Rasa bersalah karena sang adik membuat seorang pria kehilangan penglihatan, Airi rela menikahi pria buta tersebut dan menjadi mata untuknya. Menjalani hari yang tidak mudah karena pernikahan tersebut tak didasari oleh cinta.
Jangan pernah berharap aku akan memperlakukanmu seperti istri, karena bagiku, kau hanya mata pengganti disaat aku buta - White.
Andai saja bisa, aku rela memberikan mataku untukmu - Airi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12
White sudah duduk dimeja makan, begitupun dengan Airi yang sudah siap mengambilkan dia makanan dan menaruh dihadapannya. Air, sengaja Airi tak meletakkannya didekat White karena beberapa kali kejadian tak sengaja tersenggol tangan lalu tumpah. Dia baru akan menyodorkan saat White meminta minum.
White mencecap makanan dimulutnya, rasanya beda, tak seperti masakan Airi biasanya.
"Kamu gak masak?" tanya White.
"Kok tahu?"
"Rasanya beda."
"Kayak restoran bintang lima ya?" goda Airi. "Tadi aku bangun kesiangan, terus dikulkas bahan makanan pada habis, jadi delivery order. Kalau Abang suka, mulai besok aku gak usah masak, aku pesankan saja."
"Kamu masak saja."
"Cie....udah candu sama masakan istri ya?" Airi menggodanya sambil cekikikan.
"Gak usah ge er," sahut White cepat.
"Terus, kenapa nyuruh masak aja daripada beli?"
"Ngirit."
Airi nyengir mendengar alasan gak masuk akal itu. Selama ini White tak pernah tanya masalah keuangan. Dia mau belanja apa, masak apa, beli cemilan, buah, apapun itu, White tak pernah protes. Lalu kenapa sekarang tiba-tiba bahas ngirit. Bahkan uang bulanan dari Papa Sabda tak akan habis meski tiap hari dalam sebulan dia delivery makanan.
"Bang, besok jalan-jalan yuk," ajak Airi disela sela mengunyah makanan.
"Ogah," sahut White cepat.
"Dikomplek perumahan kita ada taman sekaligus joging track, kita kesana ya besok."
"Enggak."
"Kalau minggu pagi ramai loh, banyak pedangan kaki lima yang jualan makanan. Ada batagor, cilok, cireng, telur gulung, kerak telor, tako_"
"Aku bilang enggak," sahut White dengan nada sedikit meninggi.
"Please, mau ya Bang, aku lagi pengen makan cilok."
Brakk
Airi terjingkat kaget saat White tiba-tiba menggebrak meja. Bahkan saking kerasnya, minuman diatas meja sampai tumpah. Wajah pria itu terlihat memerah dan rahangnya mengeras, dan itu membuktikan jika dia sedang marah.
"Apa kau tidak paham bahasa manusia?" bentak White.
Airi langsung menelan ludah. Tubuhnya sedikit gemetaran melihat dada White yang naik turun. Nafasnya mulai memburu karena emosi.
"Oh...sepertinya kau sengaja ingin mempermalukan aku didepan umum? Iya kan, seperti itu?" White masih bicara dengan nada tinggi.
Airi menggeleng cepat meski White tak bisa melihatnya. "Itu tidak benar, Bang. Aku hanya ingin mengajak Abang jalan-jalan, mencari udara segar. Siapa tahu Abang bosan dirumah terus."
"Agar semua orang tahu jika aku buta lalu mereka menatapku dengan tatapan menyedihkan?" White mengepalkan kedua telapak tangannya. Dia tak mau terlihat menyedihkan apalagi sampai dikasihani. "Ingat Ai, disini aku pemimpinnya, kamu hanya perlu ikut aturanku dan melakukan apa yang aku suruh. Bukan aku melakukan apa yang kamu suruh. Kau hanya mata bagiku disaat aku buta. Kau tak berhak sedikitpun mengatur hidupku." Tekan White lalu pergi meninggalkan meja makan dan kembali menuju kamar.
Airi terduduk sambil menitikkan air mata. Yang dikatakan White benar, dia hanya mata pengganti saat pria itu buta, bukan istri yang sesungguhnya. Dari awal memang seperti itu, tapi tetap saja, dia sakit hati mendengar kalimat White barusan.
...----------------...
Malam hari, Airi membawakan makanan kekamar. Seharian ini, White tak mau makan. Selain mogok makan, dia juga tak mau bicara pada Airi, hanya menjawab sekenanya saat Airi bertanya. Bahkan kadang tak menjawab sama sekali.
"Bang, makan ya, aku barusan masak cumi krispi, kesukaan Abang." White bisa menciun aroma cumi krispi yang sangat menggoda. Tadi pagi hanya sarapan beberapa sendok lalu tak makan lagi seharian, membuat perutnya keroncongan. Tapi hari ini dia sudah berniat mogok makan agar Airi merasa bersalah dan tak berani membujuknya agar mau keluar lagi.
