Ini adalah kisah nyata yang terjadi pada beberapa narasumber yang pernah cerita maupun yang aku alami sendiri.
cerita ini aku rangkum dan aku kasih bumbu sehingga menjadi sebuah cerita horor komedi.
tempat dimana riyono tinggal, bisa di cari di google map.
selamat membaca.
kritik dan saran di tunggu ya gaes. 🙂🙂
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerita Horor Di Perkemahan II. 4.b
Buku Pertama
1
“Serius Pur?” Aku tidak percaya sama omongan Purwanto. “Memangnya ada yang pernah berhasil?”
“Daimun kemarin berhasil.” Jawabnya.
“Daimun? Daimun ya itu?”
“ Iya. Tetangga kita. Dia bilang asal mau melakukan syarat-syarat tertentu. Seng Mbau Rekso bisa mengabulkan semua keinginan kita.”
“Kamu percaya?”
“Apa salahnya di coba? Kalau gagal ya tinggal coba lagi.”
“Astaga Pur. Bersekutu dengan setan itu dosa tau.”
“Lha kamu pikir, mencuri itu tidak dosa? Kalau mu bikin dosa, langsung yang besar sekalian. Ga usah nanggung-nanggung.”
“Sudahlah, terserah kamu saja.”
“Nah gitu donk. Itu baru namanya temanku. temanku itu semuanya pemberani. Ga cemen. Ga kaleng-kaleng. Sekarang, kamu diam saja. Aku mau melakukan ritualnya.”
Dan dia pun menata semua barang bawahannya. Kopi dan rokok yang aku bawa pun tak luput dari sergapannya. Dia mulai komat kamit ga jelas.
“wes hewes hewes. Seseh.” Begitulah telingaku menangkap ocehannya.
‘wuuuussss’ suara angin bertiup. Membuat bulu roma ku berdiri tegak. Saat itu lah Purwanto membakar kemenyan. Dan dia berkomat kamit lagi, kali ini aku mendengarnya dengan jelas.
“Seng Mbau Rekso. Mbah yang mendiami tempat ini. Mbah yang menguasai tempat ini. Dengarkanlah panggilanku. Cucumu ini sedang dalam kesulitan berikanlah petunjukmu, apapun itu akan ku lakukan. Asalkan Mbah Seng Mbau Rekso mau membantu cucumu ini. Ooohhh. Setan Gendruwo, Pocong, Kuntilanak, anak kuntil, wewe gombel, pepekan. Siapapun kalian. Dengarkanlah panggilanku. Aku meminta pertolongan kalian. Aaaooooohhh. Wes hewes hewes seseh.”
Dan saat dia komat-kamit ga jelas itu, aku mencium bau bangkai sangat menyengat. Suara binatang malam semakin ramai. Dan angin bertiup semakin kencang.
“hheemmm, nyem, nyem, seseh, heem.” Purwanto masih kusyuk dengan kesibukannya. Hingga akhinya dia berbicara kepadaku. “So, buat api unggun. Setelah itu sembelih Ayam hitamnya. Setelah itu kamu bakar Ayamnya, bersama-sama bulunya.”
“Lha kok aku?” Aku memprotes. “Lakuin sendiri sana.”
“Sudah, lakuin saja. Ini perintah Seng Mbau Rekso. Dia barusan berbicara padaku.”
“Aku ga mendengar apa-apa kecuali suara angin dan jangkrik.”
“Lakuin, cepat. Sebelum Seng Mbau Rekso marah. Aku tak berkomunikasi lagi dengan beliau. Wes hewes......” dan dia pun tenggelam lagi dengan ritualnya.
Mau ga mau pun akhirnya aku kerjakan apa yang di suruh Purwanto. Bukanya aku takut sama dia. Aku Cuma berpikir, kalau dia Cuma ngibul saja. Ayamnya tak bawa kabur lumayan kan? Buat makan malam. Hehee
2
Ayam sudah mulai aku bakar, harum danging ayam bakar membuat perutku keroncongan. Sudah hampir dua jam kami di sini. Tapi tidak ada tanda apa-apa yang terjadi, selain bau bangkai tadi sih.
“Ga ada apa-apa Pur.” Aku sudah mulai bosan.
“Mbah penunggu sungai ini barusan dari sini.” Jawab dia.
“Mana buktinya?”
“Lihat, kopi yang kamu bawa tadi, sekarang tinggal separuh.”
Aku tatap mukanya baik-baik. Ku pincingkan mataku. Aku konsentrasikan ke wajahnya.
“Bangsat, kamu ngibul.” Kataku “Itu, bekas kopi di pinggir mulutmu. Kamu sendirikan yang meminumnya?”
“Hehee.”
