WARNING ⚠️
Mengandung beberapa adegan kekerasan yang mungkin dapat memicu atau menimbulkan rasa tidak nyaman bagi sebagian pembaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eva, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23>>Annehmen
Annehmen
***
Pyaarr
"Omo!!!"
"Handphone gue pecah!!" teriak seorang laki-laki menggelegar memenuhi isi kamarnya.
Ia menatap nanar ke arah ponsel yang sudah retak parah layarnya.
"Sungguh malang nasibmu, Nak!" ujarnya mendramatisir. Laki-laki tersebut langsung berjongkok dengan tangan melipat di atas kedua lututnya.
Beberapa detik kemudian ia meraih ponsel tersebut dengan pandangan iba.
Tak lama layar ponsel itu kembali menyala dengan menampilkan sebuah nama seseorang yang meneleponnya.
"Anjir! Serem banget kalo nama dia yang langsung muncul," monolognya sambil bergidik.
Laki-laki tersebut belum juga menjawab panggilan dari orang itu. Ia hanya melihat tanpa berniat mengangkat teleponnya.
Hal beberapa detik yang lalu terulang kembali. Si penelepon yang dinamainya dengan Ravenanjing kembali terlihat di layar ponselnya yang pecah.
"Mampus gue. Jangan-jangan Degem udah kasih tau ke Raven soal yang gue ceritain tadi," gumamnya dengan panik.
Nama Ravenanjing di ponselnya kembali muncul. Mau tidak mau ia mengangkatnya.
"Selamat sore tuan Ag--"
"Aza udah lo antar pulang?" Suara seseorang di seberang sana langsung memotong ucapannya.
Laki-laki yang diketahui bernama lengkap Galva Alfane itu langsung menghela napas lega, itu tandanya Agraven belum pulang dan berarti Aza belum mengatakan sesuatu kepada Agraven.
"Tentu saja sudah, Tuan," jawab Galva tersenyum paksa. Namun, tangannya seakan-akan ingin meninju ke arah ponselnya yang menampilkan nama Ravenanjing.
"Lecet nggak?"
"Nggak ada yang lecet! Degem pulang dengan selamat sentosa, masih mulus nggak ada yang lecet!" jawab Galva sedikit sewot.
"Cuma kegores dikit--"
"Fuck!"
"Elah, becanda doang, Rav, panik amat," balas Galva cepat.
"Awas jika kalau sampai ada yang lecet di tubuh
Aza. Sampai itu terjadi... wajah lo gue bikin becek pakai darah!" ancam Agraven tajam.
"Nggak tau terimakasih makhluk satu ini." Galva hanya bisa membatin.
"Buset! Posesif amat lo sama pacar orang," cibir Galva. Nyatanya hanya itu yang berani ia lontarkan.
Tuut
Sambungan terputus. Si penelepon langsung mematikan sepihak sambungan telepon.
"Bringsik si Raven! harusnya gue yang matiin secara sepihak! biar keren gitu," umpat Galva sambil misuh-misuh.
***
"Za!!"
"Azananta!"
Jika seseorang memanggil nama Azalea dengan panggilan Azananta sudah jelas siapa orangnya. Siapa lagi kalau bukan Agraven Kasalvori.
Seorang wanita paruh baya berlari tergopoh-gopoh untuk menyambut majikan rumah yang baru datang.
"Non Aza ada di dapur, Tuan, tadi saya sudah berusaha mencegahnya, tapi Non Aza nggak mau nurut, Tuan," adu wanita itu.
"Ngapain?"
"I-itu, Non A-Aza bantuin ma-masak--"
"Fuck!" umpat Agraven. Ia langsung berlalu dengan langkah cepat menuju dapur, di mana Aza berada.
"Aza!"
Sang empu nama yang merasa terpanggil langsung menoleh ke sumber suara yang memanggilnya. "K-kak Gagak?"
"Ikut saya!" Agraven menarik tangan Aza untuk ikut dengannya.
"Tapi--"
"Nggak ada tapi-tapian. Setelah ini jangan menginjakkan kaki ke dapur, atau kaki kamu saya...." Agraven langsung menghentikan perkataannya.
"Apa, Kak?"
"Enggak."
Kening Aza berkerut akibat bingung, tapi ia masih berusia mengimbangi langkah jenjang Agraven.
Melihat Aza yang susah mengikuti jalannya, Agraven memperlambat jalannya. Ia menoleh ke samping, di mana sudah Aza di sampingnya.
