"Tolong maafkan aku waktu itu. Aku nggak tahu bakal kayak gini jadinya," ucap Haifa dengan suara pelan, takut menghadapi tatapan tajam Nathan. Matanya menunduk, tak sanggup menatap wajah pemuda di depannya.
Nathan bersandar dengan tatapan tajam yang menusuk. "Kenapa lo besoknya nggak jenguk gue? Gue sakit, dan lo nggak ada jenguk sama sekali setelah hari itu," ucapnya dingin, membuat Haifa semakin gugup.
Haifa menelan ludah, tangannya meremas ujung pasmina cokelat yang dikenakannya. "Plis maafkan aku... aku waktu itu lagi di luar kota. Aku beneran mau jenguk kamu ke rumah sakit setelah itu, tapi... kamunya udah nggak ada di sana," jawabnya dengan suara gemetar, penuh rasa bersalah.
mau kisah selengkapnya? ayo buruan bacaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
musibah tak terduga!
Mentari pagi memancarkan sinar lembutnya, menerangi kamar Haifa yang sejak tadi dipenuhi lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Suara merdu itu bergema dengan penuh khusyuk, membawa ketenangan ke setiap sudut ruangan.
“Ah, sudah masuk waktu Dhuha,” gumam Haifa sembari melirik jam dinding. “Oke, Haifa, waktunya sholat.”
Setelah menuntaskan sholatnya dengan penuh keikhlasan, suara deru mobil terdengar masuk ke parkiran rumah. Haifa bergegas ke balkon, matanya terbelalak melihat sosok yang baru saja tiba.
“Abiy udah pulang?” bisiknya penuh keheranan. Tanpa berpikir panjang, Haifa berlari menuruni tangga, semangat memenuhi langkahnya.
“Abiyyy!” serunya dengan penuh kegembiraan, memeluk Abiy Hamzah erat. Kehangatan sang ayah terasa menenangkan di tengah rindunya yang selama ini tersimpan.
“Sayang, anak Abiy yang paling Abiy sayang,” ujar Abiy Hamzah sambil membalas pelukan putrinya dengan senyum hangat.
Namun kebahagiaan itu terusik seketika saat seorang lelaki turun dari mobil yang sama. Mata Haifa membulat. Sosok itu begitu familiar — Gus Zayn.
“Ha?! Gus Zayn? Ngapain dia ke sini?” bisiknya panik. Refleks, Haifa berbalik dan berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Ia merasa cemas karena tidak mengenakan kerudung.
Abiy Hamzah tertawa kecil melihat reaksi putrinya. “Haifa, nggak papa, Nak! zayn itu adalah....” serunya mencoba menenangkan tapi terhenti karena tersadar kan apa yg dia hendak katakan.
Namun Haifa tetap tidak mendengar, langkahnya semakin cepat menuju kamar.
Melihat itu, Gus Zayn mengangkat alis, bingung. “Kenapa Haifa lari gitu, Biy?” tanyanya penasaran.
Abiy Hamzah terkekeh kecil. “Dia takut dosa kalau nggak pakai kerudung. Makanya buru-buru lari ke atas.”
Gus Zayn ikut tertawa kecil. “Hahaha, berarti dia masih belum tahu soal ini ya, Biy?”
Abiy Hamzah mengangguk. “Iya, masih belum. Abiy rasa nanti aja kita kasih tahu dia. Jangan sekarang. Dia bisa syok kalau tiba-tiba dikasih tahu. Apalagi kalau sampai publik tahu soal ini.”
Gus Zayn mengangguk memahami. “Baiklah, Biy. Kita tunggu waktu yang tepat.”
Di balik pintu kamar, Haifa menghela napas panjang, tak menyadari percakapan yang baru saja terjadi di bawah. Ia merapikan kerudung yang kini sudah terpasang, mencoba menenangkan hatinya yang entah kenapa terasa sedikit resah.
Haifa berdiri di depan cermin, menatap dirinya yang kini sudah siap dengan kerudung rapi menutupi kepala. “Tarik napas, Haifa. Hembuskan. Jangan gugup gini,” gumamnya menyemangati diri sendiri sebelum menuruni tangga dengan langkah mantap.
“Mana anak Abiy nih? Ifa nggak keliatan dari tadi,” seru Abiy Hamzah yang berdiri di ruang tamu.
“Iya, Biy. Ini Haifa udah turun,” sahut Haifa, senyum kecil menghiasi wajahnya.
Abiy menatap putrinya dengan penuh kasih sayang. “Nanti siang Ummi kamu datang, tapi Abiy harus langsung balik ke Jakarta sekarang. Ada urusan bisnis.”
“Lho? Kalau Abiy pergi, Haifa gimana?” tanyanya bingung. “Haifa kan mau ke kampus.”
“Tenang aja, Fa. Abiy udah minta izin ke dosen kamu dan juga dosennya Zayn,” jawab Abiy sambil melirik Gus Zayn yang berdiri tak jauh darinya.
Haifa mengernyit, rasa penasaran membuncah. “Ngapain sih, Biy? Kok kayak rahasia banget?”
“Udah, jangan banyak tanya, Fa,” potong Gus Zayn dengan nada santai namun berwibawa. Tiba-tiba, dia meraih bahu Haifa dengan lembut, mendorongnya untuk duduk di sofa.
“Ehhh, ngapain pegang-pegang?” Haifa melotot, rasa kaget bercampur malu membuat wajahnya sedikit memerah.
Gus Zayn hanya tertawa kecil, seolah menikmati reaksi Haifa. “Nggak papa, Fa. Santai aja,” balasnya sambil menyalakan televisi dan mengambil kontroler game di meja.
