Bian, seorang pria berusia 30-an yang pernah terpuruk karena PHK dan kesulitan hidup, bangkit dari keterpurukan dengan menjadi konten kreator kuliner. kerja kerasnya berbuah kesuksesan dan jadi terkenal. namun, bian kehilangan orang-orang yang di cintainya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D.harris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rissa
Di sisi lain, Rissa juga semakin berkembang. Ia membuat channel YouTube khusus tentang roti yang bernama "Rissa's Kitchen" berbagi resep dan cerita di balik kreasi kuenya. Channel itu dengan cepat meraih jutaan subscriber karena keunikannya.
Suatu hari, sebuah majalah kuliner internasional meliput toko kuenya di Bali. Artikel tersebut memuji Rissa sebagai “Pastry Innovator of the Year,” berkat kemampuannya menggabungkan cita rasa lokal dan internasional.
“Aku bangga banget sama kamu, sayang" kata Bian sambil memeluk Rissa setelah melihat majalah itu.
Rissa tersenyum, matanya berbinar. “Semua ini berkat dukungan kamu juga, mas.”
Bian dan Rissa kini menjadi pasangan yang sukses, mengelola bisnis yang terus berkembang. Mereka tidak hanya membangun mimpi untuk diri sendiri, tapi juga menciptakan lapangan kerja dan inspirasi bagi banyak orang.
Sabda, yang semakin besar, ikut belajar tentang kerja keras dan cinta dari kedua orang tuanya.
“Papa dan mama Rissa hebat!” kata Sabda sambil melihat kedai baru mereka.
“Kita hebat karena kita punya keluarga,” jawab Bian sambil mengusap kepala putranya.
......................
Hari itu, Rissa pulang dari klinik dengan senyum di wajahnya. Bian yang sedang menyiapkan menu baru di kedai langsung menghampirinya.
“Ada apa, ris? Kok senyum-senyum gitu?” tanya Bian penasaran.
Rissa menyerahkan hasil tes kehamilannya. “mas, kita akan punya bayi!”
Bian terpaku sejenak, lalu tersenyum lebar. “Serius? Ya Tuhan, ini kabar terbaik! Aku nggak percaya kita akan punya anak lagi!”
Rissa mengangguk sambil tertawa kecil, “Aku serius. Aku hamil, mas"
Bian langsung memeluk Rissa erat. “Terima kasih, Ris. Kamu nggak tahu betapa bahagianya aku sekarang.”
Ketika mereka memberi tahu Sabda, reaksinya penuh antusiasme.
“Sabda mau punya adik? Benaran?” tanyanya dengan mata berbinar.
“Iya, Nak. Kamu akan jadi kakak,” jawab Bian sambil mengusap kepala Sabda.
“Yeay! Sabda janji akan jadi kakak yang baik. Kalau adiknya nangis, Sabda bakal bantu Papa dan mama Rissa, deh!”
Bian dan Rissa tertawa melihat semangat Sabda.
......................
Hari itu, Rissa merasakan sakit yang tidak biasa. Bian segera membawanya ke rumah sakit, namun dokter memberikan kabar buruk. Rissa mengalami keguguran. Dunia seakan runtuh bagi mereka berdua.
Rissa hanya diam di tempat tidur rumah sakit, air matanya mengalir tanpa henti. “Ini salahku, mas. Aku terlalu sibuk, aku nggak jaga bayi kita. Maaf, mas… maaf…” katanya dengan suara bergetar.
Bian menggenggam tangan Rissa erat, menahan emosinya sendiri. “Ris, ini bukan salahmu. Jangan menyalahkan diri sendiri, ya? Kita nggak bisa mengendalikan semua yang terjadi. Yang penting sekarang, kamu sehat lagi, ya.”
Rissa menggeleng pelan, merasa begitu hancur. “Tapi aku harusnya lebih hati-hati. Aku gagal jadi ibu…”
Bian memeluknya lembut. “Kamu ibu yang hebat, Ris. Kamu sudah berjuang untuk keluarga kita. Kita bisa melewati ini bersama.”
Setelah keluar dari rumah sakit, Rissa butuh waktu untuk memulihkan diri, baik secara fisik maupun mental. Bian memutuskan untuk sementara waktu mengurangi jam kerjanya di kedai agar bisa menemani Rissa dan Sabda di rumah.
Sabda yang polos menyadari ada sesuatu yang salah. “Papa, kok mama Rissa sedih terus? Adiknya nggak jadi lahir, ya?”
Bian mengangguk pelan dan memeluk Sabda. “Iya, Nak. Tuhan punya rencana lain. Tapi kita tetap sayang sama mama Rissa, ya? Dia butuh kita sekarang.”
Sabda mengangguk penuh pengertian.
Meski rasa kehilangan masih menyelimuti, Bian terus mencari cara untuk menguatkan Rissa. Ia mengajak Rissa untuk lebih banyak beristirahat dan fokus pada hal-hal yang membuatnya bahagia, termasuk melanjutkan hobi membuat kue.
Suatu hari, Bian mengajak Rissa dan Sabda ke pantai. Mereka duduk di pasir sambil menikmati angin laut.
“Ris, aku tahu ini berat, tapi kita masih punya Sabda, kedai kopi, dan banyak mimpi yang harus kita wujudkan. Aku percaya, suatu hari kita akan dapat kebahagiaan baru,” kata Bian sambil menggenggam tangan Rissa.
Rissa menatap Bian dengan mata yang mulai membaik. “Terima kasih, mas bian. Kamu selalu jadi alasan aku kuat.”
Mereka memutuskan untuk terus melangkah, menyimpan kenangan akan bayi mereka yang telah pergi, sambil menguatkan satu sama lain untuk masa depan yang lebih cerah.