Airi mengambil sepotong cumi krispi lalu mendekatkan kehidung White. "Sedap sekalikan baunya. Ini krispi banget loh Bang," Dia menggigit cumi yang dia pegang hingga mengeluarkan bunyi kres yang menggoda iman dan perut. "Emmmm...enak." Ujar Airi dengan suara tak jelas karena sambil mengunyah cumi.
Kruyuk kruyuk
Airi menutup mulut agar tawanya tak pecah saat mendengar suara perut White. Alarm alami yang menunjukkan jika diempunya perut sedang lapar.
"Wahhh..kayaknya ada yang protes nih," canda Airi. "Makan Bang, kasihan cacing diperut Abang. Nanti kalau mereka demo berabe loh. Abang gak maukan, sakit perut karena mereka demo?"
White masih diam sambil mengutak atik ponselnya. Menahan mati-matian agar tak sampai bilang iya.
"Selain itu, kalau gak makan, nanti gak bisa tidur. Abang mau semalaman gelisah karena gak bisa tidur? Kalau aku sih, ogah."
Airi menghela nafas karena White masih saja belum mau bicara. "Baiklah kalau tetap mau makan, cuminya aku habisin sendiri saja."
White menelan ludah mendengar suara kras kres serta aroma yang mengusik hidung. Tapi dia masih berusaha untuk menahan diri. Sampai sesuatu yang menggoda itu menempel dibibirnya. Ya, Airi menempelkan cumi krispi favorit White dibibir pria itu.
"Buka mulutnya," titah Airi. "Bukan bekas gigitanku," lanjutnya saat melihat keraguan diwajah White.
Tak kuat lagi, akhirnya White membuka mulut dan masuklah cumi krispi kedalam mulutnya. Ini sungguh nikmat, batinnya. Dia terus mengunyah dan kembali membukan mulut saat Airi bilang Ak.
Airi tersenyum melihat White yang makan dengan lahap. Tak butuh waktu lama, nasi dan cumi krispi diatas piring langsung ludes. Dia meraih gelas berisi air putih yang ada diatas nakas lalu menyodorkannya pada White. "Mau nambah?" White mengangguk malu-malu.
...----------------...
"Eh...eh..."
Samar-samar, Airi mendengar suara rintihan. Dia yang tidur dilantai segera bangun untuk melihat kondisi Whita.
"Tolong, tolong. Kenapa gelap, aku tak bisa melihat apapun. Tolonggg." White terus merintih dan bergerak gelisah. Keningnya berkeringat, pria sepertinya mimpi buruk.
"Abang, bangun Bang," Airi yang duduk disisi ranjang menepuk-nepuk lengan suaminya. "Bang, bangun." Dia terus menepuk dan memanggil sampai akhirnya White membuka mata. Nafas pria itu terlihat tersengal sengal. "Abang mimpi buruk?"
White bangun dan terlihat kebingungan. "Gelap, kenapa semuanya gelap?" Dia menggunakan kedua tangannya untuk meraba-raba apa yang ada didepan.
"Bang, sadar Bang. Abang barusan mimpi." Mendengar itu, White terdiam beberapa saat dan berhenti meraba-raba kedepan. Dia juga tampak mulai tak kebingungan seperti tadi.
Airi mengambil air diatas nakas lalu membantu White minum.
"Ai," White menggenggam kuat tangan Airi. Telapak tangannya terasa sangat dingin sekaligus basah.
"Tenanglah Bang. Abang hanya mimpi."
Air mata White meleleh, tubuhnya masih sedikit gemetar hingga Airi memberanikan diri memeluknya.
"Aku takut Ai. Aku seperti kembali kemasa itu. Aku bisa melihat, tapi tiba-tiba sebuah motor menabrakku. Tapi saat aku membuka mata, semua gelap Ai, semua gelap. Aku takut Ai. Gelap, tak ada siapapun. Bahkan saat aku berteriak meminta tolong, tak ada yang datang menolongku."
Airi ikut menangis mendengar cerita White. Dia kembali merasa bersalah. Kalau saja Abian tak menabrak White, pria dipelukannya ini tak mungkin buta. "Ada aku Bang. Abang hanya mimpi." Airi mengusap punggung dan rambut White, berusaha untuk membuat dia tenang. "Abang tidak perlu takut, ada aku yang akan selalu ada untuk Abang. Sekarang tidurlah lagi."
White menggeleng cepat. "Tidak, aku tidak mau. Aku takut mimpi itu datang lagi Ai." White makin menguatkan genggamannya pada tangan Airi.
"Ada aku, Abang gak usah takut. Ai akan jagain Abang sepanjang malam. Tidurlah lagi." Airi membantu White berbaring, tapi pria itu masih enggan melepas tangan Airi.