Lilyana Belvania, gadis kecil berusia 7 tahun, memiliki persahabatan erat dengan Melisa, tetangganya. Sering bermain bersama di rumah Melisa, Lily diam-diam kagum pada Ezra, kakak Melisa yang lebih tua. Ketika keluarga Melisa pindah ke luar pulau, Lily sedih kehilangan sahabat dan Ezra. Bertahun-tahun kemudian, saat Lily pindah ke Jakarta untuk kuliah, ia bertemu kembali dengan Melisa di tempat yang tak terduga. Pertemuan ini membangkitkan kenangan lama apakah Lily juga akan dipertemukan kembali dengan Ezra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Yang Berat
Sore itu, Lily tiba di kafe lebih dulu. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia duduk di sudut ruangan, jauh dari pandangan orang lain, mencoba menenangkan dirinya. Tangannya gemetar, tapi ia tahu ini adalah hal yang harus dilakukan.
Tak lama kemudian, Radit muncul. Seperti biasa, senyum lebar menghiasi wajahnya. Dia melambai ke arah Lily dan berjalan mendekat.
"Hey, sayang," sapa Radit sambil duduk di seberang Lily. "Kenapa tiba-tiba ngajak ketemuan? Ada yang mau kamu omongin?"
Lily menatapnya, mencoba meredam rasa sakit di hatinya. "Iya, ada yang mau aku bicarakan," jawab Lily dengan suara yang terdengar lebih tegas dari yang ia kira.
Radit menyandarkan tubuhnya di kursi, mengangkat alis dengan sedikit bingung. "Oke, apa itu?"
Lily menarik napas panjang sebelum mengeluarkan ponselnya. Dia membuka foto yang Ezra kirimkan, lalu meletakkannya di atas meja, menggesernya ke arah Radit. "Aku tahu semuanya, Radit," katanya dengan suara tenang tapi tegas.
Radit mengerutkan kening dan melihat foto di layar. Ekspresinya langsung berubah. "Lily, ini… ini nggak seperti yang kamu pikirkan!" Radit mencoba meraih tangan Lily, tetapi Lily menariknya.
"Sudah cukup, Radit. Aku tahu kamu selama ini memanfaatkan aku, dan sekarang aku tahu kamu juga bermain di belakangku," kata Lily, matanya berkaca-kaca tetapi suaranya tegar. "Aku sudah buta karena cinta, tapi sekarang aku sadar. Hubungan kita harus berakhir."
Radit tampak panik. "Lily, please, biar aku jelasin. Cewek itu nggak berarti apa-apa buat aku. Aku cuma… aku cuma..."
"Jangan bohong lagi, Radit," potong Lily, matanya menatap lurus ke arah Radit, menolak untuk terpengaruh oleh penjelasan apapun. "Aku udah capek, dan aku nggak bisa terus begini. Kamu udah berkali-kali ngecewain aku, dan aku terlalu bodoh untuk melihatnya."
Radit terdiam sejenak, tampaknya menyadari bahwa usahanya untuk membela diri tidak akan mengubah apa pun. Wajahnya tampak frustrasi, tapi dia tahu bahwa Lily tidak akan mundur dari keputusannya.
"Baiklah," katanya akhirnya, dengan suara yang penuh dengan kekalahan. "Kalau itu yang kamu mau."
Lily menunduk sebentar, merasakan kelegaan yang aneh tapi menyakitkan di saat yang bersamaan. Meski hatinya masih sakit, ia tahu bahwa ini adalah langkah yang tepat. "Aku harap kamu bisa belajar dari ini, Radit. Semoga kamu bisa jadi orang yang lebih baik di masa depan."
Radit hanya mengangguk pelan sebelum berdiri dari kursinya. "Aku harap kamu juga bahagia, Lil," katanya dengan suara yang lebih lembut. "Maaf atas semuanya."
Lily hanya mengangguk, terlalu lelah untuk memberikan respon lebih dari itu. Radit berbalik dan meninggalkan kafe, sementara Lily duduk diam sejenak, meresapi momen tersebut.
Air matanya akhirnya jatuh, bukan karena kehilangan Radit, tapi karena rasa lega yang tiba-tiba datang. Selama ini ia terjebak dalam hubungan yang salah, dan sekarang ia bebas. Hatinya masih perih, tapi untuk pertama kalinya, Lily merasa bahwa ia bisa mulai menyembuhkan diri.
Saat Lily kembali ke rumah, Melisa sedang menonton televisi di ruang tamu rumahnya karena di rumah melisa tengah tidak ada orang. Melihat wajah Lily yang tampak letih, Melisa langsung tahu bahwa ada sesuatu yang terjadi.
