Bagaimana jika orang yang kamu cintai meninggalkan dirimu untuk selamanya?
Lalu dicintai oleh seseorang yang juga mengharapkan dirinya selama bertahun-tahun.
Akhirnya dia bersedia dinikahi oleh pria bernama Fairuz yang dengan menemani dan menerima dirinya yang tak bisa melupakan almarhum suaminya.
Tapi, seseorang yang baru saja hadir dalam keluarga almarhum suaminya itu malah merusak segalanya.
Hanya karena Adrian begitu mirip dengan almarhum suaminya itu dia jadi bimbang.
Dan yang paling tak di duga, pria itu berusaha untuk membatalkan pernikahan Hana dengan segala macam cara.
"Maaf, pernikahan ini di batalkan saja."
Jangan lupa baca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
"Mas Fairuz sudah menungguku cukup lama. Hana tak akan meninggalkan dia kalau bukan sebaliknya."
Begitulah ucapan Hana terus mengiang di telinga Adrian.
Siang ini pula Adrian harus segera kembali bekerja mengingat banyaknya pasien yang sudah menginap di klinik miliknya. Pun dengan Hana, ia sudah berangkat lebih dulu tak ingin ikut bersitegang dengan Tante sambung Adrian.
Selintas terdengar mereka sedang meributkan harta. Itu sudah biasa dalam sebuah keluarga, apabila salah seorang meninggalkan warisan maka yang di tinggalkan akan meminta bagian.
"Kalau Tante ingin tetap di sini silahkan saja. Tapi jangan mengambil apapun, atau menggeledah kamar Mama. Karena kalian tidak akan menemukan apapun di sana."
Adrian meninggalkan ketiga orang tersebut di rumahnya, tidak peduli Tante Elsa berteriak memanggilnya beberapa kali.
"Tidak baik meninggalkan rumah sebelum tahlilan tiga hari." ucap Bu Susi ketika sore hari ketiga anaknya kembali berkumpul, duduk menyandar lelah.
Adrian pun tahu, namun tak bisa berbuat apa-apa lantaran di rumahnya dia tak nyaman, tanggung jawabnya sebagai dokter pun tak mungkin di abaikan.
"Ya sudah to Bu. Kita adakan tahlilan di sini saja." ucap pak Seno menengahi kebimbangan Adrian.
"Maaf ya Nak, ibu sama bapak ndak betah di rumah mu." ibu tersenyum sambil mendesah berat.
"Tidak apa-apa Bu, aku mengerti. Aku pun tidak betah jika ada keluarga Mama." ucap Adrian.
"Biar Ros pesan nasi kotak saja buat tahlilan besok malam." Rosa meraih ponselnya, lalu mengetik sesuatu di sana.
"Maaf aku jadi merepotkan Ibu, bapak dan semuanya." ucap Adrian, mengusap wajahnya beberapa kali.
"Sudah, Ndak usah dipikirkan. Kamu mandi sana! Istirahat." tunjuk ibu, dia meminta Adrian tidur di kamar depan.
Tidak mengizinkan Adrian sendirian dalam keadaan berduka. Wajahnya pucat dan lemas karena kehilangan ibu yang sudah membesarkannya, Bu Susi sangat mengerti hal itu.
"Kak, kalau Kak Hana menikah dengan dia, maka setiap hari kita akan bersama-sama seperti ini. Rumah akan rame, apalagi nanti kalau kalian udah punya anak." seru Rosa ketika mereka sudah masuk ke dalam kamar.
"Tak selamanya pula Ros! Kau kan nak menikah dengan Yusuf. Yusuf tidak akan bersedia tinggal di rumah yang sama dengan kita semua. Dia adalah laki-laki yang mandiri dan ingin hidup diatas kaki sendiri." jelas Hana, terkekeh melihat wajah adiknya yang mendadak mengerucut.
"Apaan sih!" kesalnya.
"Dah lah, biarkan dokter Adrian memilih hidupnya sendiri. Akak sudah menerima mas Fairuz, dia pun tampan, baik, dan ikhlas...." lagi, Hana menggoda adiknya.
"Ros mau tidur." kesalnya, lelah membujuk Hana.
"Merajuk lah tu." Hana semakin terkekeh, memeluk Rosa yang tidur membelakangi dirinya.
Malam kembali terasa panjang, bagaimana ceritanya pria yang amat di cintai nya dulu telah pergi, kini seolah hadir lagi. Hana memejamkan matanya rapat-rapat. Tidak ingin mengingat apapun, berusaha keras untuk menempatkan Fairuz saja di dalam pikirannya, bukan Adrian.
*
*
*
Sore harinya, rumah Pak Seno itu sudah ramai para tetangga yang sibuk membantu. Sekian tahlilan juga acara malam ini menjadi momen tersendiri bagi keluarga mereka.
Semua orang akan tahu kalau ternyata Rayan memiliki saudara. Walaupun desas-desus akan terdengar menurut versi masing-masing, tapi yang paling penting adalah mereka sekarang sudah berkumpul bersama.
"Aku tak menyangka kalau almarhum suamimu memiliki saudara." ucap Fairuz. Hatinya terasa khawatir, namun sikap Hana yang hangat membuat dia yakin calon istrinya itu tidak macam-macam.
"Allah sudah atur semuanya dengan baik. Dia di lahirkan untuk mengobati kesedihan beberapa orang." gumam Hana, memandangi Adrian dan Rosa yang semakin dekat.