Haifa mendengus kesal, sementara Abiy Hamzah tertawa melihat tingkah mereka. “Kalian jaga rumah baik-baik ya. Jangan berantem,” pesan Abiy sebelum berpamitan dan melangkah keluar rumah.
Haifa menatap Gus Zayn sejenak, masih dengan rasa penasaran yang belum terjawab. "Ada apa sebenarnya, Gus?" tanyanya dalam hati, tak berani mengutarakannya langsung. Tapi satu hal yang pasti — kehadiran Gus Zayn di rumah kali ini membawa tanda tanya besar yang menggantung di pikirannya.
......................
Pagi itu terasa sepi dan sunyi di rumah Haifa. Gus Zayn tampak sibuk bermain game di ruang tengah, sementara Haifa berjalan mondar-mandir tanpa tujuan jelas.
"Haifa, duduk dong... Adikku," ujar Gus Zayn tiba-tiba dengan nada santai disertai tawa ringan.
"Ih, aneh! Adik apaan?" sahut Haifa, wajahnya cemberut.
"Ya iya lah, kan aku lahir duluan, bocilll," goda Gus Zayn sambil tertawa lebih keras.
Haifa mendelik kesal. "Idih, ngata-ngatain bocil pula!" gerutunya sebelum berbalik dan beranjak menuju lantai dua.
"Ih, kok malah aneh sih si Gus Zayn," gumamnya sembari membaringkan tubuh di kasur, mencoba mengabaikan perasaan jengkel yang tersisa.
Namun suasana tenang itu seketika pecah oleh suara klakson mobil yang berhenti di depan rumah. Haifa langsung duduk tegak, wajahnya berseri.
"Ummi! Pasti itu Ummi!" serunya riang. Ia melompat dari tempat tidur dan berlari turun ke lantai bawah.
Di ruang tamu, Gus Zayn sudah berdiri, tersenyum lebar. "Wah, Ummi datang!" ucapnya seraya mematikan game dan berjalan menuju pintu.
Melihat Haifa yang berlari-lari menuruni tangga, Gus Zayn spontan berseru, "Pelan-pelan, Fa! Jangan lari-lari!"
Namun peringatannya terlambat. Kaki Haifa terpeleset di anak tangga terakhir. Tubuhnya terhuyung dan jatuh keras ke lantai.
"Ummi!!" teriak Haifa sebelum tubuhnya limbung dan kepalanya terbentur tajam di sudut tangga. Darah segar mengalir dari pelipisnya.
"Haifa!" Gus Zayn panik, langsung bergegas menghampiri tubuh Haifa yang terkulai lemas.
"Astaghfirullah, Ifa!" seru Ummi yang baru tiba dan menyaksikan insiden itu. Tangisnya pecah melihat putrinya terluka.
"Zayn, cepat gendong Haifa!" perintahnya dengan suara bergetar.
Tanpa berpikir panjang, Gus Zayn mengangkat tubuh Haifa yang tak sadarkan diri. "Pak Jekk! Buka mobil sekarang!" teriaknya memanggil sopir dengan nada cemas.
Dengan langkah tergesa, Gus Zayn membawa Haifa keluar rumah, darah masih terus mengalir dari luka di kepalanya.
Di dalam mobil yang melaju kencang, suasana penuh ketegangan dan keputusasaan menyelimuti mereka. Haifa terbaring lemah di pangkuan Gus Zayn, wajahnya pucat dengan darah yang masih menetes dari luka di kepalanya. Tangan Gus Zayn bergetar saat mencoba menahan pendarahan, hatinya dipenuhi kecemasan yang mencekam.
"Pak Jek, cepat sedikit, tolong!" desaknya dengan suara serak.
Di sisi lain, isak tangis Ummi Shofiah memenuhi ruang sempit mobil. "Ya Allah, Ifa... Bertahanlah, Nak," lirihnya penuh doa dan harap.
"Zayn," suaranya bergetar, "Bawa Haifa ke rumah sakit terbaik. Kamu tahu yang paling bagus di sini, kan?"
Gus Zayn mengangguk tegas. "Iya, Mi." Ia menatap lurus ke depan, berusaha tetap tenang meski hatinya bergemuruh. "Pak Jek, ke Rumah Sakit Pelita Indah, Jalan A. Yani. Cepat!" ucapnya tegas.
Di pangkuannya, tubuh Haifa terasa semakin dingin. Napasnya lemah, nyaris tak terdengar. "Bertahanlah, Fa," bisik Gus Zayn, suara penuh haru. "Kamu itu satu-satunya adik perempuan yang aku punya." Tanpa disadari, butiran air mata jatuh dari matanya, membasahi wajahnya yang biasa tampak tenang dan berwibawa.
Mobil akhirnya berhenti di depan rumah sakit. Tanpa menunggu lama, Gus Zayn melompat keluar sambil menggendong Haifa dengan hati-hati. "Dokter! Tolong! Ini darurat!" serunya penuh kepanikan.
Tim medis segera datang dengan tandu. "Serahkan pada kami, Mas," ujar salah satu dokter dengan nada profesional namun empati.
Ummi Shofiah memegangi dada, air matanya terus mengalir. "Zayn, tolong jaga Haifa... Jangan biarkan dia kenapa-kenapa," pintanya lirih.
"Insya Allah, Mi," jawab Gus Zayn dengan nada mantap meski hatinya remuk. Pandangannya tak lepas dari tubuh Haifa yang dibawa masuk ke ruang gawat darurat.
Dalam hati, Gus Zayn berdoa dengan tulus, "Ya Allah, tolong selamatkan dia. Jangan biarkan sesuatu yang buruk terjadi pada Haifa..." Hatinya bergetar dalam harap dan cinta yang tak terucap.