"Galva ada buat macam-macam?"
"Hah? E-enggak, Kak. Dia baik, kok. Ramah juga, selalu jawab apa yang Aza tanyakan, lucu, selalu bikin ketawa, terus--"
"Cukup!" Kuping Agraven terasa panas saat mendengar Aza memuji Galva.
Cemburu?
"Kenapa? Tadi kamu nanya, Kak. Tentu saja Aza jawab--"
"Sekarang udah mulai cerewet, hm?" Agraven mendekatkan wajahnya ke arah Aza. Refleks perempuan itu mundur.
"A-apa? Aza nggak cerewet kok," bela Aza sedikit salah tingkah.
"Terus apa? Bawel, hm?"
"Nggak takut lagi?" lanjutnya.
Perlahan Aza menggeleng. "Sahabat kamu udah cerita banyak sama Aza tentang kamu, Kak Gagak," jawab Aza mulai tersenyum.
Agraven merasa takjub melihat senyuman itu. Senyuman yang sangat menenangkan untuk pertama kalinya ia lihat dari bibir seseorang.
Tangan Agraven terangkat untuk mengacak-acak rambut Aza, kemudian berpindah untuk merangkul bahu Aza. Ia membawa perempuan itu ke sebuah ruangan yang belum pernah Aza masuki sebelumnya.
"I-ini ruangan ap--waaah! Ini keren banget!" teriak Aza dengan sangat antusias saat ruangan itu terbuka.
Aza kira ruangan itu penuh dengan alat-alat mengerikan seperti pisau-pisau tajam, kapak, gergaji dan sejenisnya yang ia bayangkan. Namun, kenyataan sangat jauh dari ekspektasinya.
Ruangan dengan buku-buku berjejer di lemari yang besar dan tersusun rapi.
Tidak hanya itu, hal yang membuat Aza semakin takjub adalah, dinding dan atap ruangan itu sebagian terbuat dari kaca transparan. Ia dapat melihat langit yang mulai berubah warna jingga, dan tepat di hadapannya terlihat hamparan hijau dan dua pohon yang cukup rimbun. Aza sudah membayangkan bagaimana ia duduk di bawah pohon itu sambil menulis curahan hatinya ke dalam diary kesayangannya.
"Suka?" Aza langsung terkejut mendengar suara Agraven yang memecahkan lamunan indahnya.
"Suka banget, Kak! Ini ruangan kamu, Kak?"
"Mau?" Bukannya menjawab, Agraven justru bertanya.
"Mau apa?"
"Mau milikin ruangan ini?"
"Mau banget!" jawab Aza berbinar.
Agraven terkekeh. Tangannya refleks mengacak gemas puncak kepala Aza.
"Nikah dulu, setelah itu ... semua yang saya punya menjadi milik kamu."
Aza langsung cemberut. Namun, itu hanya beberapa detik, setelah itu senyuman indah langsung terbit di bibir Aza.
"Oke, siapa takut!"
Mulut Agraven sedikit terbuka mendengar jawaban Aza yang jauh dari dugaannya.
Perempuan tersebut tertawa melihat wajah terkejut yang ditunjukkan Agraven saat mendengar jawabannya.
"Kamu nggak kerasukan setan Galva, 'kan?" tanya Agraven untuk memastikan.
Aza lantas memberengut. "Berkat kak Galva ... Aza mau," cibirnya.
Agraven menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Percayalah, Aza sedikit merinding melihat Agraven yang sekarang. Cowok itu terbiasa dengan wajah kejam, tajam, sinisnya, tapi kali ini Agraven seperti cowok yang dibuat salting oleh pacarnya. Sangat lucu, pikir Aza.
"Tapi Aza punya satu syarat sebelum menikah," ungkap Aza.
"Syarat? Apa?"
"Izinkan Aza bertemu dengan Vanna dan Afka, Aza mau kasih tau mereka. Aza nggak mau bikin mereka khawatir, pasti selama Aza di sini, mereka selalu mencari Aza," mohon Aza memelas.
Agraven nampak berpikir. Beberapa saat setelah itu ia mengangguk. "Oke."
Mendengar itu Aza refleks memeluk pinggang Agraven. "Huaaa terima kasih Kak Gagak!"
Agraven seketika menegang akibat tindakan Aza yang tiba-tiba. Tak urung ia tersenyum. Tangannya membalas pelukan Aza sambil mengusap rambut perempuan itu.