“Hehee, patakmu. Kalau hal ini sia-sia. Tak mek mek awakmu. Cam kan itu baik-baik.”
3
Ayam sudah matang sempurna. Perutku sudah keroncongan dengan sempurna juga. Si Purwanto masih asyik hewes hewes.
‘Kratak’ suara ranting patah seolah terinjak, entah oleh hewan atau manusia. Aku menoleh ke arah suara itu, di bawah pohon ada sebuah bayangan.
Walaupun saat itu bulan bersinar dengan indahnya. Akan tetapi aku sangat kesulitan untuk melihat bayangan apa itu di bawah pohon.
Aku ambil obor ku, dan aku berjalan menuju pohon tersebut.
Orang, itu seseorang. Dia berdiri di balik pohon, dan hanya separuh badannya saja yang terlihat. Separunya lagi tersembunyi di balik bayangan.
“selamat malam pak.” Sapa ku ke orang tersebut. Namun dia hanya tersenyum saja. “Maaf, ini sawah bapak ya? Aku numpang nongkrong sebentar kok. Maaf kalau mengganggu.
Bapak-bapak itu Cuma tersenyum saja, diam sejuta bahasa. Namun, Purwanto lah yang berbicara pada akhirnya.
“Waaahhhh. Setaan.” Teriak Purwanto, dia langsung melesat meninggalkan aku.
“OI, mau kemana Pur?” Aku memanggil dia. “Gimana ini, masa sudah begini saja?”
Karena Purwanto tidak menjawab pertanyaan ku. Aku pun berniat memanggil Bapak-bapak tadi. Mau aku aja makan Ayam bakar tadi. Yah itung-itung sebagai permintaan maaf ke dia karena melakukan hal yang di luar nurul di sawahnya.
“Pak, mari kita....” orang itu sudah menghilang.
Aku Cuma berpikir, kalau orang itu sudah pulang. Aku tidak ada pikiran yang aneh-aneh sama sekali.
Ake membereskan sisa ritual tadi. Minum kopi yang tinggal separu, membungkus ayam bakar tersebut dengan daun pisang. Kebetulan disana banyak pohon pisang. Aku ambil dikit. :P
Dan aku pun berjalan pulang dengan santainya. Saat ini, biarlah dulu Purwanto. Itung-itung sudah untung dapat Ayam satu ekor. Lumayan buat makan seharian hari ini. Tapi besok, kalau apa yang di janjikan Purwanto tidak terwujud. Awas saja deh. Tak Urap-urap mukanya.
4
Karena semalaman begadang. Kini kepalaku sangat sakit sekali. Aku pergi kerumah Purwanto sambil memincingkan mata. Silau cahaya matahari kali ini terasa sangat menyiksa mataku. Aku belum tidur sama sekali.
“So,” sapa seseorang sambil meraih bahuku. “Jangan lupa besok. Ok?” ternyata Daimun.
“I, iya Mun.” Jawabku.
“Bagus, ya sudah. Aku mau ke sawah dulu. Dah.”
“Haaha. Dadah.”
Sialan, kepala sudah terasa mau pecah gara-gara belum tidur. Sekarang di tambah ketemu Daimun. Tambah nut-nutan ini kepalaku. Pokoknya hari ini aku harus ketemu si Purwanto.
Di rumah Purwanto. Ku lihat dia sedang bertengkar hebat dengan istrinya.
“Pokoknya, aku ga mau tahu. Kalau kamu ga bisa mengasih uang belanja lagi. Aku minta cerai.” Kata-kata istrinya terdengar dari tempatku berdiri saat ini.
Waduh. Ada apa kah gerangan? Tiba-tiba ada sinetron di depan mataku.
Purawanto melihatku saat dia bertengkar dengan istrinya. Dia langsung meninggalkan istrinya yang tengah marah hebat. Dia menghampiri aku.
“Ayo ikut.” Katanya.
“Ha?” Jawabku bingung.
“Jangan disini.”
Aku menuruti dia. Karena aku tidak enak sama istrinya. Aku ga kepingin ngamuk di depan perempuan. Apapun alasannya.
“Kemarin malam kenapa kamu lari?” Tanyaku saat sudah lumayan jauh dari rumah Purwanto.
“Kamu ga sadar?” dia balik nanya.
“Apaan?”
“Orang yang kamu hampiri di bawah pohon kemarin malam.”
“Kenapa emang?”
“Goblok, tubuhnya Cuma separuh. Masa kamu ga lihat?”
“Hah? Serius kau?
“Serius. Masa kamu ga lihat jerohan badannya menggantung di sebelah badannya yang hilang!”
Kemarin memang yang aku lihat Cuma separuh. Tapi sepertinya badan orang itu yang separuh Cuma tertutup bayangan saja.
“Badannya tertutup bayangan pohon.” Jawabku.
