Kisah cinta anak SMA terhadap seorang dokter tampan yang baru saja dikenalnya di sebuah pesta ulang tahun temannya. Sonia demikian mabuk kepayang dan jatuh cinta pada dokter Monark, tanpa dia menyadari bahwa dia menjadi target sang dokter. Segala nasehat kakaknya tentang pribadi sang dokter, sama sekali tidak didengarkan. Tapi situasi bisa saja berubah. Bagaimana kelanjutan cinta Sonia dengan dokter Monark?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julius caezar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23 : AKU TAK INGIN KEMBALI
Monark menjumpai Idham tengah duduk mencakung di beranda rumah Mang Kasim. "Mana Kirana?" tanyanya.
"Di dalam," sahut Idham sambil menggerakkan kepala ke arah pintu. Monark melangkah terus sambil berkata, "Sana pulang, Dham. Tadi Sonia mencarimu!"
"Apa iya?" seru pemuda tanggung itu kaget. Tanpa menunggu penegasan, dia segera angkat kaki, lari pontang panting untuk menerima perintah dari jantung hatinya. Monark geli melihatnya, tapiurusannya sendiri juga cukup rumit!
Dia menerobos ke dalam setelah permisi. Mang Kasim menyilakannya duduk. "Terima kasih, tidak usah pak. Di mana dokter Kirana?"
"Oh, di kamar dalam," jawabnya menunjuk dengan ibu jari kanan. "Wati itu anak perempuan saya, tadi perutnya sakit sekali sampai menjerit jerit. Saya kuatir sekali. Kebetulan Ati pernah cerita di rumah majikannya sedang ada dokter, jadi saya ke sana. Bapak juga dokter?" tanyanya melihat sikap Monark yang penuh wibawa.
Monark mengangguk. "Boleh permisi masuk pak?"
"Silakan. Silakan," sahut Mang Kasim
Kirana menoleh ketika gorden di ambang pintu menguak. Dia tertegun menatap siapa yang masuk. "Tidak serius kok," katanya spontan, mengira Monark datang untuk membantu. "Biasa, sakit perut bulanan," tambahnya berbisik.
Monark tidak menanggapi semua kata kata Kirana. Dia tetap membisu sambil memandangnya lekat, menyengat. Kirana tercekat. Mau apa lagi ini, pikirnya. Tapi dia tidak mau bertanya. Kalau ada perlu biar Monark yang buka mulut.
Kirana mulai membereskan alat alat ke dalam tas. Pasien yang berusia lima belas tahun itu mengawasinya dengan tenang dari tempatnya berbaring.
"Sudah siap?" tanya Monark seraya mengangkat tas itu dan membawakannya. Kirana membiarkan. Merekapun pamit pada Mang Kasim sekeluarga. Suguhan teh hangat mereka teguk sambil berdiri. Merekapun diantar sampai ke jalan.
"Tak usah kuatir lagi, Mang," kata Kirana sebelum berpisah. "Anak itu sudah saya injeksi dan beri obat."
Suami isteri itu mengucapkan terima kasih berkali kali. Ketika mereka sudah sendirian beberapa langkah, Monark membuka mulut.
"Ada yang mau aku bicarakan. Sebaiknya sekarang saja, sambil berjalan. Sebab di rumah banyak telinga," katanya seraya lengannya menggamit lengan Kirana, mau menggandengnya. Dengan halus, gadis itu mengelak dan berjalan dengan sedikit jarak. Monark menoleh, menatapnya. Kirana tetap melihat lurus ke depan.
"Kirana, aku ingin minta maaf untuk foto itu. Seseorang telah meletakkannya di bawah pintu kamarku." Siapa, pikir Kirana. Pasti itu kerjaan Sonia! Dia tentu telah nguping lagi. Bikin onar terus!
"Aku sadar kini kenapa dahulu kau menjauh. Dan tuduhanku semuanya tidak benar, bukan? Di kantin, Bara cuma membual saja, kan? Atau yang dimaksudkannya lain dari apa yang aku bayangkan?" Monark menoleh ke samping. Mereka reka apa kiranya yang tengah dipikirkan oleh Kirana saat itu. Air mukanya tidak memperlihatkan suatu emosipun yang bisa dia baca.
Mereka telah mendaki lembah. Rumah sudah kelihatan menjulang di hadapan mereka. Udara sudah mulai hangat. Matahari bersinar dengan cerah menjanjikan hari yang panas. Unggas ramai bercericitan di pohon pohon sepanjang jalan. Embun masih menyapu alas kaki, belum lenyap dijilat matahari.
