dr. Pramudya Aryatama, Sp. An. harus terpaksa menikahi saudari sepupu dari mendiang istrinya karena desakan keluarga, juga permintaan terakhir Naina. Belum lagi putranya yang berusia 2 tahun membutuhkan kehadiran seorang ibu.
Bisakah dr. Pram menerima Larasati sebagai istrinya, sedangkan ia sendiri masih begitu terpaku pada kenangan dan cintanya pada mendiang istrinya? Lalu bagaimana Larasati harus menghadapi sosok pria seperti dr. Pram yang kaku juga dingin dengan status dirinya yang anak yatim piatu dan status sosial jauh di bawah keluarga pria itu.
Banyak hal yang membentengi mereka, tetapi pernikahan membuat mereka menjadi dua orang yang harus saling terikat. Bisakah benih-benih perasaan itu hadir di hati mereka?
Jangan lupa subscribe biar dapat notifikasi updatenya, ya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AmiRas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahannya!
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Dokter Pram dengan suara dingin, matanya tajam menatap Laras.
Laras merasa tubuhnya gemetar di bawah tatapan suaminya. "Bagas hampir tenggelam, Mas. Aku ... aku pergi duduk di kursi sebentar dan ...."
"Kamu meninggalkan Bagas sendirian?!" potong Dokter Pram dengan suara yang semakin tinggi.
"Bagaimana bisa kamu begitu ceroboh, Laras? Bagaimana kalau Mama tidak ada di sini? Bagas bisa saja ...." Pria itu tidak melanjutkan kalimatnya, tetapi kemarahannya jelas terlihat.
Laras menunduk, air matanya mengalir deras. "Aku benar-benar tidak bermaksud ... Aku sangat menyesal!"
Dokter Pram menghela napas panjang, berusaha menahan emosinya. Dia memandang Bagas yang masih menangis di pelukan Laras.
"Yang penting sekarang Bagas selamat. Tapi ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, Laras. Sudah berapa kali kamu ceroboh dan lalai begini, aku tidak habis pikir ...."
Laras mengangguk lemah, merasa hancur oleh kekecewaan suaminya. Sesuatu terasa seperti menusuk jantungnya kuat. Semua kata-kata pria itu menyiratkan bahwa Laras memang tidak becus menjaga anaknya, dan Laras merasa ini benar. Dia keguguran karena kelalaiannya menjaga diri, dan sekarang pun dia hampir melayangkan nyawa Bagas.
Dokter Pram mengambil Bagas dari pelukan Laras. Dia memeluk putranya dengan lembut, mencoba menenangkan tangisnya. "Papa di sini, Bagas. Kamu aman sekarang!"
Mama Ajeng memandang Laras dengan tatapan kecewa sebelum berbalik mengikuti Dokter Pram masuk ke rumah. "Mama harap kamu bisa bersikap lebih hati-hati lagi, Laras!" katanya singkat.
Laras hanya bisa mengangguk, tidak mampu berkata apa-apa. Dia menyaksikan suami dan mertuanya pergi membawa Bagas, meninggalkannya sendirian di tepi kolam. Rasa bersalah dan kesedihan menyelimuti hatinya. Air matanya terus mengalir tanpa henti.
Laras duduk di tepi kolam, memandang air yang tenang. Bayangan Bagas yang hampir tenggelam terus terngiang di benaknya. Dia tahu bahwa kesalahan ini sangat fatal dan sulit dimaafkan. Laras merasa hancur, tidak hanya karena kejadian itu, tetapi juga karena sikap suami dan mertuanya yang begitu kecewa padanya.
Setelah beberapa saat, Laras menghapus air matanya dan berdiri. Dia tahu bahwa menangis tidak akan memperbaiki keadaan. Laras bertekad untuk menjadi ibu yang lebih baik dan lebih bertanggung jawab.
"Dia demam, Pram?" tanya Mama Ajeng mengusap kening cucunya.
Laras berdiri menunduk di depan pintu kamar Bagas. Di sana ada Dokter Pram yang sedang memeriksa kondisi Bagas dan Mama Ajeng yang mengusapkan minyak kayu putih di sekujur tubuh sang cucu.
"Sudah kukasih obat, Ma. Panasnya akan segera turun," sahut Dokter Pram membenahi selimut putranya.
