Nayla, seorang gadis sederhana dengan mimpi besar, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis setelah menerima lamaran dari Arga, seorang pria tampan dan sukses namun dikelilingi rumor miring—katanya, ia impoten. Di tengah desakan keluarganya untuk menerima lamaran itu demi masa depan yang lebih baik, Nayla terjebak dalam pernikahan yang dipenuhi misteri dan tanda tanya.
Awalnya, Nayla merasa takut dan canggung. Bagaimana mungkin ia menjalani hidup dengan pria yang dikabarkan tak mampu menjadi suami seutuhnya? Namun, Arga ternyata berbeda dari bayangannya. Di balik sikap dinginnya, ia menyimpan luka masa lalu yang perlahan terbuka di hadapan Nayla.
Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Nayla menyadari bahwa rumor hanyalah sebagian kecil dari kebenaran. Tetapi, ketika masa lalu Arga kembali menghantui mereka dalam wujud seseorang yang membawa rahasia besar, Nayla dihadapkan pada pilihan sulit, bertahan di pernikahan ini atau meninggalkan sang suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Sebuah suara keras dari ruang tamu membuat Arga terhenti di tengah langkahnya. Tampak Arga merangkul Nayla dengan posisi bibirnya hampir menyentuh bibir Nayla. Matanya terpaku pada kunci kecil di tangannya, sementara Nayla mengamati ekspresi wajah suaminya yang berubah tegang.
"Kunci ini," gumam Arga, lebih kepada dirinya sendiri.
"Kunci apa?" Nayla mendekat, mencoba melihat lebih jelas.
"Inisial 'R' ini... Ini pasti ada hubungannya dengan Raka," balas Arga, menggenggam kunci itu erat-erat.
"Aku tahu kau pintar, tapi deduksimu ini terlalu klise," sindir Nayla sambil melipat tangan.
"Ya, tapi drama hidup kita ini memang sudah seperti film detektif murahan," balas Arga sambil berjalan ke arah sofa.
Nayla menghela napas, mengikuti di belakangnya. "Baiklah, jadi apa langkah selanjutnya? Kita mencari pintu yang cocok dengan kunci ini? Atau langsung ke polisi dan mengaku kalau hidup kita adalah lelucon besar?"
Arga menoleh, bibirnya melengkung ke dalam senyum kecil. "Aku suka semangatmu, tapi aku rasa kita perlu sedikit logika di sini."
"Logika? Dari orang yang tadi hampir mencium istrinya di tengah situasi penuh ancaman ini?" Nayla mengangkat alis, menyilangkan tangan di dada.
Arga terdiam, wajahnya memerah sedikit. "Itu... itu refleks," katanya akhirnya, berusaha terdengar meyakinkan.
"Refleks, ya?" Nayla tersenyum sinis. "Refleks macam apa yang membuatmu berpikir itu ide bagus?"
"Aku hanya mencoba menenangkan kita berdua," Arga beralasan sambil menggaruk kepalanya.
"Menenangkan? Kalau begitu, lain kali coba peluk saja. Itu lebih normal," Nayla menepuk bahunya ringan, sebelum duduk di sofa.
---
Arga duduk di kursi seberang, memandangi kunci di tangannya. "Aku merasa ini adalah bagian dari rencana besar Raka untuk mengacaukan semuanya."
"Kau tahu apa yang lebih mengacaukan semuanya? Kau lupa bahwa aku masih di sini, dan kau belum menjelaskan apa pun soal Clara," Nayla menyela dengan nada serius, meski ada sedikit senyum di ujung bibirnya.
Arga mendongak, wajahnya penuh rasa bersalah. "Aku tahu aku belum banyak bicara soal itu. Clara hanya bagian dari masa lalu yang kebetulan muncul lagi di saat yang salah."
Nayla mengangguk pelan, tapi tatapannya tetap tajam. "Bagian masa lalu yang masih bisa masuk rumah kita kapan saja tanpa izin?"