Kirana masih tetap memandang ke depan, seolah dia tengah berjalan sendirian saja. Sebenarnya, suasana dalam hatinya tengah bergolak seperti adonan dodol di kuali. Panas hatinya karena Monark terus menuntut penjelasan sekitar hubungannya dengan Bara. Sengaja dia tidak mau menyangkal tuduhan itu. Apa urusannya dengan Monark bila misalnya dia sudah pernah menyerahkan diri pada Bara? Monark tak perlu tahu apakah sudah pernah atau belum. Kenapa hal yang masih praduga itu dicecarnya terus? Kenapa dianggapnya begiitu penting? Sementara perbuatannya sendiri, yang sudah jelas hitam putihnya, tak sekalipun disinggungnya. Rupanya Monark tak pernah merasa bersalah telah melakukannya.
"Kirana, baiklah bila kau tak mau menjawab soal Bara ini. Tidak apa apa. Aku tetap ingin kau kembali padaku. Kau mau kan, Kirana?!"
Kirana berjalan terus, membisu. Monark mencoba mencekal lengannya. Tapi Kirana mengelak lagi. Malah berjalan lebih cepat ke arah rumah.
"Na!" seru Monark mengejar, tak menyangka Kirana akan lari. "Kirana, kau kenapa? Kenapa kau tidak menjawabku? Masih marah? Baiklah, aku minta maaf sekali lagi. Kau mau kembali padaku, bukan? Mau ya? Kirana, kenapa kau diam saja?"
Mereka sudah mencapai pagar. Monark membuka pintu, menyilakannya masuk halaman. Kirana menoleh. Ditumpahkannya semua isi hatinya.
"Aku muak dengan standard yang diciptakan oleh ego kaum lelaki. Bila seorang wanita pernah lancung sekali, untuk selamanya tak akan ada laki laki yang mau padanya, bukan? Dia harus lancung terus seumur hidup, dianggap tak berharga dan tak akan bisa menjadi baik lagi. Tapi bila laki laki yang lancung - oh tak ada istilah itu bagi lelaki!! - bila pria yang berbuat hal yang sama, tidak ada yang akan menunjuk dan menuduh. Laki laki itu sendiri tak akan merasa punya salah kan?" Kirana menatap tajam berapi api. Monark terpana mendengarnya. "Kirana....."
"Aku belum selesai," bentak Kirana mendadak garang. "Hubunganku dengan Bara mau kau jadikan masalah terus. Padahal tidak jelas. Tapi perbuatanmu sendiri yang begitu gamblang, tidak mau kau sebut. Kau tidak merasa perlu minta maaf untuk itu, kan? Kau tidak merasa tidak setia padaku, kan? Kau hanya minta maaf untuk foto itu, bukan untuk tindakanmu."
"Kirana," kata Monark menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Maaf, maaf banget. Pikiran lelaki memang berbeda sekali jalannya dengan perempuan. Sudah tentu aku sangat menyesal telah melakukannya. Akupun sangat ingin minta maaf untuk itu. Aku akui, kaumku memang terlalu berat sebelah, membuat peraturan yang menyenangkan hati sendiri. Tapi percayalah aku, hal seperti itu tak akan terulang lagi. Aku takkan pernah lagi mengkhianati kau, Na. Sekarang ataupun nanti. Janganlah mengambil keputusan dalam keadaan marah. Pikirkanlah dulu permintaanku. Bila kepalamu sudah mendingin, beritahu aku jawaban yang manis. Sekarang kau sedang marah........" Monark mencoba tersenyum. Berharap mampu menaklukkan hati Kirana. Tapi gadis itu malah mendelik
"Aku tidak sedang marah, Monark," katanya pelan, menggeleng. "Aku akan menjawabmu sekarang saja. Aku rasa, aku tak ingin kembali padamu."
"Ke.....kenapa?" bisik Monark dengan wajah pucat. Tadinya dia sangat yakin bahwa Kirana masih mencintainya dan akan menerimanya kembali. Monark demikian yakin dengan pesonanya. Tapi jawaban Kirana membuat jantungnya seakan berhenti beberapa detik.
"Tak ada kenapa kenapa," sahut Kirana halus, menunduk. "Aku cuma merasa tak ada alasan cukup untuk kembali. Itu saja."
"Kau....kau tidak mencintaiku lagi?" desak Monark menyambar tali penyelamat terakhir. Mereka sudah tiba di depan pintu belakang yang menuju ke dapur.
"Aku sudah menjawabnya barusan, bukan?" sahut Kirana tersenyum manis, lalu membuka pintu dan masuk. Monark berdiri terpaku tanpa daya.