“Matamu kau taruh mana? Kemarin cuaca sangat cerah. Dan kamu membawa Obor ke arah orang itu. Aku melihatnya sangat jelas, makanya aku lari.”
“Sudahlah, jangan banyak alasan. Terus gimana ini? Aku sudah membuang waktuku semalaman. Tadi si Daimun sudah mewanti-wanti kalau besok aku lupa atau tidak bisa membayar utangku. Tau begini mending aku mencuri saja di rumah pak lurah.”
“Kita minta petuah orang pinter dulu.”
“Apa lagi ini?”
“Kita minta saran dan solusi lain ke Mbah dukun yang aku datangin kemarin.”
Setelah berdebat cukup panjang, aku mengalah. Dan kami pergi kerumah dukun tersebut.
“Bodoh, kenapa malah lari?” Kata Mbah dukun setelah kami sampai disana dan menceritakan kejadian kemari. “Kan sudah Mbah katakan. Apapun yang terjadi, apapun yang muncul kamu jangan kabur. Orang berbadan separuh itu, itu seng mbau rekso tempat itu. Kalau kamu menjual ayam bakar itu kepadanya, kamu bisa langsung kaya. Dia akan membayar berapapun yang kamu minta.”
“Waduh, piye iki Mbah?” Kata Purwano. “Apa kami harus melakukan ritual yang sama lagi di sana?”
“Ya ga bisa, seng mbau rekso Cuma muncul sekali itu saja.”
“Terus solusinya gimana?”
“Ya kamu melakukan ritual yang lain, tetapi di tempat lain, dan bawa binatang yang lain.”
“Terus, apa yang mesti aku lakuin mbah?” si Purwanto masih bertanya-tanya.
“Ya, cuan dulu. Baru tak kasih tahu solusi lengkapnya.”
Mendengar itu. Purwanto berbisik kepadaku. “So, kamu ada sisa uang? Kasih ke Mbah nya dulu ya?”
“Apa?” jawabku.
“Ayo lah, setelah selesai ini. Nanti tak bayar berkali-kali lipat.”
“Kalau gagal lagi? Kamu mau membayar hutangku ke Daimun?”
“Sudahlah, kali ini pasti berhasil.”
“Ayo, jangan Cuma bisik-bisik. Pasienku masih banyak.” Kata mbah dukun itu.
“Ah, i iya mbah. Itu So. Kasihkan uangnya.” Purwanto berkata cukup kencang kepadaku, sehingga aku ga enak sama Mbah dukun itu kalau aku ga ngasih uangnya.
“Iya Mbah, ini uangnya.” Kataku. Jamput, duit tinggal sak iprit langsung amblas deh.
“Nah, gitu donk. Ga usah bertele-tele, dari tadi kok. Yang sat-set gitu napa.” Kata Mbah dukun sambil menghitung uangnya. “Nah. Begini. kalian bawa perlengkapan seperti tadi malam. Kembang, gula, kopi, beras, rokok. Dan tetek bengek yang lain. Bedanya. Kalian cari gagak hitam. Langsung kalian sembelih saat itu juga ga papa. Terus jadikan sate. Pergi ke tempat yang menurut kalian angker. Dan kamu Nak pur. Masih ingat mantra yang aku ajarkan kemarin kan?”
“Iya mbah, masih terngiang-ngiang di kepalaku kok.” Jawab purwanto.
“Bagus, kalau begitu. Selanjutnya.”
“Selanjutnya apa mbah?” Tanyaku.
“Selanjunya, kalian keluar rumahku. Aku masih ada pasien yang lain. Sama kalian sudah selesai. Kalau mau nambah solusi yang lain. Ya nambah cuannya donk.”
Woalah, dobol mowol-mowol. Kampret slampret. Kita di usir.
“Kita cari dimana gagaknya?” Tanyaku.
“Oh iya. Tak tanya si mbah dulu.”
Dan dia masuk lagi ke rumah mbah dukun tadi. Saat keluar, dia membawa seekor gagak yang sudah mati.
“Kampret. Dia sendiri juga jual gagak ini.”
“Lha itu kamu punya uang. Ngapain tadi pake uangku?”
“Hehee, namanya juga berjuang bersama. Ya mesti berkorban bersama lah.”
“Kalau tadi sekalian nanya cari dimana gagaknya, pasti uangku juga yang dipake buat beli itu.”
“Ah sudahlah, ga usah dipikir. Kita istirahat dulu. Nanti malam kita eksekusi ritualnya.”
“Awas saja kalau kamu kabur kayak kemarin malam. Ngatain orang penakut. Kamu sendirinya yang pengecut.”
“Hehee, kita istirahat di rumahmu ya. Kamu tahu sendirikan? Aku sedang bertengkar dengan Istriku.”