"Aku takut dia juga mengobati lukamu Hana." ucap Fairuz memandangi wajah Hana.
Hana pun menoleh Fairuz yang menatapnya dengan khawatir. "Dia bukan Abang Rayan, justru Mas Fairuz yang selalu sabar menemani hari-hari Hana selama ini." ucap Rosa, membuat Fairuz tersipu, kedua belah pipinya jadi menghangat.
"Terimakasih, Mas Fairuz." ucap Hana lagi, suaranya terdengar merdu dan halus di telinga Fairuz.
"Besok kita jalan-jalan ya?" ajak Fairuz.
"Hem! Tiba-tiba nak ajak Hana pusing kampung?" Hana menatapnya curiga. Fairuz pun terkekeh dengan ekspresi menggemaskan calon istrinya yang cantik.
"Bukan keliling kampung Hana sayang. Aku ingin mengajakmu mencari perhiasan, cincin pernikahan kita." ucap Fairuz.
"Oh." Hana menutup mulut mungilnya, dia tak mengira sama sekali akan diajak membeli cincin pernikahan. "Tak cukup ke, kalau mas Fairuz saja yang membeli?" tanya Hana.
"Tak! Mas Fairuz nak ajak Hana." balas Fairuz menggoda Hana dengan bahasa Melayu. Membuat keduanya terkekeh.
Semua orang sudah mulai membubarkan diri, pukul sembilan malam acara tahlilan selesai. Hana dan Fairuz masih mengobrol di depan rumah sambil sesekali bercanda.
Mereka tidak tahu kalau ada seseorang yang menyaksikan keromantisan mereka dengan tatapan tak suka. Dia bahkan dapat mendengar suara tawa Hana yang renyah.
Sesekali ia mendengus kesal, merasa dirinya sudah datang terlambat. Andai saja dia menemui Hana lebih awal, mungkin tidak ada Fairuz dalam kehidupan Hana.
Hatinya benci, namun matanya tak dapat berpaling menyaksikan bagaimana Hana tersenyum, tertawa dan bicara.
"Dia cantik sekali." gumam Adrian, dia jadi memikirkan bagaimana Rayan dulu menjadikannya istri, hingga Hana begitu mencintainya sampai tidak pernah ingin pergi dari rumah ibunya.
"Kalau dia begitu mencintai Rayan, harusnya dia bisa mencintai ku juga. Tapi mengapa dia malah memilih Fairuz?" Adrian terus bergumam di dalam hati sambil mengamati Hana.
Hingga kesabarannya mulai menipis, Adrian berdiri mendekati kedua orang yang terus mengobrol itu. Dia memasang wajah setenang mungkin sebelum berbicara kepada Fairuz.
"Fairuz! Terimakasih sudah menyempatkan diri untuk datang." kata Adrian.
Fairuz pun tersenyum mengulurkan tangannya. "Tentu! Maaf aku tidak tahu kalau ibumu baru saja meninggal. Aku turut berduka cita." ucap Fairuz.
"Ya, terimakasih." Adrian menjabat tangan Fairuz dengan erat. "Ah, ngomong-ngomong, dimana ustadz Yusuf?" Adrian menoleh sekitar mereka memang benar ustadz muda yang tampan itu tak ada.
"Oh, Yusuf sedang ada urusan yang tidak bisa di tunda. Dia sedang menjalani tes wawancara di sebuah Perusahaan energi." kata Fairuz.
"Oh." Adrian mengangguk. "Semoga saja dia di terima." ucapnya kemudian.
"Aamiin." Fairuz berucap penuh nikmat.
"Aku tidak menyangka ternyata kau adalah saudara dari almarhum suami Hana. Kita akan menjadi keluarga." ucap Fairuz, senyum tulusnya terukir dengan tatapan yang teduh.
Adrian terkekeh ringan. "Ya, siapa sangka takdir kehidupan membawaku kemari, bertemu dengan ibu, bapak, adik dan... Hana." ucap Adrian penuh makna, tatapannya pun menyimpan hal yang sulit diartikan.
Fairuz mengangguk, dia tetap bersikap bijaksana dengan seulas senyum. Meskipun di dalam hati dia tahu maksud dari tatapan Adrian yang menurutnya menyimpan ketidak sukaan terhadap dirinya.
"Kau benar, Allah memang pengatur skenario terbaik. Aku pun sangat bersyukur dengan perjalanan hidup yang akhirnya mempertemukan aku dan Hana. Kita berdua memiliki niat yang baik tentunya, pasti Allah akan menunjukkan jalan yang terbaik pula." jawab Fairuz.
"Ya." Adrian mengangguk, memandangi calon suami Hana itu dengan santai, walaupun sebenarnya tidak.
"Hana!" panggil Fairuz kepada Hana yang sibuk berkemas sejak ia mengobrol dengan Adrian.
"Ya!" Hana menghentikan aktivitasnya, mendekati Fairuz.
"Aku pulang dulu. Jangan lupa besok aku akan menjemputmu." pamit Fairuz, wanita cantik itupun mengangguk.
"Adrian." ucapnya, kembali mengulurkan tangannya. "Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam, mas Fairuz."
Hana menjawabnya, sedangkan Adrian hanya tersenyum tipis memandangi pria yang mulai menjauh dari rumah itu.
💞💞💞💞
#quoteoftheday..