NovelToon NovelToon
Sunday 22.22

Sunday 22.22

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Balas Dendam / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: sun. flower. fav

Di tengah keindahan Jogja, proyek seni yang seharusnya menggembirakan berubah menjadi teka-teki penuh bahaya. Bersama teman-temanku, aku terjebak dalam misteri yang melibatkan Roats, sosok misterius, dan gadis bergaun indah yang tiba- tiba muncul meminta tolong.
Setiap sudut kota ini menyimpan rahasia, menguji keberanian dan persahabatan kami. Saat ketegangan memuncak dan pesan-pesan tak terjawab, kami harus menemukan jalan keluar dari labirin emosi dan ketegangan yang mengancam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sun. flower. fav, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Antara hidup dan mati

Aku memandangi jam dinding yang berdetak pelan, menunjukkan pukul delapan malam. Di hadapanku, sebuah kanvas kosong berdiri tegak dengan rangka kayunya, seolah menantangku untuk mengisi kekosongan itu dengan warna dan makna. Di sampingku, sebuah meja penuh dengan cat warna, kuas, dan palet siap digunakan.

Perkataan Eja yang penuh kemarahan terngiang di telingaku, "Aku ingin sekali membunuh Roats." Kata-kata itu terngiang terus, membuat hatiku campur aduk antara marah, takut, dan bingung. Eja, teman lamaku yang selalu tenang dan penuh perhitungan, kini dipenuhi kemarahan dan dendam.

Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Dia selalu berhasil memprovokasi diriku sendiri untuk tertarik masuk ke neraka," gumamku pada diri sendiri.

Kuambil kuas dan mencelupkannya ke dalam cat, mencoba fokus pada kanvas di depanku. Di ujung kanvas sudah tertempel foto Anindya tanpa busana sesuai keinginan Roats.

Saat aku tenggelam dalam pikiran dan lukisan yang perlahan mulai terbentuk, suara langkah kaki mengusik keheningan. Baskara datang menghampiriku, meletakkan segelas es teh dan sepiring kentang goreng di meja sampingku. “Jangan terlalu memaksakan diri, katanya mau tidur.”

Aku tersenyum. “Mana bisa tidur kalau ada kerjaan belum selesai. Aku rindu ayah ibu, sepertinya harus segera dikerjakan biar cepat pulang bawa uang.”

Baskara terkekeh, tangannya mengelus lembut memberantakkan rambutku. “Kalau gitu biar aku siapin gips dan bahan lainnya biar lebih gampang.”

Tiba-tiba Ebra datang dengan wajah seriusnya. “Eliza kamu mengundang Roats?”

“Oh, tamuku sudah datang?”Aku lantas membersihkan tanganku dan bangkit siap menemui Roats.

Belum aku melangkah, Baskara menahan tubuhku dan merendahkan tubuh agar sejajar denganku. “Mau apa kamu?” wajahnya tegang dan penuh tekanan, begitu pula Ebra.

“Aku hanya mengerjakan tugasku, itu saja,” ujarku santai.

“Ini bukan hanya tugasmu, ini tugas kita Eliza. Kenapa mengundang Roats tiba-tiba tanpa memberi tahu?” tukas Ebra frustasi.

“Sekalipun aku bilang kalian gak akan setuju. Ini tugasku, hanya tugasku.” Aku menepis tangan Baskara lalu meninggalkan mereka berdua yang bingung dan depresi melihat tingkahku yang mengejutkan.

Aku berjalan lihai menuruni anak tangga sambil tersenyum menyambut Roats. Di bawah Roats juga menyeringai menungguku turun sampai ke bawah. Di hadapan Roats ada Evan yang menatapku tajam namun bola matanya tergambar kekhawatiran besar tak terbendung.

“Selamat malam Roats,” sapaku kemudian duduk di hadapan Roats tepat di samping Evan.

Roats tersenyum. “Kamu tidak menyuruhku datang karena ingin membunuhku, kan?”

Aku tertawa menunjukkan kalau aku juga bisa bertingkah angkuh sepertinya. “Memang tampangku seperti pembunuh?”

Roats memanyunkan bibirnya sebentar lalu tertawa tipis. “Lalu sekarang apa?”

“Aku adalah pelukis amatir. Setiap klienku selalu ku minta untuk melihat sebagian proses melukisku agar mereka yakin dengan alur seni menggambarku, dan aku memutuskan untuk segera mengerjapan pesananmu karena mulai muak dengan Jogja dan ratusan dramanya. Aku juga tidak tertarik dengan urusanmu dan Anindya. Lepas kelar, segera berikan uang dan surat gedungnya, dan jangan lagi menghubungi kontak siapapun dari tim kami,” jelasku. Mataku sesekali melihat Ebra dan Baskara yang berdiri gagah namun takut dengan apa yang aku lakukan selanjutnya. Mereka pasti takut aku merencanakan hal yang bisa membahayakan diriku sendiri.

“Oh, begitu, baiklah, tapi aku tidak bisa berlama-lamaan. Jadwalku sangat sibuk,” balas Roats langsung percaya tanpa ada kecurigaan. Ternyata dia lebih bodoh dari yang kukira. Walau begitu bagaimanapun aku harus tetap berhati-hati.

