Penasaran dengan kisahnya yuk lansung aja kita baca....
Yuk ramaikan...
Sebelum lanjut membaca jangan lupa follow, like, subscribe , gife, vote and komen yah....
Teruntuk yang sudah membaca lanjut terus, dan untuk yang belum hayuk segera merapat dan langsung aja ke cerita nya....
Selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
"Aku tau, kamu hobi makan ."
Keduanya tertawa renyah bersamaan dengan Arumi yang meraih cadarnya untuk dikenakan.
"Tunggu dulu," cegah Aris menahan tangan istrinya.
"Kenapa, Mas?" tanya Arumi heran.
Aris tak menjawab. Ia malah meraup wajah wanitanya, membingkai hingga mereka saling memandang.
"Ada apa sih, Mas?"
Arumi masih belum bisa menebak keinginan suaminya. Tiba-tiba, wajah Aris merunduk, melumat pelan bibir ranum berlipstik natural. Hati Arumi berdesir hangat mendapat perlakuan romantis. Meski bukan yang pertama kali, debaran di dada keduanya cukup kuat. Arumi sampai merasakan detak jantung Aris yang menempel di lengannya.
Aris mengakhiri aksinya setelah dirasa cukup. Ia menjauhkan wajahnya dari Arumi, lalu memerintahkan istrinya mengenakan cadar. Keduanya keluar dari ruang kerja disambut oleh tatapan mata beberapa karyawan. Mereka memandang heran pada diri Arumi.
Aris meraih jemari Arumi, menggenggam tangan wanita itu seakan-akan menunjukkan pada dunia bahwa wanita yang mengiringi langkahnya adalah milik dirinya.
Arumi dibuat tercengang sekaligus bahagia. Akhirnya Aris menunjukkan bukti kesungguhannya. Ia tersenyum, bahkan mengeratkan tangannya hingga Aris pun menoleh padanya. Mereka sama-sama melempar senyum. Sepasang insan itu menjadi pusat perhatian orang-orang seisi kantor Aris mengantarkan Arumi sampai di lift. Dirinya melepas tangannya dan Arumi masuk. Mereka saling memandangi dari ruang yang berbeda.
"Assalamualaikum ...," ucap Arumi.
"Waalaikumsalam."
Pertemuan berakhir tatkala pintu lift menjadi pemisah. Aris masih menghadap pintu itu hingga bergerak turun.
Sementara itu, di dalam lift Arumi senyum-senyum sendiri. Terkenang pada sikap ajaib Aris yang memperlakukannya dengan romantis. Namun, senyumnya tiba-tiba lebur ketika membayangkan kebersamaan sang suami dengan mantan kekasihnya. Keakraban mereka memantik hawa panas yang mengaliri dada. Arumi cemburu.
Pintu terbuka. Ia melangkah melewati resepsionis, lalu aku menuju lobi utama kantor mewah itu. Saat melintas di sana, ia berpapasan dengan Johan, sekuriti yang membantunya menemukan ruang kerja Aris.
Arumi menghentikan langkah di sisi kanan lobi, agak menyingkir ke bagian sudut karena harus menunggu taksi yang ia pesan. Saat itulah, tanpa disadari ada seorang wanita berdiri menjajarinya. Ia pikir adalah salah satu karyawati kantor itu. Namun, wanita itu berdeham keras. Arumi pun menoleh. Maka, tampak jelaslah bahwa diri seseorang yang memang sengaja membersamainya. Dialah Salma.
"Salam kenal." Salma memberi jeda. Saat itulah Arumi memberikan anggukkan, pertanda menerima salamnya. "
Bukankah kamu yang diakui Aris sebagai istrinya?"
Arumi merasakan aroma ketidaksenangan dari kalimat tanya yang ditujukan kepadanya.
"Ya. Nama saya Arumi." Meskipun begitu, Arumi menjawab juga.
"Kamu mengenalku, Arumi?" Salma bertanya tanpa menoleh. Pandangannya tetap lurus.
"Ya, Mas Aris sudah mengenalkan diri Anda sebagai teman lama."
"Teman lama?" Salma tertawa singkat. "Aku rasa, Aris salah memberi informasi."
"Barangkali benar. Mungkin karena Mas Aris menghargai perasaan saya."
Arumi menjawabnya dengan tenang.
