Bagi beberapa orang, Jakarta adalah tempat menaruh harapan. Tempat mewujudkan beragam asa yang dirajut sedemikian rupa dari kampung halaman.
Namun, bagi Ageeta Mehrani, Jakarta lebih dari itu. Ia adalah kolase dari banyak kejadian. Tempatnya menangis dan tertawa. Tempatnya jatuh, untuk kemudian bangkit lagi dengan kaki-kaki yang tumbuh lebih hebat. Juga, tempatnya menemukan cinta dan mimpi-mimpi baru.
“Kata siapa Ibukota lebih kejam daripada ibu tiri? Kalau katamu begitu, mungkin kamu belum bertemu dengan seseorang yang akan membuatmu menyadari bahwa Jakarta bukan sekadar kota bising penuh debu.”—Ageeta Mehrani, 2024
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gift
Kalau tahu perjalanan panjang yang dia tempuh hanya akan berakhir membuatnya menjadi bulan-bulanan, Reno pasti akan mencari cara lain untuk memulangkan Ageeta. Sebab kini, bahkan ketika baru tiga menit ia duduk di sofa ruang tamu rumah gadis itu, telinganya sudah terasa pengang karena Laras tak henti-hentinya mengoceh.
Berulang-ulang kali Reno menjauhkan kepala, berusaha mengcover telinga karena suara nyaring Laras seperti mendobrak gendang telinganya dengan begitu keras dan bar-bar. Tak jarang juga ia sampai memejamkan mata, meredam keinginan kuat untuk membungkam mulut cerewet Laras dan menendang perempuan itu sampai ke luar angkasa.
“Pak Reno harus kasih saya reward atas ide cemerlang saya,” celoteh perempuan itu lagi.
Reno melirik sinis, menunjukkan wajah antipati. Baiklah, dia memang harus berterima kasih kepada Laras karena sudah membantu menyusun rencana untuk meluruskan kesalahpahaman. Memberikan hadiah juga bukan menjadi masalah besar. Apa pun yang Laras minta (asal masih bisa dibeli pakai uang) pasti akan dia berikan tanpa sedikit pun rasa keberatan.
Yang jadi masalah adalah, sikap heboh Laras yang tiada tara. Padahal bisa saja langsung mengirim pesan tentang apa yang ia minta dan walla! pesanannya akan tersedia. Kenapa harus membuang-buang energi dengan bertingkah ekstra?
“Kenapa Bapak ngeliatin saya kayak begitu? Nggak seneng? Nggak mau kasih saya hadiah?” cerocos Laras. Mulai merasa bahwa suara-suara yang ia keluarkan sedari tadi adalah percuma karena Reno tidak menanggapi apa-apa.
Daripada menjawab, Reno lebih memilih berucap, “Bisa nggak kamu jangan heboh?” dengan suara datar dan raut wajah yang seolah menggambarkan betapa lelahnya ia meladeni kehebohan Laras.
Seperti biasa, reaksi pertama yang muncul ketika diminta untuk bersikap biasa saja adalah bibir yang cemberut dan raut wajah yang ditekuk. Dalam kurun waktu bertahun-tahun sejak kali pertama bertemu perempuan itu, Reno sudah sangat terbiasa dan kini tidak lagi terpancing untuk memberikan reaksi.
“Oke, forget about the reward,” cetus Laras setelah membiarkan dirinya cemberut selama beberapa saat. Ia menoleh ke belakang sebentar, mengintip ke arah dapur di mana Ageeta sedang berkutat menyiapkan minuman sebelum kembali menaruh fokus pada Reno.
“Sekarang, ceritain ke saya gimana proses sampai Bapak kasih tahu Ageeta semuanya. Oh, did you tell her the whole story or just—“
“Cuma secara garis besar,” potong Reno.
Laras mengangguk. “Cuma soal Bapak dan Noa yang nggak menikah?” tebaknya.
“Iya,” jawab Reno.
Sejenak, Laras tampak berpikir dalam diam. “Berarti soal dia belum, ya?” tanyanya lagi. Kali ini, suaranya kedengaran kecil, terlebih saat menyebut kata dia.
“Belum.” Setelah menjawab, Reno gantian menoleh ke arah dapur. Tepat sebelum Ageeta kemudian muncul dari sana membawa nampan berisi minuman. Melihat itu, Reno menggerakkan kakinya pelan, memberikan kode kepada Laras untuk menghentikan obrolan mereka.
Sinyal yang Reno kirimkan diterima dengan baik oleh Laras. Perempuan itu langsung menyetel wajah riang, menyambut kedatangan Ageeta dengan senyum yang terkembang.
“Harusnya nggak usah repot-repot,” ucapnya.
“Ini nggak repot sama sekali.” Ageeta ikut bergabung duduk di ruang tamu. Dua minuman berupa Caffe Latte ala-ala itu dia letakkan di hadapan kedua tamu, dipersilakan untuk diminum selagi esnya belum mencair.
“Hmm, seperti biasa, kopi buatan kamu emang nggak pernah mengecewakan!” seru Laras. Jempol tangannya sudah mengudara, mengundang gelak tawa dari sang empunya rumah.
Sementara di tempat duduknya, Reno menyesap Caffe Latte miliknya dalam diam. Sejak Laras mengungkit lagi soal dia, Reno jadi kepikiran satu hal. Apakah seharusnya dia menceritakan juga bagian itu kepada Ageeta?