Aza langsung tersadar saat merasakan rambutnya diusap. Ia langsung melepaskan pelukannya dengan salah tingkah.
"M-maaf, Kak. Aza nggak bermaksud lancang--" Ucapan Aza langsung terhenti saat Agraven kembali memeluknya.
"Galva ngomong apa aja, hm?" bisik Agraven.
Aza hanya diam. Agraven melepas pelukannya. Ia menatap Aza dengan alis terangkat.
"Kak Agra suka ngupil, ya?"
Mata Agraven mendelik tajam saat mendengar pertanyaan yang terlontar begitu saja dari bibir Aza. "Siapa bilang?"
"Banggal," jawab Aza dengan polos.
"Banggal siapa?"
"Bang Galva."
"Damn!" umpat Agraven. "Besok kepalanya harus dipenggal!" sambungnya lagi.
"Nggak tau terimakasih," cibir Aza. Untung Agraven tidak mendengarnya.
"Apalagi yang Galva bilang?"
"Rahasia," jawab Aza tersenyum misterius.
"Semua yang Galva bilang itu bohong, dia lagi mendeskripsikan dirinya sendiri, bukan sosok saya, Za," balas Agraven. Tangannya menuntun Aza untuk mendekat ke arah dinding transparan yang menyuguhkan pemandangan yang menenangkan di luar sana.
"Berarti kamu yang serius sama Aza itu bohong, terus tentang kamu yang aslinya baik itu juga bohong, lalu tentang kamu yang kata Banggal paling tampan, kaya--"
"Itu benar!" potong Agraven cepat.
Sial!
Ia bingung harus apa kepada Galva. Satu sisi ia harus berterimakasih karena Galva telah meyakinkan Aza untuk percaya kepadanya, di satu sisi lagi Galva memperburuk imagenya di depan Aza.
"Anak setan!" batin Agraven.
"Tadi katanya semua yang Banggal bilang semuanya kebohongan, terus--"
"Semua yang jelek itu bohong," pungkas Agraven.
"Galva bilang apa lagi?" lanjut Agraven.
"Rahasia."
***
"Dasar anak setan lo Ariana grandong!!" Suara Vanna memenuhi keridor fakultas hukum.
"Apasih lo bocah tengil!" balas gadis bernama Ariana.
"Bocah-bocah! Lo yang bocah! Udah tua masih aja kek bocah nyoret-nyoret meja gue!" balas Vanna. Sekarang ia sudah berada di hadapan Ariana sambil berkecak pinggang.
"Lo jangan asal nuduh, ya! Kurang kerjaan banget gue jauh-jauh ke kelas lo cuma buat nyoret-nyoret meja, iieeewww! Kampungan tau nggak!" balasnya sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Vanna.
"Hih! Uyebelin banget lo nenek lampir! Nih, rasain!"
Bruk
Sekali senggolan dari bahu Vanna ke bahu Ariana, sudah berhasil menyebabkan Ariana tersungkur di lantai. Maklum, Ariana itu sangat kurus, tetapi tinggi.
"Senggol doang langsung terbang!" sindir Vanna tertawa.
"Bangsat! Awas lo!"
"Wleeee ...." Vanna memeletkan lidahnya ke arah Ariana bermaksud mengejek. Setelah itu ia langsung kabur.
Bruk
"Adooh pantat seksi gue," ringis Vanna terjerembab di lantai. Ia baru saja menabrak sesuatu yang keras tapi empuk.
Apa, tuh?
Vanna mendongak. Matanya melotot. Sepertinya ia baru saja menabrak dada bidang seseorang.
"Mati aja, lo. Karma, nih, pasti!" batin Vanna merutuki dirinya.
"Masih betah duduk di situ?" celetuk orang yang Vanna tabrak.
Mendengar itu Vanna langsung berdiri.
"Lo ngapain berdiri di tengah jalan? Jadi nabrak, kan, gue!" ketus Vanna membela diri. Biar tidak terlalu nampak malunya, pikir Vanna.
"Lo yang kenapa lari-lari mengahadap ke belakang?"
"Simulasi jadi kepiting!" jawab Vanna asal
"Kepiting jalannya kesamping, bukan menghadap ke belakang!" koreksi orang itu.
"Ih, ngeselin--"
"VANNA!"
Vanna dan orang itu refleks menoleh ke arah suara.
"AZA!"
"DEGEM!"
•
•
•
To be continue....