"Namaku Salma. Kamu boleh tanya pada seluruh teman-teman Aris. Mereka semua tidak ada yang tidak mengenalku. Aku mantan pacarnya." Barulah Salma menoleh. Namun, Salma mendapati Arumi yang tetap tenang. Bahkan tanpa menoleh padanya.
"Kamu nggak penasaran?" Salma melontarkan tanya.
"Maaf, saya tidak tau apa-apa tentang masa lalu mas Aris."
"Jangan pura-pura nggak paham. Saya tau, kamu cukup peka menilainya. Aris itu butuh seseorang yang bisa mensupport, bukan merintangi ."
"Maksud Anda?"
"Lihat penampilanmu. Apa kamu nggak sadar kalau kamu bisa menjadi penghalang untuk kariernya?"
"Dari mana tau kalau kehadiran saya hanya menjadi rintangan bagi Mas Aris?"
"Ayolah, Arumi. Jangan pura-pura bodoh. Kamu tau lingkungan seperti apa tempat
kerja dan pergaulan suamimu.Dia orang yang humble, care dengan banyak orang. Setelah
menikah denganmu, dia mulai membatasi diri. Bahkan ngumpul dengan teman-temannya sekadar karaoke sudah tidak pernah lagi. Apalagi kalau bukan karena kamu. Dan kamu pastinya tau kalau hubungan Aris dengan klien pastinya juga bakal terpengaruh. Iya apa iya?"
Salma merentangkan tangan ke depan, kemudian berputar hingga menghadap Arumi yang hanya terdiam.
"Kenapa kamu tidak mengakhirinya saja? Itu akan lebih mudah meringankannya langkah kakimu."
Arumi tersenyum walaupun ia tahu, Salma tidak mungkin melihat senyumnya. Ia menggeser kaki agar dapat berhadapan dengan Salma, sama seperti wanita itu yang kini sedang menatapnya.
"Kami baru saja memulai, dan Anda menyuruh saya mengakhirinya?"
"Aris tidak mungkin segampang itu menyerahkan hati pada wanita yang tidak masuk dalam kriterianya."
"Kami menjalani hubungan yang halal, yang Anda sendiri saya yakin belum memahaminya. Hubungan kami sangatlah dekat, tanpa sekat dan tidak berjarak. Kami bukan pasangan kekasih, yang segala bentuk kedekatan pasti melewati pertimbangan. Tapi kami tidak. Kami pasangan suami-istri yang bebas melakukan apa saja. Jangan lupa mengingat bahwa, ada ikatan yang sangat jelas antara saya dengan Mas Aris. Begitu juga dengan kalian, ada jarak yang sangat jelas menjadi pemisah kedekatan kalian."
Sebuah mobil berhenti tak jauh dari posisi Arumi berdiri, mobil yang sama yang membawanya ketika datang ke kantor itu.
"Maaf, saya harus pergi. Assalamualaikum ...."
Arumi beranjak meninggalkan Salma. Mobil itu membawanya menjauhi wanita yang masih berdiri mematung menatap kepergiannya.
Salma berkacak pinggang setelah kepergian rivalnya.
Perkataan Arumi baru saja memukul telak di dadanya.
"Ahh ... sial banget sih!"
**
Di ruangan yang lain, Aris menarik sebuah map dari atas meja.
"Sudah selesai, Pak?" tanya Aris pada Wijaya, pria yang sering dirinya, Nijar dan Evan sebut sebagai bos besar di kantor itu.
"Sudah cukup. Saya enak membaca hasil print langsung seperti ini daripada membacanya di laptop. Kepala saya pusing, mata saya sakit," aku Wijaya, pria empat puluh tahun itu sambil membuka kacamatanya.
"Ya, Pak. Saya hampir lupa meletakkan laporan itu. Untung pak Nijar masih menyimpannya. Maaf, Pak, apa masih ada yang harus saya lakukan setelah ini?" tanya Aris. Sudah satu jam ia ada di dalam ruangan atasannya. Hal itu membuatnya jenuh.
"Kamu boleh keluar. Tapi sebentar dulu. Ada sesuatu yang mau saya sampaikan ke kamu juga istrimu."
"Istri saya?"
Wijaya meraih tas kerjanya, mencari-cari sesuatu lalu setelah menemukannya, ia menyerahkan selembar kertas yang ternyata sebuah undangan.