“By the way, Rooney itu clingy abis ya? Dia buntutin aku ke mana-mana, sampai ke kamar mandi pun dia ikut.” Cerocosan Laras yang kembali terdengar menarik Reno keluar dari pikirannya. Kembali ia pusatkan perhatian kepada Laras dan Ageeta.
“Iya, apalagi kalau mau minta makan, pasti makin clingy nggak ketulungan.” Ageeta menjawab dengan disusul tawa renyah.
Reno tak lepas memandang senyum yang terlukis di wajah Ageeta setelah tawa gadis itu reda. Menyelami matanya yang berbinar ketika menceritakan lebih banyak tentang Rooney, begitu leluasa berkelana di sana sampai tanpa sadar sudah terlalu jauh sampai ke dasar.
Obrolan yang terajut setelahnya berlangsung hanya antara Laras dan Ageeta, sedangkan Reno menyingkirkan diri dan lebih memilih untuk menjadi pendengar. Dengan matanya yang terus fokus pada eksistensi Ageeta, membiarkan dirinya semakin tenggelam dan mungkin tidak akan pernah bisa menemukan jalan untuk kembali ke permukaan.
...****************...
Sudah pukul sepuluh malam ketika Reno sampai lagi di rumahnya. Selain weekend, Scarlett biasanya sudah akan dia pastikan tidur di kamar dan tidak memiliki kegiatan apa pun, bahkan jika itu hanya sekadar melamun memandangi langit-langit kamar.
Berhubung ini malam Minggu, maka ia tidak heran sewaktu menemukan putri tercintanya itu masih ada di ruang tengah bersama Mami. Yang justru membuatnya bertanya-tanya adalah karena Scarlett sedang sibuk unboxing beberapa paket yang dibungkus rapi menggunakan kertas kado. Jelas menjadi sebuah pertanyaan, karena tidak ada seorang pun di rumah ini yang sedang berulang tahun.
“Kado dari siapa? Kok banyak banget?” tanyanya. Beberapa paket sudah dibuka, menyisakan kertas-kertas kado berbagai warna dan corak berserakan memenuhi lantai ruang tengah.
“Mami!” seru Scarlett bersemangat. Kala menjawab, gadis kecil itu sambil mengangkat tinggi-tinggi action figure Bumblebee, karakter robot kuning favoritnya dari serial Transformers.
“Mami kamu kirim ini semua?” tanya Reno tak percaya. Seumur-umur, baru kali ini ia melihat Noa sebegini niatnya mengirimkan hadiah untuk putri kecil mereka. Terlebih setelah tinggal di luar negeri sejak beberapa tahun terakhir, perempuan itu hampir tidak pernah lagi mengirimkan hadiah.
“Iya, dia antar langsung ke sini tadi sama William.” Itu suara Theresa.
Reno beralih menatap ibunya, masih tidak bisa mengenyahkan kerutan di keningnya. “Sampai diantar sendiri? Serius? Mereka bahkan baru sampai Jakarta.”
Theresa mengangguk. “Mereka antar langsung sekalian mau kasih tahu Mami buat ikut datang ke acara perkumpulan besok di rumah Darius,” jelasnya.
Ah, benar juga. Mereka akan datang ke rumah Darius untuk membahas perihal pertunangan Noa.
“Oke deh kalau begitu,” tutup Reno. Tak lagi punya niat untuk memperpanjang masalah hadiah-hadiah yang Noa kirimkan. Toh, ini justru kabar bagus. Biar Scarlett tahu kalau ibunya juga masih peduli. Karena beberapa waktu terakhir, anak itu sudah sempat protes kenapa ibunya jarang mengabari. Apa pun itu, asal Scarlett senang, ia juga akan turut senang.
Berkendara jauh bolak-balik membuat Reno merasa lelah. Jadi, ia pamit pada Theresa dan Scarlett untuk lebih dulu naik ke kamar demi bisa membersihkan diri dan lanjut beristirahat. Setelah mengecup pipi Scarlett sekali dan menerima kecupan di pipinya dari Theresa seperti rutinitas malam sebelum pergi tidur, Reno melangkah pergi. Meninggalkan ruang tengah, menapaki satu persatu tangga sambil sesekali melakukan peregangan untuk lehernya yang sedikit terasa kaku.
Setibanya di depan pintu kamar, ketika tangannya baru saja akan menyentuh handle pintu, ponsel di saku celananya bergetar. Ia menebak itu adalah Ageeta, mungkin hendak menanyakan apakah dirinya sudah sampai di rumah atau belum. Jadi, ponsel itu dirogoh dari saku dengan senyum yang sudah melebar dengan sendirinya. Detak jantungnya perlahan meningkat (bukan dalam artian buruk) dan euforia mulai terbentuk di hatinya.
Namun, ketika benda pipih itu berhasil dibawa ke depan wajah, senyum yang Reno ukir perlahan-lahan memudar. Jantungnya berdegup lebih cepat (yang kali ini bukan kabar baik) dan tangannya mulai gemetar.
Alih-alih nama Ageeta, Reno malah menemukan nama lain terpampang di layar ponselnya. Nama yang sudah lama tidak pernah disebutkan oleh siapa pun secara gamblang. Nama yang sebisa mungkin ingin ia tinggalkan di belakang karena hidup harus terus berjalan. Nama yang dalam beberapa kesempatan, masih menjadi sesuatu yang membuat perasaannya menjadi tidak keruan; Clarissa.
Bersambung...
ninggalin 🌹 dulu buat ka author✌️✌️✌️