Tentang Kania yang hamil di luar nikah. Tanpa dia tahu, yang menghamilinya adalah seorang CEO muda.
***
Dunia Kania menjadi gelap setelah malam itu. Tak ada lagi Kania yang ceria, tak ada lagi Kania yang murah senyum.
Yang ada hanya Kania yang penuh dengan beban pikiran yang gelisah menanti bulan selanjutnya. Berapa garis yang akan di hasilkan oleh sebuah testpack di bulan depan?
**
Bertahun-tahun Kania berjuang sendiri menghidupi buah hatinya yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata.
Kepandaiannya menarik orang-orang untuk menjadikannya bintang. Hingga akhirnya, lewat jalan itulah Kania di pertemukan dengan ayah kandung anaknya yang ternyata bukanlah orang biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhessy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
"Mas, ruangan Pak Devan sebelah mana?"
Kania menanyai seorang office boy yang baru saja keluar dari sebuah ruangan.
"Di sebelah sana, Bu." Office boy tersebut menunjuk ke salah satu ruangan. "Tapi_"
"Oke. Terimakasih, Mas." Kania langsung berlari menuju ruangan yang sudah ditunjukkan untuk menghindari pertanyaan apakah dia sudah ada janji dengan Devan atau belum.
"Lagi ada meeting, Bu." Suara office boy tersebut tertelan oleh angin karena Kania sudah terlanjur membuka pintu ruangan Devan.
***
"Devan, kamu keterlaluan, ya! Bisa-bisanya kamu_"
Kania langsung terdiam melihat apa yang ada di hadapannya. Devan sedang meeting bersama beberapa orang yang Kania yakin mereka bukanlah orang sembarangan.
Semua mata tertuju pada Kania. Mereka menatap penuh tanya, aneh, dan tentu saja memandang Kania tak memiliki etika.
Tapi Kania tak peduli. Urusannya kali ini juga tidak bisa di tunda lagi. Kania mengangkat dagunya, menatap mereka dengan berani.
"Maaf. Saya perlu bicara dengan Devan. Penting!" Tak dia pedulikan Devan yang menatapnya kesal, seperti ingin menelan Kania hidup-hidup.
Devan beranjak dari tempat duduknya. "Sebentar, ya." Orang-orang yang berada di ruangan tersebut menganggukkan kepala saat Devan berpamitan.
Devan menarik tangan Kania. Membawa Kania keluar dengan cepat sampai langkah Kania terseok mengikuti Devan.
"Pak, saya sudah cegah ibu ini tapi dia malah nekat ke sini." Nindita yang baru saja keluar tergopoh-gopoh menghampiri Devan.
Satu tangan Devan terangkat sebagai kode agar Nindita diam. Nindita langsung terdiam, menunduk dan membiarkan atasannya itu berlalu dari hadapannya.
Kania di bawa masuk lagi ke dalam lift membuat Kania bertanya-tanya kemana dia akan di bawa. Lantai tempatnya berdiri sudah lantai paling atas. Dan Devan memencet tombol naik di lift.
"Kamu mau bawa aku kemana?"
Devan tak menjawab. Tapi saat pintu lift terbuka, Kania langsung sadar kalau dia kini tengah berada di roof top.
Di roof top, masih ada sebuah ruangan yang cukup besar dengan dinding kaca yang mengelilingi. Di setiap kaca ada tanaman hias yang menggantung membuat suasana terlihat lebih adem dan asri sekaligus nyaman.
Devan menarik tangan Kania dan membawa Kania keluar dari ruangan tersebut.
Kania membelalakkan matanya. Pikirannya membayangkan kalau Devan akan menjatuhkan dirinya dari atas roof top karena sudah membuatnya malu.
"Kita ngapain ke sini? Jangan macam-macam, ya."
"Aku mau dorong kamu sampai jatuh ke bawah sana!"
Jantung Kania berdegup kencang. Dia tidak ingin mati sekarang. Apalagi di tangan lelaki macam Devan. Kania masih ingin hidup lebih lama untuk Shaka dan kedua orangtuanya.
"Apa, sih, Devan? Aku belum mau mati. Yang ada kamu yang harusnya aku dorong biar jatuh ke bawah."
"Kamu udah bikin aku malu di depan klien, Kania! Bisa kan, sabar nunggu di bawah."
"Percaya kalau kamu orang penting. Tapi aku nggak peduli karena ini lebih penting."
"Apa?" Bentak Devan membuat Kania beringsut sedikit ke belakang menjauhi Devan.
"Kenapa kamu pecat suami Bu Renata? Lalu menarik investasi kamu di perusahaan suami Mama Helen. Kamu nggak mikirin keluarga mereka bagaimana?"
Devan menghembuskan napas dengan kasar. Ternyata hal yang dia anggap sepele yang ingin Kania bicarakan sampai harus naik ke lantainya tanpa persetujuan Devan.
"Ya ampun, Kania. Hanya karena ini kamu mempermalukan diri kamu sendiri di hadapan klien aku?" Devan mengusap wajahnya dengan kasar.
"Hanya, kamu bilang?" Kania terperangah. Hal sebesar itu ternyata di anggap sepele oleh Devan. "Kamu mematikan rejeki orang lain, Devan. Kamu nggak perlu melakukan itu."
"Aku memberi mereka pelajaran karena sudah menghina Shaka."
