Bayangkan jika boneka porselen antik di sudut kamar Anda tiba-tiba hidup dan berubah menjadi manusia. Itulah yang dialami Akasia, seorang gadis SMA biasa yang kehidupannya mendadak penuh keanehan. Boneka pemberian ayahnya saat ulang tahun keenam ternyata menyimpan rahasia kelam: ia adalah Adrian, seorang pemuda Belanda yang dikutuk menjadi boneka sejak zaman penjajahan. Dengan mata biru tajam dan rambut pirang khasnya, Adrian tampak seperti sosok sempurna, hingga ia mulai mengacaukan keseharian Akasia.
Menyembunyikan Adrian yang bisa sewaktu-waktu berubah dari boneka menjadi manusia tampan bukan perkara mudah, terutama ketika masalah lain mulai bermunculan. Endry, siswa populer di sekolah, mulai mendekati Akasia setelah mereka bekerja paruh waktu bersama. Sementara itu, Selena, sahabat lama Endry, menjadikan Akasia sasaran keusilannya karena cemburu. Ditambah kedatangan sosok lain dari masa lalu Adrian yang misterius.
Namun, kehadiran Adrian ternyata membawa lebih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Khodijah Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Such a Long Night
Akasia melangkahkan kaki memasuki rumahnya. Setelah mengucapkan salam ia mencari Ibunya untuk menyalim tangan beliau seperti biasa. Ia mendengar suara ramai berasal dari ruang makan rumahnya, ia pun melangkahkan kaki ke sumber suara. Tanpa dinyana yang dia lihat adalah gambaran keluarga harmonis yang direka orangtuanya, dengan satu bocah laki-laki berusia tujuh tahun yang duduk di salah satu bangkunya.
“Eh itu Kak Akasia datang. Yuk, Kakak makan malam bareng, yuk. Ini ada adiknya nih, namanya Hanif.” Ibu menyapa Akasia dengan cara yang tidak biasa. Akasia memandang anak laki-laki yang sedang dimanjakan di meja makan itu, semua dihidangkan oleh Ibu dan Ayahnya ke hadapannya seolah dia bintangnya hari ini.
“Nggak, udah makan,” jawabnya singkat ke Ibunya sambil menahan kesal.
“Habis dari mana kamu?” Ayah Akasia yang duduk di sebelah bocah laki-laki itu tampak heran putrinya baru pulang semalam ini.
“Kerja,” jawab Akasia singkat.
“Kok ayah nggak tahu kamu kerja?” Ayah menyuarakan kekagetannya.
Akasia menyeringai sinis, “Sejak kapan Ayah peduli tentang aku?”
“Sini duduk dulu, kenalan sama adikmu.” Ayah mengkomando Akasia. Ia menahan diri demi menjaga suasana agar tetap kondusif bagi anak laki-lakinya yang masih kecil itu.
“Bisa nggak, nggak usah pura-pura harmonis begini? Biasanya juga makan masing-masing, jangan membohongi anak kecil.” Akasia berkata sinis.
Ayahnya menggeleng-gelengkan kepala, “Kamu kok jadi nggak hormat begini sama Ayah? Ayah salah apa sih sama kamu sampai diginiin?” Tanya Ayahnya.
Akasia membelalak, tidak percaya pada pendengarannya. Dadanya memanas oleh emosi yang menyeruak, “Salah apa? Saat anda melangkah keluar dari keluarga ini demi perempuan lain, anda bukan cuma mengkhianati Ibu, tapi juga mengkhianati kepercayaan saya. Saya sama sakitnya dengan Ibu. Saya juga korban, lebih pedih malah! Ibu bisa disalahkan karena salah pilih suami, anda bisa disalahkan karena nggak komit dengan Ibu saya, lalu salah saya apa sampai harus terlibat di drama kalian? Saya ini apa, produk gagal? Nggak mikir ya kalau aku juga punya perasaan?” Tangis Akasia meledak. Akasia berlari ke kamarnya dan mengunci diri di kamar.
Ibunya menghentikan Ayahnya yang hendak mengejarnya.
