Binar jatuh cinta pada kakak kelasnya sudah sangat lama, namun ketika ia merasa cintanya mulai terbalas, ada saja tingkah lelaki itu yang membuatnya naik darah atau bahkan mempertanyakan kembali perasaan itu.
Walau mereka pada kenyataannya kembali dekat, entah kenapa ia merasa bahwa Cakra tetap menjaga jarak darinya, hingga ia bertanya dan terus bertanya ..., Apa benar Cakrawala juga merasakan perasaan yang sama dengannya?
"Jika pada awalnya kita hanya dua orang asing yang bukan siapa-siapa, apa salahnya kembali ke awal dimana semua cukup baik dengan itu saja?"
Haruskah Binar bertahan demi membayar penantian? Atau menyerah dan menerima keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon And_waeyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23. Pelukan Singkat
Tarik napas, hembuskan, tarik napas, hembuskan.
Binar terus melakukan itu berulang-ulang selama beberapa saat. Ia sedang berada di depan pintu rumah Cakra, tapi masih ragu untuk masuk ke dalam. Karena tadi ia membantu sang mami membuat tiramisu, Binar berniat membagi sebagian jerih payahnya dengan sang mami untuk Cakra. Ya, meski baru pertama kali ... kepala pelayan bilang tiramisunya masih bisa dimakan. Itu pun juga berkat bantuan salah satu asisten rumah tangga di rumahnya.
Jangan tanya keadaan dapur. Mereka yang membuat berantakan. Tapi yang membereskan tentu saja para maid. Menurut papinya juga, tiramisu ini lebih enak dari makanan-makanan yang sebelumnya pernah dibuat sang mami.
Tentu hal itu membuat maminya senang, dan berniat ingin mendirikan toko kue sampai bercabang-cabang. Meski papi Binar tentu saja tak setuju.
Binar ikut saja, terserah maminya. Ia juga sudah mandi lagi dan mengganti baju mengingat tadi bajunya terkena adonan, dan ia juga berkeringat.
Gadis itu kini menekan dua kali bel yang berada di dekat pintu. Ia menunggu beberapa saat, sampai kemudian ada yang membuka pintu di depannya. Binar tersenyum pada salah satu maid di rumah Cakra itu. Ia tidak begitu mengenalnya, namun pernah sesekali bertegur sapa ketika ia dan Cakra masih sering bermain bersama.
"Iya, ada apa?"
"Kak Cakranya ada?"
"Oh. Den Cakra? Ayo Non nya masuk dulu," kata pelayan yang bernama mbak Yulia.
Binar memasuki rumah itu. Ia mengedarkan pandangan. Mbak Yulia menutup pintu.
"Den Cakra mungkin ada di kamarnya, Non mau ke sana aja?"
Gadis itu jadi tersenyum meringis. "Nggak papa? Tapi aku nggak tahu dimana---"
"Mbak, itu siapa?"
Suara seseorang menginterupsi percakapan keduanya. Membuat Binar dan mbak Yulia sama-sama menoleh.
"Nyonya, Non ini mau ketemu sama Den Cakra," kata mbak Yulia.
Binar mengernyitkan kening sesaat. Ia tahu jika itu adalah mama tirinya Cakra, tapi ia tak pernah bertegur sapa sebelumnya. Ia bisa melihat kernyitan samar di dahi wanita itu.
"Kamu siapa?" tanyanya.
Binar bingung sendiri mau jawab apa. Ia memang pacar Cakra. Tapi apa nanti tanggapan wanita di depannya ini jika mengetahui ia pacar Cakra?
"Aku ... temannya kak Cakra," kata Binar akhirnya
Wanita itu mengangkat alis sesaat. Ia menatap mbak Yulia.
"Mbak kembali aja ya lanjutin pekerjaan," katanya.
Mbak Yulia mengangguk meninggalkan sang majikan bersama Binar. Hal itu membuat Binar kelabakan sendiri dalam hati.
"Sebelumnya saya nggak pernah lihat kamu. Cakra nggak pernah bawa teman perempuannya ke rumah. Kamu juga perempuan pertama yang saya lihat mengunjungi rumah ini untuk bertemu Cakra."
Binar menelan ludah. Ia tersenyum tipis, mendadak jadi bingung sendiri. Apalagi Binar pikir, aura wanita di depannya ini seperti tokoh-tokoh antagonis ibu tiri dalam film.
Kemudian, tawa pelan keluar dari mulut wanita itu, membuat Binar mengernyitkan kening.
