Bagaimana rasanya menikah dengan orang yang tidak kita kenal?
Baik Arsya maupun Afifah terpaksa harus menerima takdir yang telah di tetapkan.
Pada suatu hari, ayah Afifah di tabrak oleh seorang kakek bernama Atmajaya hingga meninggal.
Kakek tua itupun berjanji akan menjaga putri dari pria yang sudah di tabraknya dengan cara menikahkannya dengan sang cucu.
Hingga pada moment di mana Afi merasa nyawanya terancam, ia pun melakukan penyamaran dengan tujuan untuk berlindung di bawah kekuasaan Arsya (Sang suami) dari kejaran ibu mertua.
Dengan menjadi ART di rumah suaminya sendirilah dia akan aman.
Akankah Arsya mengetahui bahwa yang menjadi asisten rumah tangga serta mengurus semua kebutuhannya adalah Afi, istrinya sendiri yang mengaku bernama Rere?
"Aku berteriak memanggil nama istriku tapi kenapa kamu yang menyahut, Rere?" Salah satu alis Arsya terangkat.
"Karena aku_" Wanita itu hanya mampu berucap dalam hati. "Karena aku memang istri sahmu, pak Arsya"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 22
Terhitung sudah dua hari aku berperan sebagai istri di rumah ini dan bukan lagi seorang ART, namun hanya si depan pak Arsya. Sebab belum ada satu orang pun yang tahu kalau aku adalah Afi, termasuk pak Beno, orang yang termasuk sangat dekat dengan suamiku.
Aku masih melarang pak Arsya memberitahu siapapun mengenai diriku. Bukan karena apapun, aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan pak Arsya.
Jangankan bertemu keluarga besarnya, melayani pak Arsya sebagai suamiku saja rasanya masih canggung. Aku bahkan masih tidur di kamar ART padahal pria itu sudah menyuruhku pindah ke kamarnya. Sesekali pak Arsya justru yang mengalah tidur di kamarku.
Dan tidur satu ranjang dengannya benar-benar terasa aneh. Bukan hanya aku, ku rasa pak Arsya juga masih malu-malu atau nervous sama sepertiku. Karena perasaan itulah tidak ada yang kami lakukan layaknya suami istri, kami sebatas tidur di atas ranjang yang sama, lalu sedikit bercerita sebelum memejamkan mata.
Hingga pagi haripun datang, aku melakukan aktivitas seperti biasa.
Membuat sarapan, mencuci pakaian dan menyetrika, serta bersih-bersih rumah.
Setelah menata menu di meja makan, aku berniat memanggil pak Arsya di kamarnya. Pria itu memang sudah naik ke atas untuk bersiap-siap pergi ke kantor.
Baru saja hendak naik di anak tangga pertama, aku mendengar suara bel berbunyi. Jantungku agak mencelos karena takut kalau yang datang itu bu Prilly.
Tapi masa sepagi ini, mau ngapain?
Mengurungkan niat ke lantai dua, langkahku berbalik menuju pintu utama.
Sebelum membukanya, ku tarik napas panjang untuk menormalkan perasaan, disini aku harus berakting menjadi Asisten rumah tangga.
Hal ini sudah kami diskusikan kemarin malam. Aku akan menjadi Rere ketika di depan orang lain, dan menjadi istri hanya saat sedang bersama pak Arsya.
Bisa di bilang hubungan kami ini backstreet, hubungan yang tak ada orang lain yang mengetahuinya.
"Pak Beno" Kataku lega, menatap pria yang sudah rapi mengenakan kemeja bergaris.
Bukan bu Prilly yang datang, setidaknya aku bisa dengan mudah mengkondisikan detakan jantung di sela-sela aktingku.
"Re, pak Arsya sudah bangun?" Tanyanya seraya melangkah masuk.
"Sudah, dia sedang siap-siap di kamarnya"
Apartemen yang Beno tinggali dengan rumah ini jaraknya memang tidak terlalu jauh, mungkin sekitar sepuluh menitan jika di tempuh menggunakan mobil. Itu sebabnya, mau sepagi apapun atau semalam apapun, jika pak Arsya menyuruhnya datang, tak lama kemudian dia pesti sudah muncul di rumah ini.
"Aku akan menunggunya di ruang tengah"
"Baik pak, apa perlu memberitahu pak Arsya kalau pak Beno sudah di sini?"
"Tidak perlu, dia sudah tahu aku akan datang, kami akan berangkat sama-sama ke kantor"
"Oh iya" Sahutku singkat, lalu berpamitan hendak kembali ke dapur.
Selang tiga puluh menit, aku yang kebetulan sedang meletakkan cangkir berisi teh untuk pak Beno, pak Arsya tahu-tahu sudah ada di ruang tengah, dia sudah mengenakan pakaian rapi lengkap dengan jas berwarna abu muda. Pria itu terlihat sangat tampan, sangat high class, juga berwibawa.
Melihatnya begitu menawan, hatiku malah menciut, pasalnya aku hanya seorang guru SD, berasal dari keluarga dengan kelas ekonomi bawah, sedangkan pak Arsya, dia berasal dari keluarga terhormat dan kaya raya . Terkadang aku masih belum percaya dengan apa yang sudah terjadi padaku.
Kembali ke pak Arsya, saat dia melihatku, dia seperti tertegun, hampir saja pria itu keceplosan memanggilku Afi, tapi untung saja dia segera menyadari kalau sekarang aku sedang berperan menjadi Rere.
"Sarapannya sudah siap_" Dia menjeda kalimatnya sejenak. "Re?" Tambahnya melirik Beno yang sedang fokus membuka map berwana hijau tua.
"Sudah, pak"
"Kita sarapan dulu, Ben!" Ajaknya pada sang asisten.