“Biarkan dia menenangkan diri dulu,” pesan Ibunya yang sangat mengenal karakter anaknya itu, “Akasia benar, kamu utang maaf yang besar ke dia juga.” Tambahnya.
Ayahnya menunduk malu dan merasa abai, ia baru terpikirkan isi hati anaknya itu. Selama ini ia sibuk dengan kehidupannya dan permasalahan rumah tangga-nya, tapi lupa bahwa di rumah tangga itu ada anaknya yang terseret ikut tersakiti karenanya.
Akasia terisak sambil duduk bersandarkan pintu kamarnya. Melihat kondisinya yang menangis kencang, Adrian berinisiatif berubah menjadi manusia. Ia berdiri canggung, hanya memandang gadis itu sebelum ia menyeruak ke arahnya dan memeluknya dengan penuh isak tangis. Adrian terkejut mematung, ia terenyuh tapi debaran dadanya sulit dikontrol.
“Ayah ternyata nggak merasa bersalah ke aku! Dia jahat Dri, nggak pernah dia merasa salah Dri!” Adu Akasia histeris.
Kedua tangan Adrian yang awalnya melayang canggung akhirnya memberanikan diri mendekap gadis itu erat. Memberikan pelukan demi menenangkan tangisnya, bahkan kalau mampu, menghilangkan semua kesedihannya.
Mereka berpelukan dalam haru meski detik demi detik telah terlewat. Tidak sadar telah semenit berlalu. “Gimana, udah lebih tenang?” Adrian mengecek suasana hati gadis itu.
“Astaga, maaf. Aku peluk kamu kelamaan ya?” Akasia yang baru menyadari aksinya segera melepaskan pelukan dengan canggung.
“Nggak apa-apa, aku mengerti. Sini duduk dulu, supaya lebih enak ceritanya.” Adrian mengajak Akasia melipir ke karpet di samping ranjangnya, tempat mereka biasa bercerita.
Akasia menurut, mereka duduk bersandarkan ranjang, “Tadi akhirnya aku meledak di depan Ibu dan Ayah. Aku ngamuk ke Ayah, aku utarakan semua unek-unek aku dan menyalahkan dia. Aku durhaka ya?” Akasia sedikit khawatir kelakuannya itu akan berdampak buruk ke depannya.
“Tapi lega kan?” Adrian menanyakan hikmah yang terpenting, Akasia mengangguk. “Nggak apa-apa kok sekali-sekali menunjukkan kemarahan ke orangtua, perlu juga. Kalau mau ngomong soal durhaka, siapa yang durhaka duluan, ya kan?”
Akasia menyandarkan kepalanya ke bahu Adrian yang lebar. Reaksi jantungnya membuat Adrian harus mengontrol ekspresi wajahnya. “Aku capek jadi anak baik, yang diam aja menonton kelakuan orangtuaku.” Ujar gadis itu.
“Nggak ada yang menuntut kamu jadi anak baik,” ucapan Adrian tadi mengejutkan Akasia, baru saja ia mendengar hal yang sama dari mulut Endry, “Santai aja jalanin hidup, nggak usah pedulikan label dari orang lain. Selama kamu yakin kamu benar, lakukan.” Pesan pemuda itu dengan bijaksana. Ia mengelus lembut kepala Akasia.
“Aku jadi ngantuk,” Akasia mengeluh.
Adrian jujur tidak tahan jika Akasia bersandar kepadanya seperti ini untuk waktu yang lama, ‘Fisikku sih kuat-kuat aja, tapi mentalku ini loh yang terguncang!’ Suara hatinya mengeluh. Ini saja sudah sekuat tenaga ia menenangkan ritme jantungnya dan menjaga ekspresinya, “Cuci tangan kaki dulu gih sana! Jorok ih!” Suruhnya sambil mendorong tubuh Akasia agar tegak.
“Iya juga ya, dari luar rumah aku belum cuci kaki tangan ya?” Akasia baru ingat. Ia pun bangkit untuk ke kamar mandi di kamarnya untuk sekalian mandi.
“Nanti selesai kamu mandi, aku dongengin deh sampai tidur.” Janji Adrian demi menghibur gadis tersayangnya itu.
“Dongenging apa? Pangeran kodok?” Sindir Akasia sambil tertawa kecil sebelum memasuki pintu kamar mandi.