"Kamu jangan tegang gitu. Saya nggak bakal gigit kok."
Binar diam-diam menghela napas lega di sela senyuman yang ia terbitkan.
"Ada perlu apa sama Cakra?" tanya wanita itu ramah.
"Ng ... saya mau ngasih ini," ucap Binar sambil sedikit mengangkat sesaat keranjang berisi tiramisu yang ia pegang.
"Cuma buat Cakra aja?"
Binar malah tersenyum meringis, bingung harus bereaksi apa. Ia tidak membawa untuk anggota keluarga Cakra yang lain. Ia kira mereka tak akan ada di rumah, dan ... karena ini baru percobaan pertama. Jadi takutnya tidak enak di lidah mereka.
"Ya udah. Cakra ada di kamarnya, kamu ke sana aja ya."
Binar tersenyum. "Tapi Tante, aku nggak tahu di mana kamar kak Cakra."
"Oh ya? Kalau gitu tante antar aja ya."
"Makasih Tante, maaf aku bikin repot." Binar tersenyum tak enak.
"Nggak papa, jarang-jarang kok saya direpotin."
"Ha?"
Wanita itu kembali tertawa. "Bercanda."
Binar ikut tertawa pelan juga. Entah menertawakan apa.
"Ayo."
Mereka berdua mulai melangkah bersama. Binar hanya diam sambil menunduk menatap jalan. Canggung juga jalan bersama mama tirinya Cakra.
"Kamu benar-benar temannya Cakra?" Wanita itu kembali bertanya.
Binar mengangguk ragu. "I ... ya."
"Yakin? Teman apa teman?"
Gadis itu bisa mendengar nada menggoda dari wanita di sampingnya.
"Saya nggak suka sama orang yang bohong loh."
"Ha?" Binar langsung menolehkan kepala pada perempuan itu.
"A-aku---"
Tawa yang lebih lepas keluar dari wanita itu. "Kamu tegang gitu, santai aja. Lagian saya cuma bercanda. Ya, saya cukup paham dengan kata yang maksud kamu 'teman'. Kalau Cakra bilang kamu cuma temannya gimana ya?" katanya sambil tersenyum.
Kedua pipi Binar memerah karena itu. Membuat Laras yang melihatnya diam-diam merasa gemas. Mereka mulai memasuki lift.
"Oh iya, panggil saya tante Laras."
"Iya, Tante Laras."
"Rumah kamu di mana?"
"Di perumahan ini juga kok. Sebelah kiri dari rumah di depan rumah ini."
Kedua mata Laras membulat sesaat. "Oh ya? Tapi tante nggak pernah lihat kamu loh."
"Aku memang jarang keluar."
"Oh pantas. Kapan-kapan main ke sini, tante juga punya anak perempuan. Dia masih SMP, kalian pasti bakal cocok."
Binar mengangguk sambil tersenyum.
Lift berhenti dan pintu terbuka. "Kamar Cakra ruangan kedua dari sini. Kamu ke sana ya."
"Sendiri?"
"Iya. Masa mau tante temenin sampai sana? Nanti ganggu dong."
Binar tersenyum meringis untuk ke sekian kali. "Kalau gitu, aku ... ke sana."
Wanita itu mengangguk. Kemudian menyentuh tombol lift hingga pintu itu kembali bergerak tertutup.
Sementara itu, Binar berbalik setelahnya. Ia menghela napas panjang, lalu mulai melangkahkan kaki.
Gadis itu mengetuk pintu kamar setelah berada di depan kamar yang tadi ditunjukkan Laras.
"Permisi, Kak Cakra?" ucap Binar di sela-sela mengetuk pintu.
Tidak ada jawaban. Ia agak mencondongkan tubuh dan menempelkan telinga kirinya ke pintu. Kening Binar mengernyit mendengar sebuah lagu yang cukup familier berputar di dalam sana.
Ia memundurkan lagi tubuhnya. "Kak Cakra?"
Tok tok tok
"Hei."
Binar terlonjak kaget ketika ada yang menepuk pundaknya. Untung saja kuenya tidak jatuh. Ia refleks membalikkan tubuh untuk melihat si pelaku.
"Lo siapa?" tanya cewek itu.
Binar masih dalam mode kagetnya. Ia mengerjap beberapa kali.
"Gue---"
Pintu di belakang tubuh Binar terbuka. Gadis yang baru Binar temui menatap ke belakang tubuhnya dan Binar langsung membalikkan tubuh.
