Masih berstatus perawan di usia yang tak lagi muda ternyata tidak mudah bagi seorang gadis bernama Inayah. Dia lahir di sebuah kota kecil yang memiliki julukan Kota Intan, namun kini lebih dikenal dengan Kota Dodol, Garut.
Tidak semanis dodol, kehidupan yang dijalani Inayah justru kebalikannya. Gadis yang lahir tiga puluh tahun yang lalu itu terpaksa meninggalkan kampung halaman karena tidak tahan dengan gunjingan tetangga bahkan keluarga yang mencap dirinya sebagai perawan tua. Dua adiknya yang terdiri dari satu laki-laki dan satu perempuan bahkan sudah memiliki kekasih padahal mereka masih kuliah dan bersekolah, berbeda jauh dengan Inayah yang sampai di usia kepala tiga belum pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan dicintai, jangankan untuk menikah, kekasih pun tiada pasca peristiwa pahit yang dialaminya.
Bagaimana perjuangan Inayah di tempat baru? Akankah dia menemukan kedamaian? Dan akankah jodohnya segera datang?
Luangkan waktu untuk membaca kisah Inayah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pe De Ka Te
Mendapat perhatian khusus dari seorang bos tidak membuat Inayah senang. Dia berusaha untuk bersikap biasa, tidak berlebihan dalam menanggapi semua perhatian itu. Walau Dita selalu bilang jika Pak Hasan menunjukkan ketertarikan padanya tapi Inayah tidak mau terlalu jauh berpikir mengenai hal itu.
Beberapa peristiwa yang terjadi menunjukkan jika atasannya itu memang memiliki perhatian lebih padanya. Mulai dari dipindahkan tugas, setiap pagi selalu menyapa sampai Pak Hasan hanya ingin Inayah yang membuatkan kopi untuknya setiap pagi. Jika yang lain maka dia akan tahu, katanya kopi buatan Inayah berbeda dari yang lain dan sangat sesuai di lidahnya.
Pagi ini Inayah dan Dita sudah berada di kantor tepatnya lantai tiga belas. Satu jam sebelum jam masuk kantor mereka terbiasa sudah ada di sana bersiap dengan tugas mereka.
Ruangan pertama yang Inayah pastikan kebersihannya adalah ruang direktur utama, setiap hari dia akan lebih dulu merapikan ruangan itu sebelum atasannya tiba. Segelas kopi bahkan harus sudah terhidang di atas meja kerja sang direktur tepat lima menit sebelum dirinya tiba di ruangan itu.
Pagi ini pun demikian. Inayah memasuki ruangan itu seorang diri, alat kebersihan sudah siap di tangannya untuk dioperasikan. Waktu menunjukkan masih pukul enam lebih tiga puluh menit. Sekitar satu jam lagi atasannya itu akan tiba di kantor.
Salah satu rutinitas Inayah sebelum membersihkan ruangan itu adalah menyalakan musik ponselnya, al-ma'surat dzikir pagi menemani rutinitasnya merapikan semua hal di ruangan itu. Ditariknya kedua sudut jilbabnya lalu diikat ke belakang tengkuknya, lengan bajunya pun sedikit dia singsingkan, menampakan manset tangan yang di pakainya.
Bibir Inayah tidak berhenti bergerak, mengikuti lafal dzikir pagi yang sudah di stelnya. Pagi ini Inayah cukup lama merapikan ruangan itu, pasalnya kemarin Pak Hasan bilang akan lembur sehingga Inayah tidak sempat merapikannya kemarin sebelum pulang. Untung saja ruangan lainnya sudah dia rapikan kemarin saat para karyawan sudah pulang.
"Alhamdulillah" gumam Inayah, disekanya keringat yang muncul di dahinya. Dia kemudian membasuh kedua tangannya di wastafel yang tersedia di salah satu sudut ruangan itu. Setelahnya dia bersiap untuk membuat kopi untuk sang atasan.
Tanpa Inayah ketahui jika di ruangan itu ada kamar yang biasa digunakan Pak Hasan untuk istirahat. Dari luar hanya tampak dinding kaca yang memantulkan bayangan, tetapi saat berada di dalam kamar yang pintunya disamarkan dengan sebuah lukisan dapat terlihat dengan jelas semua hal yang dilakukan Inayah sejak tadi.
"Perpect." ucap Hasan, sebuah senyuman terukir di bibirnya yang sejak Inayah memasuki ruangannya hingga selesai mengerjakan semua tugasnya dia tak sedikit pun berpaling dari memerhatikan gadis itu.
"Jim, bawa data lengkap karyawan bernama Inayah. Selengkap-lengkapnya, jangan ada yang terlewatkan." Hasan memutuskan panggilan telepon pada Jimi, asisten pribadinya yang semalam pamit pulang sementara dirinya memilih untuk tidur di kantor.
Tidak sia-sia, lelahnya pekerjaan hingga membuat dia harus tidur di kantor pagi ini terobati dengan menyaksikan pemandangan yang sangat indah di penglihatan Hasan. Melihat Inayah melakukan semua pekerjaannya dia seolah sedang menonton gambaran masa depan.
