dia ke mobil!"
Beberapa pria di belakangnya mulai maju. Namun sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh.
"Tunggu."
Suara Do Hyun yang tenang tetapi penuh otoritas menghentikan langkah mereka seketika.
Do Hyun menatap pria di hadapannya dengan tatapan dingin sebelum mengalihkan pandangannya ke kelompok yang baru datang.
"Kalian tidak bisa membawanya sebelum dia menjawab tawaranku."
Ucapannya membuat semua orang di sana terdiam sejenak. Bahkan Lee Choi, pemimpin kelompok itu, tampak ragu.
"Tuan?" gumamnya bingung.
Do Hyun melangkah mendekati Kim Woon yang masih berlutut.
"Dengarkan aku baik-baik, karena aku tidak akan mengulanginya atau bermurah hati menjelaskannya kembali." Suaranya tegas, tanpa nada keraguan.
Hujan terus mengguyur, membasahi wajah Kim Woon yang kini menatap Do Hyun dengan penuh harap dan ketakutan.
"Kau memiliki masalah dengan hutang. Uang bukanlah masalah bagiku."
Do Hyun menatap Kim Woon sejenak, membiarkan kata-katanya meresap sebelum melanjutkan, "Aku bisa membayar semuanya saat ini juga dan menjamin kehidupan kalian berdua. Tapi..."
Kim Woon segera mengangguk cepat, hampir terisak. "Saya siap melakukan apa pun untuk Anda, Tuan. Sekalipun harus mengorbankan nyawa saya sendiri, asalkan Anda bisa membantu saya..."
Do Hyun tersenyum tipis, ekspresi yang tak terbaca. "Daripada membantu, saya lebih suka memelihara."
Kim Woon menatapnya bingung. Ada sesuatu yang menggetarkan hatinya mendengar pilihan kata itu.
"Aku tidak membutuhkan nyawa orang miskin," lanjut Do Hyun santai. "Tidak ada nilainya. Tapi kesetiaan? Itu hal lain."
Tatapan pria itu seketika berubah tajam. "Jika kau bersedia menjadi anjing untukku dan setia pada keluargaku, maka aku akan menjamin kehidupanmu dan putrimu."
Hening sejenak.
Lee Choi sebagai ketua penangkapan itu begitu terkejut mendengar apa yang do hyun katakan. "Apa?" tanyanya hampir tak percaya.
Kim Woon menunduk, kedua tangannya mengepal. Ia tahu tak ada pilihan lain.
"Baiklah, aku setuju." Suaranya bergetar, tetapi ada keteguhan di dalamnya. "Asalkan putriku tidak dipisahkan dariku, aku tidak masalah menjadi apa pun dan berjanji akan selalu setia pada Anda, Tuan."
Do Hyun mengangkat dagunya, menatapnya dengan ekspresi puas. "Aku senang dengan ketegasanmu."
Ia lalu melirik sopirnya. "Bawa mereka ke mobil. Dan panggil sekretarisku."
"Baik, Tuan."
Sopir itu segera membantu Kim Woon berdiri, sementara seorang pria lain meraih bayi kecil itu dengan hati-hati. Dalam beberapa menit, mereka sudah dimasukkan ke dalam mobil.
Tak lama kemudian, seorang pria berpakaian rapi menghampiri Do Hyun.
"Tuan, Anda memanggil saya?" tanyanya sopan.
Do Hyun mengangguk. "Segera lunasi hutang pria itu pada mereka."
"Baik, Tuan. Silakan ikut saya." Sekretaris itu menoleh pada Lee Choi dan kelompoknya.
Lee Choi menatap Do Hyun, rahangnya mengeras. Ada sesuatu yang terasa salah, tetapi ia tak bisa mengabaikan perasaan itu.
"Siapa dia...?" gumamnya pelan, menatap punggung Do Hyun yang berjalan pergi. "Kenapa aku merasa dia sangat berbahaya?"
Pengenalan karakter :

Do Hyun bukan sekedar seorang investor. Ia adalah penguasa di balik layar, pemegang saham terbesar di berbagai perusahaan ternama di Korea Selatan. Kekayaannya yang melimpah hanya sebagian kecil dari pengaruhnya yang sebenarnya.
Di dunia bisnis dan politik, Do Hyun dikenal sebagai sosok yang tak tersentuh—pria yang menyimpan rahasia bisnis gelap kalangan atas dan memiliki kendali atas siapa yang boleh naik ke tampuk kekuasaan. Dengan satu perintahnya, seseorang bisa melesat ke kursi pemerintahan atau jatuh ke dalam kehancuran. Kekayaannya adalah alat, tetapi kekuasaannya adalah senjata yang membuatnya tak tergoyahkan.
kakek yg egois dan berhati iblis...bagaimana jika cucux benci yeon ji berubah menjadi bucin...