"Baik, pak"
Kedua pria itupun bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju ruang makan.
Di tengah-tengah langkahnya, aku yang mengekor di belakan pria itu, tiba-tiba mendengar suara Beno.
"Ada sedikit kabar mengenai nona Afi, pak" Katanya, otomatis memantik telingaku untuk menguping lebih dalam.
"Kabar?" Jawab pak Arsya.
"Iya, pak"
"Kabar yang kayak gimana?" Kini mereka sudah sampai di meja makan. Keduanya kompak duduk di kursi masing-masing, dan seperti biasa aku hanya menyidukkan nasi untuk dua pria yang sama-sama menampilkan wajah serius.
"Saya dapat informasi kalau nona Afi sempat datang kemari, dia juga sempat bertemu dengan seorang wanita yang di duga akan bekerja di sini"
Mendengar kalimat Beno, secara reflek aku dan pak Arsya saling melirik satu sama lain. Karena pak Arsya sudah tahu cerita dariku, juga mengenai aku yang berhasil menyamar jadi Rere pak Arsya pun tak terkejut, dia kembali menampilkan gestur santai sambil menikmati suapan demi suapan. Sementara lirikan Beno padaku tampak sedikit berbeda. Terkesan curiga, atau yakin kalau info yang dia dapatkan memang benar.
"Apa benar itu, Re?" Tanya Beno merujuk padaku. Dia sedikit mendongak agar bisa menatapku. "Apa saat kamu datang, kamu bertemu dengan seorang wanita?"
"T-tidak kok, pak" Dustaku seraya melirik pak Arsya yang masih terlihat santai.
"Coba kamu ingat-ingat lagi"
"Saya ingat kok, dan saya tidak bertemu siapapun"
"Oh, ya sudah"
Kemudian hening, dari kami tidak ada yang bersuara. Dua pria fokus dengan sarapannya, dan aku kembali ke dapur.
"Mulai sekarang nggak usah cari dia" Suara pak Arsya terdengar hingga ke dapur.
"Loh kenapa, pak"
"Nggak apa-apa. Hentikan saja pencariannya dan jangan banyak bertanya"
"Baik, pak. Tapi_"
"Nggak usah tapi-tapi, Beno"
"Apa mungkin pak arsya sudah terlanjur marah ke nona"
"Sudah ku bilang nggak usah banyak tanya"
"Maaf, pak"
Beno kembali menikmati sarapannya.
Kalau boleh aku menebak, Beno pasti sedang berfikir keras kenapa pak Arsya mendadak melarangnya untuk mencariku.
Sampai beberapa menit kemudian, sesi sarapan yang sunyi pun berakhir.
Pak Arsya mengelap mulutnya menggunakan tisu sambil berucap.
"Kamu tunggu di mobil, Ben. Aku harus ke kamar sebentar"
"Baik, pak. Kalau gitu saya tunggu di luar" Pamit Beno, yang langsung di respon dengan anggukan kepala. Dia langsung mengarahkan langkahnya keluar rumah.
Diam-diam aku memergoki pak Arsya yang terus menatap kepergian Beno. Setelah Beno tak lagi terlihat, dan bisa di pastikan sudah berada di luar rumah, aku yang sedang menghampirinya tersenyum ketika dia menoleh ke arahku.
"Sa_yang" Entahlah, aku malah geli mendengarnya memanggilku seperti itu. Kedengarannya aneh di telingaku.
"Ikut aku!" Pak Arsya bangkit dari duduknya lalu menggandeng tanganku.
"Kemana pak?" Tanyaku tak mengerti.
"Ke kamarmu"
"M-mau ngapain, bukannya bapak harus ke kantor?"
"Iya, tapi kasih aku bekal sedikit saja"
"Bekal?" Alisku mungkin menukik sangat tajam.
"Sudah, ayo cepat" Titahnya sambil terus mengayunkan kaki.
Begitu sampai di kamarku, pak Arsya langsung menarik penggangku. Otomatis tubuhku menubruk badannya yang kekar.
Aku gugup, gugup sekali. Bahkan sekedar menelan ludah pun rasanya sangat sulit.
"A-ada apa, pak?" Tanyaku gerogi.
Tak menjawab, pak Arsya malah langsung mengecupku. Tak sampai di situ, dia tak sekedar menempelkan bibirnya, tapi juga memagutnya.
Dan entah dorongan dari mana, mulutku secara reflek terbuka menyambut ciumannya.
Lembut dan luwes, semakin lama, dan semakin panas.
Hingga lewat bermenit-menit, aku akhirnya melepaskan diri karena paru-paruku seperti akan meledak.
Jarak wajah kami yang hanya sejengkal membuatku sedikit malu, beberapa detik kemudian kami kembali berciuman setelah berhasil menormalkan nafas kami yang memburu.
"P-pak Arsya_"
Tautan bibir kami mendadak terurai karena mendengar suara seseorang.
"Beno"
"P-pak Beno?" Ku telan ludahku sambil menutup bibirku yang basah.
"Kalian?" Beno menatapku dan pak Arsya secara bergantian. Tentu saja dengan raut bingung.
Bersambung
mau mendengarkan Alasan Afi pergi ke Kanada
sedikit aku
yaa rabbi..pasti serba salah kaan ifa nya...arsya yakin kepergian ifa di dalangi oleh sang mama...dan mama prilly bersiap lah untuk kehilangan arsya 😃😃
di tunggu karma prily
afi pergi pasti lg dalam keadaan hamil
duuuh kasihan banget seh fi hidup kamu
awas Arsya jangan sampe kamu mau di nikah kan sama si ulet bulu Silvia,,dia pembawa virus
enak kan sil senjata makan tuan
itu mama nya Silvia bener2 bikin gedek