"Hahh ..." Hasan tergelak sendiri membayangkan apa yang ada di pikirannya. Usianya tidak lagi muda, dua puluh tujuh tahun. Sudah cukup untuknya mulai memikirkan masa depan, pernikahan dan sebagainya. Karena sejujurnya, sampai usianya sekarang Hasan belum pernah sekalipun merasakan indahnya pacaran, bahkan untuk sekedar suka terhadap seorang perempuan Hasan adalah tipe pemikir dengan berbagai pertimbangan. Berbeda dengan Husein, saudara kembarnya itu bahkan sudah dicap sebagai playboy di kampus saat mereka berkuliah di Indonesia sampai di Amerika. Pasalnya banyak gadis yang patih hati karena merasa ditolak oleh Husein yang pembawaannya memang lebih humble, mudah bersosialisasi, ramah dan baik pada siapapun. Hal itu yang membuat para kaum Hawa kadang menyalah artikannya hingga berakhir dengan pernyataan cinta mereka yang secara langsung ditolak Husein.
"Bukan salah aku Bun kalau mereka kecewa, menerima dan menolak cinta kan urusan hati gak bisa dipaksakan. Kalau aku ada hati ya pasti aku bilang yess tapi kalau gak ada yang sorry aja." jawaban Husein setiap kali dinasihati sang Bunda yang mendapat laporan dari Hasan, jika ada gadis yang kecewa oleh putra kembarnya itu.
Secangkir kopi sudah selesai Inayah buat, sekilas dia melirik Dita dan dua rekan lainnya datang ke pantry usai melaksanakan tugas mereka masing-masing.
"Bos sudah datang Nay?"
"Belum, kalian sudah selesai?" tanya balik Inayah.
"Aku bawa sarapan banyak pagi ini, ada nasi goreng seafood, mau?"
"Ambil aja duluan di loker aku ya."
"Kita nunggu kamu aja" tukas Dita,
"Oke, bentar ya aku anterin dulu kopinya." Kedua rekan Inayah, Dita dan Riki menganggukan kepala.
"Assalamu'alaikum" salah satu kebiasaan Inayah adalah mengucapkan salam ketika memasuki ruangan, walau pun tidak ada siapapun penghuni di dalamnya.
"Wa'alaikumsalam." namun ternyata berbeda dengan pagi ini, Inayah terlonjak mendengar seseorang yang tak asing di telinganya menjawab ucapan salamnya.
"Permisi Pak, saya mau menyimpan kopi." Inayah menyembunyikan keterkejutannya, dia kembali bersikap santun setelah memastikan jika yang berada di dalam ruangan itu adalah atasannya.
"Heumm" balas Hasan, keduanya sempat beradu tatap. Hasan dengan jelas dapat melihat keterkejutan Inayah, tapi cerdasnya gadis itu dalam tempo yang singkat kembali bersikap biasa.
Jika Inayah buru-buru memutuskan pandangannya, berbeda dengan Hasan yang tak kunjung beralih dari menatap gadis berjilbab putih yang ada di hadapannya pagi ini.
"Silakan dinikmati, Pak. Saya permisi." Inayah buru-buru melangkah ke arah pintu setelah sedikit menundukkan kepalanya tanda pamit.
"Nay ..." Panggilan Pak Hasan berhasil menghentikan langkah Inayah.
"Ya Pak?" Inayah membalikkan badan dan sigap bertanya.
"Bisa kita bicara sebentar?" Hasan menatap lekat Inayah, dia berjalan mendekat ke arah gadis itu.
"Silakan Pak, barangkali ada yang bisa saya bantu." buru-buru Inayah menjawab, menutupi kegugupannya melihat Pak Hasan yang semakin mendekat.
"Kalau begitu ayo kita duduk di sofa itu." tunjuk Hasan dengan dagunya ke arah sofa yang ada di tengah-tengah ruangan itu.
"Silakan Bapak saja, saya izin untuk tetap berdiri, Pak." tolak Inayah secara halus, dia sedang membentengi hatinya. Jangan sampai sikap Pak Hasan saat ini dan spekulasi Dita tentang ketertarikan atasannya itu pada Inayah menjadi rumor yang tidak sedap didengar.
"Nay, bisakah kamu lebih santai berbicara dengan saya saat kita berdua?" pinta Pak Hasan dengan nada memelas.
"Maaf Pak, saya tidak bisa. Saya pikir ini adalah bentuk profesionalitas kerja yang harus saya junjung tinggi sesuai kontrak kerja yang saya tanda tangani." jawab Inayah tegas membuat Pak Hasan terdiam seketika.
Hal ini tentu dimanfaatkan Inayah untuk segera keluar dari situasi yang membuatnya canggung dan lebih ke takut.
"Mohon maaf Pak, saya izin untuk melanjutkan pekerjaan. Assalamu'alaikum." pamit Inayah buru-buru.
"Wa'alaikumsalam." jawab Pak Hasan pelan, dia hanya bisa menatap punggung Inayah yang tenggelam di balik pintu, tanpa mampu menahan kepergian kepergiannya.
Inayah jg harus tegas, kl suka bilang suka jgn merendah trs,, kamu jg berhak bahagia nay
kak Laila jgn jahat2 ya dg menjodohkan Inayah dg yg lain😡😅