"Lily, kamu nggak apa-apa?" tanya Melisa penuh perhatian, menurunkan volume televisi.
Lily tersenyum lelah dan duduk di sebelah sahabatnya. "Aku udah mutusin Radit," katanya pelan.
Melisa menatap Lily dengan campuran keheranan dan kekaguman. "Kamu serius? Itu hal besar, Lil."
"Ya," Lily mengangguk. "Aku akhirnya sadar. Radit nggak pernah benar-benar peduli. Dia cuma manfaatin aku."
Melisa merangkul sahabatnya erat. "Aku bangga sama kamu, Lil. Kamu pantas dapat yang jauh lebih baik."
Lily hanya bisa tersenyum dalam pelukan Melisa. Meski hatinya masih sakit, ia tahu bahwa keputusan ini adalah awal dari lembaran baru dalam hidupnya. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja.
***
Malam itu, saat Lily sedang menenangkan dirinya di kamar, sebuah pesan masuk di ponselnya. Itu dari Ezra. Hanya sebuah pesan singkat, tapi cukup untuk membuat Lily merasa hangat di dalam hatinya.
"Aku dengar dari Melisa. Kamu udah mutusin Radit. Aku cuma mau bilang, kamu kuat, Lil. Dan aku selalu ada di sini buat kamu, kapan pun kamu butuh."
Lily tersenyum kecil, membaca pesan itu berulang kali. Hati kecilnya tahu, bahwa mungkin hanya mungkin Ezra adalah orang yang selama ini benar-benar ada untuknya, lebih dari yang ia sadari.
Masa depan masih penuh dengan ketidakpastian, tapi untuk saat ini, Lily merasa cukup dengan dirinya sendiri. Dia telah mengambil keputusan yang tepat, dan dia siap untuk menyembuhkan diri serta membuka lembaran baru dalam hidupnya.
Sudah beberapa hari sejak Lily memutuskan hubungannya dengan Radit, tapi perasaan galau masih menyelimuti hatinya. Setiap kali ia mencoba mengalihkan pikiran, entah dengan menonton drama atau membaca buku, bayangan Radit dan semua kenangan bersama terus saja muncul. Lily tahu, keputusannya sudah benar, namun perasaan hatinya tak bisa begitu saja dilupakan.
Di sisi lain, Melisa mulai pusing melihat keadaan sahabatnya yang terus larut dalam kegalauan. Mereka sudah sering membicarakan tentang Radit, tentang keputusan Lily, dan tentang masa depan, tetapi tetap saja suasana hati Lily tak kunjung membaik.
Siang itu, mereka berdua duduk di kamar Lily. Melisa sedang sibuk menatap layar ponselnya, mengabaikan drama yang sedang diputar di TV. Sementara itu, Lily hanya duduk termenung, memainkan ujung rambutnya dengan ekspresi kosong.
"Lily, kamu nggak bisa terus begini, lho," ujar Melisa, meletakkan ponselnya dan memandang sahabatnya yang tampak hilang di pikirannya sendiri. "Kamu udah mutusin Radit, kamu udah kuat banget ngelakuin itu. Tapi sekarang kamu malah bikin aku pusing liat kamu nggak move on."
Lily menghela napas panjang, memeluk bantal di dadanya. "Aku tahu, Mel. Tapi... perasaanku masih campur aduk. Aku ngerasa lega karena udah keluar dari hubungan toxic itu, tapi aku juga kangen masa-masa awal sama Radit, yang seru, yang bikin hati berdebar."
Melisa mendengus, jelas-jelas jengah dengan apa yang didengarnya. "Masa-masa awal itu, Lil, cuma topengnya Radit. Kamu tahu itu. Semua cowok pasti manis di awal hubungan. Tapi liat aja kelakuan dia di akhir-akhir, udah minta kamu ngerjain tugasnya, ngebiarin kamu terbengkalai, belum lagi dia ketahuan sama cewek lain!"
Lily menunduk, meremas bantal yang ia peluk erat. "Aku tahu semua itu, tapi tetap aja rasanya sakit, Mel."
Melisa mengangguk, memahami. Meski ia kadang kesal dengan Lily yang masih mengingat Radit, ia tahu proses penyembuhan hati memang butuh waktu. "Ya, aku ngerti sih. Tapi kamu nggak boleh terus larut dalam rasa sakit itu. Ada hidup yang harus dijalani, Lil."
Lily tersenyum tipis, tapi matanya masih tampak sedih. "Mungkin aku cuma butuh waktu."
Lily cpt move on syg, jgn brlarut larut dlm kesdihan bgkitlh fokus dgn kuliamu. aku do'akn smoga secepatnya tuhan mngirim laki" yg mncintai kmu dgn tulus. up lgi thor byk" 😍💪