Dante, pria kejam yang hidup di dunia kelam, tak pernah mengenal rasa iba. Namun segalanya berubah saat ia bertemu Lea, gadis lugu yang tanpa sengaja menjadi saksi pembunuhannya. Lea, seorang guru TK polos, kini menjadi obsesi terbesarnya—dan Dante bersumpah, ia tidak akan melepaskannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
Malam itu terasa begitu sunyi di kontrakan kecil yang sumpek. Lea duduk di luar, matanya menatap kosong ke jalanan yang sepi, menunggu kakaknya yang tak kunjung pulang. Waktu terus berjalan, dan rasa cemas mulai merayap di dadanya. Keheningan malam semakin menekan perasaan Lea.
Tangan kirinya menggenggam ponsel yang tergeletak di pangkuannya. Ponsel itu terlihat mahal, begitu canggih, bahkan bisa membeli dua unit motor baru. Lea menatapnya dengan ragu, mempertanyakan apakah dia harus menelpon Dion atau tidak. Nama itu muncul di pikirannya, dan sebuah pertanyaan menggantung di sana. "Apakah ini langkah yang tepat?" pikirnya, merasa bimbang.
Sementara dia terus memandangi ponsel tersebut, pikirannya berputar-putar.
Lea membuka aplikasi berwarna hijau itu, matanya langsung tertuju pada satu nama yang tertera Dion. Dengan perasaan campur aduk, dia memencet nama tersebut dan menekan tombol panggilan. Beberapa detik berlalu tanpa jawaban, membuat detak jantung Lea semakin cepat, namun akhirnya, terdengar suara berat seorang pria dari seberang.
"Halo?" suara itu mengalir dalam nada yang tenang, namun tetap terdengar tegas. Lea terdiam sejenak, merasakan ketegangan di udara. Suara itu... suara yang begitu familiar.
Lea menggenggam ponsel dengan sedikit gemetar, suara Dion yang lembut menyentuh telinganya, membuat hatinya berdebar tak karuan. "Ini aku," lirih Lea pelan, suaranya sedikit bergetar, mencoba untuk tetap tenang meski perasaan dalam dadanya kacau.
"Hai..." jawab Dion dengan nada lembut, seolah-olah dia bisa merasakan kegugupan Lea dari seberang sana. "Makasih sudah terima hadiahnya. Aku benar-benar sangat berhutang padamu, terutama setelah tahu ponsel kamu rusak waktu menolongku waktu itu."
Lea terdiam sejenak, mencoba menyusun kata-kata. "Itu terlalu berlebihan," ucapnya dengan lembut. "Ponselnya memang mahal, tapi aku jadi tidak enak kalau sampai kamu merasa berhutang." Suaranya bergetar sedikit, meski dia mencoba menutupi perasaan tidak nyaman yang mulai muncul. Lea merasa ada sesuatu yang lebih dalam yang tersembunyi di balik kata-kata Dion, tapi dia tidak tahu apa itu.
Dion terkekeh pelan, terdengar jelas bahwa dia merasa lucu mendengar suara gugup Lea. "Hehe, ya aku tidak masalah, itu simpan saja dan jaga baik-baik," katanya dengan suara yang lebih santai, namun masih ada kelembutan di dalamnya. "Aku akan sangat senang jika kamu menerimanya."
Lea terdiam sejenak, perasaan campur aduk memenuhi pikirannya. Ponsel yang begitu mahal, hadiah yang begitu besar apa yang sebenarnya diinginkan Dion? Namun, dia bisa merasakan ketulusan dalam suara pria itu, membuatnya semakin bingung tentang apa yang harus dilakukan.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang canggung. Lea benar-benar gugup, jantungnya berdetak lebih cepat, sementara Dion merasa bingung harus mengatakan apa lagi.
"Begini," kata Dion akhirnya, suara itu terdengar hati-hati. "Bagaimana kalau kita makan bersama?" tawarnya, membuat Lea terkejut. Matanya membulat mendengar ajakan itu. "Kapan?" ucapnya sangat pelan, hampir tidak terdengar.
Dion tersenyum kecil, meski Lea tidak bisa melihatnya. Dia berharap ajakan itu bisa membuat suasana lebih ringan, tapi sebelum dia bisa melanjutkan kalimatnya, pandangan Lea tiba-tiba teralihkan. Kakaknya, yang tampak lunglai, berjalan ke arahnya.