Setelah itu aku berjalan menuju dapur membuka kulkas mengambil sebotol minum berasa lalu berjalan kembali ke ruang tamu. “Aku tidak akan membiarkanmu haus,” ujarku sambil menunjukkan botol minum dan memberi isyarat agar dia segera menyusul ke atas.

Aku melihat Baskara mengepalkan tangannya. “Jangan matikan handphonemu!” bisiknya mencegah jalanku sebentar, lantas aku mengangguk paham.

...****************...

Aku menyuruh Roats duduk di kursi yang sudah kusiapkan, tepat di sampingku. Matanya sedikit bingung namun penuh minat, mungkin tak menyangka akan diperlakukan seperti ini. Aku mengatur kanvas dan palet cat, memastikan semuanya siap. Ketika aku mulai melukis, aku bisa merasakan tatapan Roats yang terus memperhatikan setiap gerakan tanganku.

“Apa ini minuman beracun?” tanya Roats tenang, tatapi suaranya penuh waspada.

Aku hanya tersenyum, tidak langsung menjawab, tapi malah menuangkan airnya ke gelas lain, lalu meminumnya. “Jangan samakan orang lain sepertimu.”

Roats terdiam, kemudian turut menuangkan air. “Memang tahu apa kamu tentangku.”

“Hanya sebatas kamu adalah pelaku di balik video semalam.” Akhirnya aku memberanikan diri mengungkapkan isi pikiranku.

“Kamu tahu apa tentang…” belum sempat melanjutkan aku sudah menyela ucapannya.

“Hanya sebatas melihat kamu menemui gadis di hotel besar di Malioboro, dan sebatas tahu kalau kamu juga memiliki banyak gadis bernasib serupa dengan Anindya.” Aku menghentikan gerakan kuasku lalu tersenyum.

“Baru tahu aku ternyata selain berkreasi, seniman juga pandai memata-matai,” tukas Roats dengan seringainya.

“Kamu pun juga seorang seniman, semua vidio yang kamu simpan di hard disk adalah karya seni yang sangat luar biasa.” Tegasku lalu melanjutkan pekerjaan.

“Anindya sudah jadi temanku lewat jalur akun anonim yang memintaku untuk melukisnya. Karena aku seorang seniman, aku juga perlu tahu apa yang terjadi pada teman-temanku,” kataku sambil fokus melukis.

Dia terdiam, terlihat bingung namun tetap berusaha menjaga wajahnya tetap tenang. Aku melanjutkan lukisanku, membiarkan keheningan mengisi ruangan sejenak.

Roats meneguk airnya lagi, kali ini lebih terburu-buru. Aku bisa melihat bayangan ketakutan di matanya. “Itu berarti aku tidak salah menyamakan diriku dengan seniman sepertimu.”

“Hanya saja aku seniman amatir, jadi darahku bukan sepenuhnya darah seniman, dari apa yang kutahu tadi tentangmu cukup kan untuk menjelaskan seperti apa sebenarnya aku,” ujarku lebih mencekam. Roats tidak segera menjawab, tetapi aku bisa merasakan ketegangan di ruangan semakin meningkat.

...****************...

Tidak perlu menunggu lama, Roats sudah tertidur, mungkin itu efek obat tidur yang kucelupkan ke dalam botol airnya. Aku memandangnya sejenak, memastikan bahwa dia benar-benar tertidur lelap. Napasnya yang teratur menandakan bahwa obat itu bekerja dengan baik.

Dengan tangan bergetar, aku mengambil kamera yang sudah kusiapkan di atas kasur. Mataku juga sebenarnya tidak kuat karena efek obat tidur yang kuminum tadi.

Perlahan. Penuh hati-hati, tanganku membuka pelan-pelan satu per satu kancing kemeja Roats dan juga melepas jasnya. Namun, tiba-tiba pintu terbuka, dan aku terkejut melihat Evan berdiri di sana.

"Evan!" Aku tersentak, mataku melebar dalam kaget.

Evan dengan cepat mendekat dan menjauhkan tanganku dari Roats. “Pergi ke kamarku dengan hati-hati, dan jangan sampai terlihat awak Roats, ini bukan tugasmu, biar aku saja,” jelasnya dengan nada tegas, tapi matanya penuh kekhawatiran.

“Nggak, aku saja,” sangkalku.

Evan menggelengkan kepala. “Jangan mengotori matamu.”

Aku merasa air mata mulai menggenang di sudut mataku. Aku bergegas pergi keluar kamar dengan hati-hati sesuai perintah Evan. Di kamar Evan, sudah ada Baskara dan Ebra. Baskara sibuk menyiapkan tanah liat dan beberapa gips, sedangkan Ebra sibuk mengamati laptonya.

Ebra lantas meraih bahuku dan menggenggamnya erat. “Sekarang kita bisa, kan? Saling mengandalkan. Di sini siapa yang mau lihat kamu menghadapinya sendiri.”