"Tapi nggak perlu sampai sejauh itu," balas Kania yang tersulut emosi karena sikap Devan. "Kamu nggak tahu beban apa yang mereka tanggung. Kesulitan-kesulitan apa yang mereka hadapi setelah jalan rejeki mereka kamu patahkan. Siapa tahu mereka banyak cicilan, keluarganya ada yang sakit. Kamu nggak tahu, Devan. Seharusnya cukup berikan teguran untuk mereka."
"Mereka nggak akan kapok kalau nggak begini, Kania."
"Dan sekarang mereka pasti sudah kapok. Jadi aku minta, kembalikan kehidupan mereka seperti semula. Semua bisa di bicarakan baik-baik, Devan. Tolong jangan menambah masalah."
"Nggak akan, Kania! Mereka harus mendapatkan hukuman karena sudah kurang ajar pada anakku." Devan meninggalkan Kania setelah berucap seperti itu.
Kania menghentakkan kakinya dengan kesal. Rasanya benar-benar ingin melempar Devan ke bawah sana.
"Kalau begitu jangan pernah kamu berharap bisa bertemu dengan Shaka lagi. Akan aku katakan pada Shaka kalau ayahnya sudah mati. Dia udah nggak punya ayah."
Devan berbalik. Emosinya memuncak kala mendengar Kania mengatakan bahwa dia akan berkata pada Shaka kalau ayah Shaka sudah mati. Dia tak terima kalau akhirnya Shaka menganggap ayahnya mati.
Kedua bahu Kania di cengkeram erat "Jangan coba-coba kamu lakukan hal itu, Kania! Dia anakku. Terlepas bagaimanapun kelakuan kamu!"
Plak!
Pipi kanan Devan mendapat tamparan yang sangat keras dari Kania.
"Sudah aku bilang aku bukan perempuan seperti itu, Devan! Justru kamu yang kelakuannya buruk. Buat apa kamu datang ke tempat itu dan mabuk kalau kamu menganggap diri kamu lebih baik dari aku? Meniduri wanita yang nggak kamu kenal lalu kamu tinggal begitu saja. Kamu pikir semua bisa di nilai dengan uang? Enggak, Devan! Uang kamu bahkan nggak bisa mengembalikan apa yang sudah kamu ambil dari hidupku. Andai aku dan Shaka nggak terjebak dalam permainan keluarga kamu, aku nggak akan membiarkan Shaka bertemu dengan ayah kandungnya."
Cengkeraman tangan Devan melemah seiring dengan tangis Kania yang sudah pecah.
Devan menghembuskan napas pelan. Devan berpikir, lebih baik dia mengalah daripada harus kehilangan anaknya. Sudah cukup selama ini mereka terpisah. Devan tak akan membiarkan hal itu kembali terjadi.
"Baiklah. Akan aku lakukan apa yang kamu minta."
Kedua sudut bibir Kania tertarik sempurna membentuk sebuah senyuman. Dia usap sisa-sisa air mata yang ada di pipinya. Tanpa sadar Kania langsung memeluk Devan dan mengucapkan terimakasih berkali-kali.
"Ehm!"
Mendengar Devan berdehem, Kania langsung tersadar. Dia lepaskan pelukannya pada Devan lalu menunduk salah tingkah. "Maaf," ucapnya tak enak hati.
Devan mengangguk samar. Lalu berjalan meninggalkan Kania yang masih berdiri di tempatnya. Devan masih harus melanjutkan meeting yang sempat terhenti karena ulah Kania.
***
"Terimakasih banyak, Pak. Senang bekerja sama dengan CEO muda, cerdas dan berbakat seperti Pak Devan ini."
Devan tertawa kecil mendengar pujian dari kliennya. Ini bukan pertama kalinya Devan mendapat pujian seperti itu. Hampir semua yang bekerja sama dengan Devan melontarkan pujian seperti itu untuk Devan.
"Sama-sama, Pak Irawan. Semoga tidak ada kendala untuk kedepannya nanti."
Setelah kliennya meninggalkan ruangan Devan, Devan merebahkan tubuhnya ke atas kursi kebesarannya.
Hari ini terasa begitu melelahkan setelah menjalani meeting dengan enam klien yang berbeda. Pukul enam sore, Devan baru bisa beristirahat.
Devan memandang langit yang menggelap karena bercampur dengan awan mendung. Tak menunggu lama, hujan turun dengan derasnya. Petir menggelegar bersahutan di langit sana.
"Kania!"
Ingatan Devan langsung tertuju pada Kania yang dia tinggalkan di roof top.
Devan lupa bahwa pintu ruangan tersebut akan terkunci secara otomatis setelah di lewati. Dan hanya Devan yang bisa membukanya karena memakai sensor sidik jari Devan.
Perasaan khawatir menyelimuti hati Devan. Sudah delapan jam lamanya Devan meninggalkan Kania di atas sana.
Kania pasti belum makan, tidak ada minum, dan kedinginan karena angin di atas terasa begitu kencang. Di tambah lagi sekarang sedang turun hujan dengan derasnya.
Devan memang tidak ada rasa apapun pada Kania. Atau mungkin belum. Tapi Devan bukanlah orang jahat yang membiarkan Kania dalam bahaya. Apalagi karena kesalahannya.
Bagaimanapun juga, Kania adalah wanita yang telah mengandung anak Devan.
🌹🌹🌹
Orang kaya aneh-aneh aja, ya? 😥😥🙈😂
di dunia nyata aja banyak tuh samaan nama..
gak ush peduliin nyinyiran orang thor, anggap aja tuh orang bnr" ngehayati cerita kamu