“Terserah.”
5
Malam sudah datang. Dan kami menuju daerah Tebo Selatan. Menurut rumor, didepan rumah begaya belanda yang ada disana. Disana ada jalan rahasia menuju lembah kecil. Di bawah lereng sana ada tempat pembuangan dan pembunuhan para maling yang tertangkap. Jadi, tempat itu cukup angker.
Kita kesana dengan membawa sebuah lampu templek. Karena tempatnya lumayan dekat dengan rumah salah satu tuan tanah. Kami takut ketahuan, nantinya di sangka mau maling disana.
Singkat cerita, kita sudah disana. Menyiapkan semuanya. Dan mulai membakar sate gagak. Purwanto sekali lahi khusyu dengan Weshewesnya yang kemarin.
Satu jam, dua jam berlalu. Belum ada tanda apa-apa.
“Krosak!” suara sesuatu bergerak di semak belukar. Dan saat itu juga. Api dari lampu templek itu mati. Jadi, satu-satunya sumber cahaya kali ini adalah bara api pembakaran sate gagak tersebut.
Suara langkah mendekati kami. Kulihat Purwanto gemetaran hebat di tempatnya. Jadi, dia juga menyadari ada sesuatu yang mendekat.
Suara nafas berat terdengar sangat jelas di depanku. Akan tetapi aku tidak bisa melihat apa-apa.
“Ma, mau beli satenya?” Aku bicara tergagap. Niatnya sih bercanda, untuk mengurangi rasa takutku. Namun...
“AKU MAU BELI SATENYA.” Suara menggelegar terdengar persis di depanku. ‘BERIKAN AKU SEMUA SATENYA!”
“Ta, tapi bayar dulu.” Suaraku semakin melemah. Keringat sudah membasahi seluruh tubuhku. Aku seperti habis nyebur ke sungai pakai baju lengkap. Begitulah basahnya tubuhku.
“Seribu gulden. (Nama mata uang jaman kolonial.)” Jawabku.
“MAHAL!!!”
“Kalau ga mau, ya sudah. Aku mau mencari pelanggan yang lain.” Suaraku semakin pelan lagi.
“BAIKLAH. INI UANGNYA.”
‘Bluk’ dia melempar sesuatu di dekat kakiku. Bungkusan terbuat dari kulit. Entah kulit apa itu aku tidak tahu.
Sosok itu mendekat. Nah, saat dia mau mengambil sate gagaknya. Barulah aku bisa melihat sosok itu.
Sosok itu sangat besar, berbulu sangat lebat. Taring-taring mencuat di bibirnya. Matanya sangat besar berwarna merah darah.
Karena saat mengambil sate itu dia harus sediki menunduk. Saat menunduk itu pula wajahnya tepat di depan kepalaku. Bau nafasnya sangat menyengat. Bau bangkai.
‘Byar’ sorot cahaya menyinari kami.
“Sedang apa kalian di tanah milik orang?” Teriak seseorang dari arah jalan masuk ke lembah itu.
Aku mencoba lari, tapi dia menodongkan sebuah pistol.
“Jangan bergerak! Atau tak bedil ndas mu!”
Sosok hitam tadi sudah menghilang. Aku melihat ke arah Purwanto. Dia sudah terbaring, tubuhnya kejang-kejang. Mulutnya keluar busa. Dia pingsan. Bungkusan yang di lempar tadi. Sekarang sudah berubah menjadi gumpalan daun kering. Satenya... sudah lenyap.
“Sedang apa kau di tanah milik majikanku?” Dia bertanya sekali lagi.
Aku menjelaskan kronologinya. Tanpa aku tutup-tutupi. Aku juga menunjukan bukti omonganku. Barang-barang tadi. Dan bekas sate, juga gumpalan yang tadinya berupa bungkusan terbuat dari kulit, yang sekarang menjadi daun.
Aku di gelandang ke rumah majikannya. Purwanto tidak. Dia di biarkan disana sendirian. Tapi tangan dan kakinya di ikat supaya tidak kabur.
Aku di introgasi lagi. Kali ini sang majikan juga ikut hadir. Aku menjelaskan juga alasanku kenapa melakukan ritual aneh tersebut.
Beruntungnya. Walaupun tuan tanah itu orang keturunan belanda. Tapi dia sangat baik. Dia memaafkan aku. Memberikan aku pinjaman uang untuk melunasi hutangku. Dan memberiku pekerjaan. Dengan syarat. Aku tidak di gaji uang sampai kiranya uang yang dia pinjamkan tadi sesuai dan pas, dengan gaji yang harusnya aku terima.
Nama orang belanda itu adalah. Mark jansen.
silahkan komen, dan share. tengkyu ferimat. 😁😁