Cakra melonggokkan kepala, ia mengernyitkan kening melihat Binar berada di depan pintu kamarnya.
"Bi? Kenapa lo ada di sini?"
"A-ah? Aku bawa ini buat Kak Cakra. Ini pertama kalinya aku buat sama mami aku." Binar tidak berbohong karena ia memang membuatnya bersama sang mami.
Walau kesannya seperti ia yang lebih banyak berusaha keras. Padahal ia hanya membantu sedikit dan selebihnya bantu merecoki sambil nge-vlog.
"Oh?" Cakra mengangkat alis.
Namun tatapannya jadi beralih pada orang di belakang Binar, membuat Binar juga mengikuti arah pandang Cakra.
"Ngapain lo di sini?"
Lavanya jadi menunjuk dirinya sendiri. "Aku?"
Cakra sepenuhnya keluar dari kamar, ia menutup pintu kamarnya lalu bersedekap dada.
"A-aku, aku cuma mau tahu ... dia siapa," kata Lavanya sambil menunjuk kecil ke arah Binar sesaat.
Lelaki itu menghela napas pelan. "Namanya Binar. Bi, dia Lavanya."
Kedua gadis itu berpandangan. Lavanya mengulurkan tangan lebih dulu.
"Adiknya kak Cakra."
"Tiri," ralat lelaki itu membuat air muka Lavanya berubah sedikit.
Binar balas menjabat tangan Lavanya. "Binar, umh ...." gadis itu melirik pada Cakra sesaat.
"Pacar kak Cakra."
Kedua mata Lavanya membulat. "Pacar?"
Ia dan Lavanya sudah tak berjabat tangan lagi.
"Udah kan?" Cakra bersuara.
Lavanya menoleh pada lelaki itu. Ia paham maksudnya. "Kalau gitu, aku ke kamar dulu ya."
Gadis itu berbalik dan melangkah pergi.
"Thanks."
Binar yang sedang menatap kepergian Lavanya langsung berbalik. Ia menatap Cakra yang baru saja mengambil wadah keranjang dari tangan Binar.
Detik berikutnya, Binar tersenyum tipis sambil menunduk. Ia memain-mainkan jarinya.
"Kak Cakra, apa kabar?"
"Baik."
"Sibuk banget ya?" tanya Binar.
"Selalu."
Binar menghela napas kecewa.
"Kenapa?" tanya Cakra.
"Nggak papa. Aku ganggu dong?"
"Nggak juga."
Binar ingin lebih lama mengobrol, tapi melihat ekspresi Cakra dan bagaimana lelaki itu menanggapi setiap obrolannya, yang sepertinya sangat malas, ia tersenyum getir.
"Aku pulang deh."
"Oke, hati-hati."
Cakra membiarkannya pulang begitu saja? Binar berharap ia ditahan. Mau tak mau Binar kini menghadap kanan, melangkah ragu setelah sebelumnya ia tersenyum tipis pada lelaki itu.
Namun, baru saja satu langkah. Binar berhenti, membuat kening Cakra mengernyit. Selanjutnya, gadis itu membalikkan tubuh dan memeluk lelaki itu.
"Maaf karena aku udah lancang gini. Aku kangen banget sama Kak Cakra," ucapnya pelan.
Cakra terdiam beberapa saat, ia sebenarnya cukup kaget. Ketika sadar, ia meletakan dagunya di atas kepala Binar, namun tak balas memeluknya.
Beberapa saat kemudian, Binar melepas pelukannya. Ia tak berani menatap Cakra.
"Aku pulang ya, sampai jumpa lagi," katanya lalu berbalik dan melangkah pergi.
Cakra mengernyit sesaat, ia menaikkan kedua sudut bibirnya melihat itu. Kemudian, kembali masuk ke kamarnya setelah Binar memasuki lift.
Sementara Binar, kini mengipasi wajahnya yang terasa memanas. Ia merutuk kenapa bisa seberani itu. Detak jantungnya ikut bertalu lebih cepat. Binar sangat malu tapi juga senang.
Ia sibuk mencoba menenangkan detak jantungnya yang menggila sampai tak terasa lift sudah berhenti. Pintunya terbuka, Binar yang baru saja akan keluar jadi menghentikan langkah melihat seorang pria yang juga terdiam dengan kening mengernyit, ia juga tak jadi melangkah melihat keberadaannya.
"Binar?"
"Om Asgar?"