Dokter Pram dan Mama Ajeng menoleh ketika Laras mendekati ranjang Bagas. Keduanya menatap Laras diam tanpa kata. Laras seakan terasingkan dan ia harus menerima ini karena memang kesalahannya.
"Maafkan aku, Mas!" ujar Laras lirih.
Dokter Pram tak menyahut. Pria itu berlalu keluar dari kamar Bagas dan meninggalkan Laras bersama Mama Ajeng. Laras menoleh pada ibu mertuanya dan sang mertua langsung membuka tangan meminta Laras untuk memeluknya.
"Ma!" tangis Laras pecah dalam dekapan sang mertua.
"Jangan kencang-kencang, Bagas baru saja tertidur!" bisik Mama Ajeng mengusap punggung bergetar Laras.
"Laras takut ... Laras minta maaf kalau saja Mama gak dateng, aku gak tahu gimana Bagas ...."
Laras terisak dengan sesenggukan. Mama ajeng menghela napas, merasakan emosi Laras yang naik turun.
"Kenapa kamu menjauh dari area kolam dan membiarkan Bagas berenang sendiri?" tanya Mama Ajeng sudah bisa bersikap tenang.
Laras melepaskan pelukannya, "tadi perutku rasanya nyeri banget dan aku mencoba buat duduk di kursi untuk meredakan rasa sakitnya sebentar, tapi aku gak tahu kalau ...."
"Sakit perutnya yang gimana? Kamu lagi haid?" potong Mama Ajeng khawatir.
Laras menggeleng, "aku baru selesai haid seminggu yang lalu, Ma."
"Sekarang masih sakit?" Mama Ajeng mengusap setitik keringan di pelipis Laras.
"Sudah agak mendingan, Ma. Kayaknya karena kemarin aku makan pedas!"
Mama ajeng menggeleng, "kamu pernah ada riwayat kehamilan ektopik, Ras. Jangan kamu abaikan rasa nyeri di perut itu, ini bisa saja efek samping setelah kamu operasi kemarin. Sekarang ayo ke kamarmu dan istirahat. Mama akan menelepon Dokter Maura!"
Laras menatap bingung sang mertua yang telah sibuk dengan ponselnya.
"Ma, ini sakit biasa kok! Aw --" Laras meringis, sakitnya kambuh lagi.
"Kan, Mama bilang juga apa. Segera ke kamar kamu sana, Bagas biar Mama yang awasin. Kamu nih bandel banget!" Mama Ajeng menarik tangan Laras menuju kamar putranya di ujung lorong lantai dua itu.
Laras mengikuti saja langkah mertuanya tanpa perlawanan lagi. Namun, jujur dia belum berani bertatap muka dengan sang suami.
"Sekarang istirahat. Dokter Maura akan sampai 15 menit lagi."
"Ma, tapi ...."
"Ada apa, Ma?" tanya dokter Pram yang baru keluar dari kamar mandi. Pria itu mengenakan baju kaos lengan pendek dan celana selutunya.
"Laras ngeluh sakit perut makanya dia teledor dan meleng dikit ngawasin Bagas tadi."
"Alasan untuk membenarkan tindakannya!" ujar Pria itu dingin.
"Pram, yang sudah berlalu sudah! Jangan kamu ungkit terus!" Mama Ajeng menatap tak suka akan ucapan putranya.
"Terserah, aku akan tidur bersama Bagas!" Pria itu pergi begitu saja meninggalkan Laras yang meremas kedua tangannya.
"Anak itu!" geram Mama Ajeng kesal.
"Ma, aku benaran gak apa-apa! Sakitnya karena kemaren benaran makan pedas, kok. Benar apa yang dikatakan Mas Pram, kesalahanku sangat fatal kalau dia sampai marah dan terus menyalahkanku itu wajar ...."
"Astaga, kalian ini! Sudahlah Mama pusing, kalian urus saja ini! Awas saja kalau kamu ngeyel, pokoknya kamu diperiksa dulu sama Dokter Maura baru Mama tenang."
Laras mengangguk. Merasa terharu dengan perhatian sang mertua. Meskipun marah dan kecewa, kematahan mertuanya hanya sebentar dan wanita baya itu akan kembali hangat padanya.
...To Be Continue .......
bikin cerita tentang anak"laras dan pram author .....