“Bukan, pangeran boneka. Pangerannya dikutuk jadi boneka, sounds familiar?” Goda Adrian sambil tersenyum geli, menertawakan nasibnya sendiri yang memang mirip cerita dongeng.
“Idih narsis!” Akasia melirik pria pirang yang cengengesan dengan bombastic side eyes sebelum benar-benar menutup pintu kamar mandi.
Akasia berbaring di ranjangnya sementara Adrian duduk di pinggir, mengelus dahi dan kepala gadis itu agar tertidur.
“Aku udah rekonsiliasi loh dengan Endry,” Akasia menginformasikan hal yang membuat Adrian terkejut.
“Kapan?” Heran Adrian, tidak menyangka perkembangan hubungan mereka secepat ini. Ia tahu cepat atau lambat ia harus melepas mereka berdua yang telah terikat takdir.
“Tadi setelah jam kerja. Aku mengobrol banyak dengan Endry, sempat makan bareng juga di warung roti bakar. Ternyata dia orang yang baik, gentleman banget.” Akasia berceloteh sambil menutup matanya, teringat sikap Endry tadi yang sangat meratukannya.
“Hmmm…” Ada rasa aneh di diri Adrian, semacam kekhawatiran. Rasanya seperti seorang Ayah yang harus melepas anaknya bersama laki-laki lain.
“Jadi gimana dongengnya? Tadi janjinya mau dongengin, nanti keburu ketiduran nih.” Akasia menagih janjinya.
Adrian mulai menyusun ceritanya, “Oke. Di jaman dahulu kala ada seorang pangeran, eh bukan, anak tuan tanah, pemilik perusahaan, pabrik, dan perkebunan yang cukup luas. Namanya…”
“Stop-stop!” Akasia menginterupsi cerita, “Saya tahu ini biografi anda, tapi anda sombong sekali ya ternyata! Jadi ini ajang pamer?” Ia menyindir sinis.
“Udah, nikmati aja ceritanya!” Adrian membungkam mulut gadis itu sambil tertawa, manis sekali, “Jadi pangeran itu dikutuk menjadi boneka.” Adrian melanjutkan ceritanya.
“Karena?” Pancing Akasia yang penasaran masih sambil terpejam.
“Karena sebab yang tidak bisa diceritakan,” jawaban Adrian yang menghindar itu membuat Akasia sedikit kecewa.
“Pokoknya pemuda yang menjadi boneka ini akhirnya jatuh ke tangan seorang wanita yang sangat baik," Adrian tersenyum sambil memandang jauh ke depan,
“Gadis itu bernama Akasia, meski gadis manis itu bawel, cengeng, sering nangis, tapi dia merawat boneka itu dan memperlakukannya dengan tulus seperti seorang sahabat.” Ia bercerita dengan suara yang lembut, hingga ia sadari Akasia sudah terlelap.
Ia memperhatikan wajah Akasia, tersimpan rasa sayang yang membuncah di hatinya. Adrian mendekati kepala gadis itu untuk berbisik, “Nggak boleh ada orang yang menyakiti kamu lagi, makanya pilih pria yang baik ya.” Pesannya khawatir meski gadis itu tertidur.
Adrian mengelus kepala gadis itu sambil melihat wajah tertidur Akasia yang damai. Ia mendekati keningnya dengan niatan untuk mengecupnya, hingga ia tersadar dan menghentikan aksinya. Ia duduk tegak dan menampar dirinya sendiri.
‘Nggak boleh Adrian, itu physical touch! Kita sudah punya aturan kan.’ Pikirannya mengingatkan dirinya sendiri, ‘Lagipula kenapa aku ingin mengecup keningnya? Iya, aku sayang sih, tapi sebagai adik, kan? Dasar orang Eropa! Jangan terlalu santai kontak fisik dengannya Adrian, dia bisa salah paham dan takut kepadamu. Dasar bodoh!’ Ia merenung dan mengutuki dirinya sendiri. Adrian menjauhi ranjang dan menuju ke meja untuk kembali menjadi boneka. Ia sedang berusaha menjaga jarak aman.
semangat /Good/