"Kakak!" teriak Lea dengan panik, melihat kondisi kakaknya yang tampak tidak beres. Tanpa berpikir panjang, Lea langsung memutuskan panggilan dengan Dion secara sepihak, perasaannya bercampur antara kekhawatiran untuk kakaknya dan rasa tidak enak karena meninggalkan Dion begitu saja.
"Bajingan itu, pria tua bangka si Anton, kenapa harus menjual motorku!" Lia meracau dengan langkah lunglai, suaranya terdengar begitu marah dan kesal. Dia terus berjalan, tampak tidak seimbang. Lea yang melihatnya, tanpa sadar langsung menutup hidungnya, mencoba menahan aroma yang menyengat dari kakaknya.
"Kau mabuk, Kak?" teriak Lea dengan panik, merasa cemas melihat kakaknya dalam keadaan seperti itu. Wajah Lia tampak memerah, matanya sayu dan tidak fokus, seolah-olah sudah kehilangan kendali atas dirinya. Lea semakin khawatir, tak tahu harus bagaimana menghadapinya.
Lea meringis, dengan cepat menuntun kakaknya ke dalam rumah. Begitu sampai, dia membaringkan Lia di atas kasur, namun perasaan cemas tak kunjung hilang. Lea berjalan mondar-mandir, bingung harus bagaimana. Seumur hidup, dia tidak pernah melihat kakaknya sekacau ini.
Lia, yang masih terdengar kacau, mulai meracau lagi, "Aku tadi melihatnya sedang berjudi, dan aku menepi... saat aku ingin menghajarnya, dia malah mengatakan sesuatu, bahwa dia akan menjualmu... menjualmu kepada orang kaya..." Suaranya semakin kacau, dan kalimatnya terasa semakin tak terkontrol.
Lea terdiam sejenak, terkejut. "Apa?!" teriaknya dengan sangat kaget, hatinya seperti dihantam keras. "Menjualku?" Lea bertanya, suaranya bergetar. "Ayah...?" ucapnya lirih, matanya mulai berkaca-kaca, mencoba memahami apa yang baru saja didengar. Kata-kata itu seperti mengguncang seluruh dunia Lea, dan untuk pertama kalinya, dia merasa ketakutan yang nyata tentang apa yang bisa terjadi pada dirinya dan keluarganya.
Lea duduk di samping kakaknya yang kini terbaring lemah, masih terengah-engah dan menangis. Lia, yang terus meracau, membuat suasana semakin berat. "Apa yang terjadi? Kenapa dia ingin menjualku?" suara Lea hampir tak terdengar, teredam oleh kepanikan dan kekhawatiran yang begitu mendalam. "Perasaan aku tidak pernah melawan ayah," ucapnya lirih, matanya mulai berkaca-kaca, air mata menetes tanpa bisa ditahan.
Dia menatap kakaknya, yang kini menangis sesenggukan. Setiap kata yang keluar dari mulut Lia semakin menambah hancurnya hati Lea. "Kak, jangan bicara seperti itu..." ucap Lea dengan suara gemetar, mencoba menenangkan kakaknya yang sepertinya benar-benar kehilangan kendali.
Namun, setiap perkataan kakaknya seperti beban yang semakin berat untuk dipikul, dan Lea merasa hatinya semakin hancur, tak tahu harus berbuat apa. Dalam benaknya, hanya satu pertanyaan yang terus berputar: Apa yang sebenarnya terjadi dengan ayah mereka?
"Lea... kenapa kita punya ayah seperti itu?" racau Lia dengan suara berat, matanya yang sayu menatap kosong ke langit-langit. "Semesta sangat tidak adil... bahkan yang membuatku sakit, dia akan menjualmu... dan uangnya sudah dibayar terlebih dahulu."
Lea membeku di tempat, tubuhnya gemetar hebat. "Apa?" suaranya hampir tak keluar, dadanya terasa sesak.
Lia tertawa kecil, tawa yang penuh kepahitan. "Saat aku melihat botol itu, aku meminumnya sampai habis..." lanjutnya, suaranya melemah.
Lea merasa dunianya runtuh seketika. Jantungnya berdegup kencang, dan perasaan takut mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Air matanya kembali mengalir deras. Hatinya benar-benar tergores mendengar kenyataan yang baru saja diungkapkan kakaknya. Ayahnya sudah menjualnya... dan uangnya sudah diterima.
Dengan tangan gemetar, Lea menggenggam erat tangan kakaknya. "Kak... kita harus pergi dari sini," bisiknya dengan suara bergetar, kesadaran bahwa dirinya bukan lagi sekadar ancaman, tetapi sudah menjadi 'barang' yang diperjualbelikan, membuatnya ketakutan.