"Dia tidak masuk tanpa izin," balas Arga cepat.
"Benarkah? Jadi aku harus percaya bahwa tadi dia muncul dengan undangan formal?" Nayla melipat tangan, memiringkan kepala seperti sedang menantang.
Arga hanya menghela napas, merasa kalah dalam debat yang bahkan belum dimulai.
---
Setelah beberapa jam penuh perdebatan kecil dan diskusi serius, Arga akhirnya berdiri. "Aku pikir aku tahu apa yang harus kita lakukan."
"Kalau rencanamu melibatkan lebih banyak drama, aku mundur," Nayla memperingatkan sambil mengangkat tangan.
"Tidak, kali ini kita akan bermain sesuai aturan," jawab Arga sambil berjalan menuju meja kerja kecil di sudut ruangan. Dia mengambil sebuah kotak kecil dari laci dan mengeluarkan peta tua.
"Peta? Kau serius?" Nayla hampir tertawa. "Apa kita sekarang jadi pemburu harta karun?"
"Ini bukan peta biasa," kata Arga, menunjuk satu titik kecil di atasnya. "Ini adalah petunjuk terakhir yang diberikan Raka sebelum dia menghilang bertahun-tahun lalu."
"Jadi ini sebenarnya soal harta karun? Aku bercanda tadi!" Nayla membuang pandangan, tapi ada rasa penasaran di wajahnya.
"Lebih dari itu. Kalau ini benar, ini bisa menjelaskan semuanya," kata Arga dengan nada serius.
"Kecuali satu hal," Nayla memotong.
"Apa?"
"Kenapa kau mencoba menciumku tadi," jawab Nayla sambil tersenyum kecil.
Arga memejamkan mata, berusaha menahan tawa kecil yang hampir keluar. "Kau benar-benar tidak akan melupakannya, ya?"
"Tentu saja tidak," Nayla tertawa kecil.
Malam semakin larut—setidaknya menurut jam di dinding, meski waktu terasa tak relevan lagi bagi mereka. Arga dan Nayla bersiap untuk pergi, membawa peta dan kunci itu sebagai petunjuk.
Namun, sebelum mereka bisa melangkah keluar, suara dering ponsel Nayla menghentikan langkah mereka.
"Nomor tak dikenal," gumam Nayla sambil memperlihatkan layar ponselnya pada Arga.
"Angkat," kata Arga pelan.
Nayla menekan tombol hijau, dan suara berat langsung terdengar dari seberang. "Kalian menuju arah yang salah. Pikirkan baik-baik siapa yang paling kalian percaya."
Panggilan terputus begitu saja, meninggalkan keheningan yang menggantung di antara mereka.
"Ini sudah mulai terasa seperti film horor kelas B," komentar Nayla akhirnya, mencoba meringankan suasana.
Arga hanya menatap ponsel di tangan Nayla, matanya penuh kekhawatiran. "Aku rasa ini bukan sekadar permainan lagi."
Sampai di ujung bab, Arga dan Nayla tiba di lokasi yang ditunjukkan peta. Sebuah gudang tua berdiri menjulang di depan mereka, pintunya terkunci rapat.
Arga mengeluarkan kunci kecil dari sakunya, lalu memasukkannya ke lubang kunci. Dengan satu putaran pelan, pintu terbuka, dan suara berderit memenuhi udara.
Di dalam, hanya ada satu meja kecil dengan sebuah amplop di atasnya.
"Kalau ini amplop lagi, aku benar-benar akan gila," kata Nayla sambil memegang kepalanya.
Arga mendekati meja, mengambil amplop itu, dan membukanya. Matanya langsung membesar saat membaca isi kertas di dalamnya.
"Nayla," katanya pelan, suaranya gemetar.
"Apa isinya?" tanya Nayla, mendekat dengan cepat.
Arga menyerahkan kertas itu padanya. Di atasnya tertulis hanya satu kalimat:
"Kau pikir ini sudah berakhir? Tunggu sampai kau tahu siapa aku sebenarnya."