Aku langsung memeluk Ebra, sebelumnya aku juga yakin mereka tidak akan membiarkanku melakukan apapun sendiri. “Kita habisi Roats sebisanya saja,” bisik Ebra sangat dekat dengan telingaku. Aku spontan mengangguk semangat walaupun diiringi air mata.

Selanjutnya semua kupasrahkan pada Evan, Ebra dan Baskara. Ini sudah menjadi rencanaku dan aku rela mengorbankan nyawaku asalkan hak Anindya terbalas. “Aku lihat kamu tadi sore di dapur. Dapur itu area kuasaku, apapun yang terjadi disitu aku pasti tahu,” Ujar Baskara menghentikan pekerjaannya.

“Aku sudah merencanakan matang-matang hal itu.” Aku menyahut segelas kopi milik Ebra, kemudian ku minum perlahan berharap bisa menerjang obat tidur yang masuk ke tubuhku tadi.

Baskara mengeluarkan sisa obat tidur yang tadi ku tinggal di dapur. “Ini obat tidur yang hanya berpegaruh sebentar, andai Roats bangun dan tahu apa yang sedang kamu lakukan, kamu bisa menjamin kita pulang ke Semarang bawa kabar baik buat ayah ibumu?”

Aku terdiam sejenak, menggigit bibir dengan kasar. “Maaf.” Hanya satu kata itu yang sanggup kuutarakan, karena wajah Ebra dan Baskara nampak khawatir namun sedikit menyeramkan.

“Setelah mengganti lukisan dan patung Anindya menjadi Roats, lalu berikutnya apa?” tanya Ebra serius.

Sesudah menegakkan dudukku, aku mengeluarkan handphone dan menunjukkan pesanku dengan manager teater ballerina. “Aku mengajukan permintaan untuk mengadakan pesta perayaan ulang performa Anindya yang rusak kemarin, lalu diam-diam menampilkan hasil foto dan lukisan Evan malam ini.”

“Setelah itu, kamu akan menyerahkan diri pada Roats untuk siap dibunuh? Gak segampang itu Eliza,” tukas Ebra agak geram melihatku yang selalu memutuskan rencana amatir tanpa memikirkan apa yang terjadi selanjutnya. Aku sendiri bingung kenapa aku jadi seceroboh ini hanya karena kesal dan marah.

"Toh, memang itu yang aku inginkan, disini Aku mempertaruhkan nyawaku. " Aku menundukkan kepala, memainkan kukuku.

“Tolong unduh vidio-vidio yang ada di sini sesuai kebutuhan, perjelas saja ukuran vidionya, mungkin itu bisa membantu.” Baskara menyodorkan hard disk putih bertuliskan ‘monitor 2023’ ke atas meja.

“Apa ini?” Ebra mengambilnya dengan cepat.

“Isinya data-data dan ratusan vidio cctv 2023, ini aset penting hotel pandji dan aku berjanji segera mengembalikannya.” Baskara menjelaskan tidak mendeteil.

“Hotel pandji?” aku terheran menatap Baskara lebih serius.

“Kemarin malam tepat saat kamu pergi ke teater, aku membuntutimu diam-diam. Aku juga melihat langsung vidio Anindya itu di layar panggung teater. Di sana aku memperhatikan penuh kamu, dan juga Eja yang duduk di sebrang kursimu. Aku juga turut memperhatikan Roats yang duduk di kursi paling belakang.” Baskara menceritakan hal yang membuat aku dan Ebra terkejut. Jadi kemarin dia mengikutiku?

“Untuk apa?” aku menyela ucapan Baskara.

“Jangan tanya untuk apa, sejak kapan kamu gak nganggap Aku, Ebra bahkan Evan bisa jaga kamu baik-baik. Kamu pikir kita seegois itu membiarkanmu keluar sendiri dengan situasi yang mencekam seperti ini? Aku tahu kamu bukan cewek lain yang hanya bisa diam takut menghadapi apapun, tapi stop berpikir kalau kamu tidak lemah seperti cewek pada normalnya.” Penegasan Baskara barusan berhasil menyentuh lubuk hatiku.

“Evan bilang kamu berjalan sempoyangan tanpa arah sampai lupa diri dan hampir mencelakakan nyawamu sendiri, selemah itu kamu di mata kami. Hanya karena Eja menyalahkanmu karena kelalaian yang bukan murni kesalahanmu, kamu sampai rela membiarkan nyawamu. Bahkan keinginan besarmu menjaga Anindya juga bukan karena kamu kasihan ke Anindya, kan? Matamu kelihatan, itu karena Eja. Cowok yang gak akan pernah tahu apa yang terjadi pada perasaanmu. Demi cowok seperti Eja kamu mebiarkan jiwa kebaikanmu mengorbankan segalanya, kamu rela masuk melakukan apapun walau akan melukaimu. Mengawasimu memasukkan obat tidur bahkan cat air ke botol sampanye untuk membalaskan perlakuan Roats, selemah itu seorang Eliza di mata kami. Karena Eja yang tiba-tiba jadi gila gara-gara pacarnya komah setelah mecoba bunuh diri lalu menyalahkanmu walau itu bukan sepenuhnya kesalahanmu, dan kamu? Mengabaikan keselamatanmu sendiri untuk memikirkan apa yang harus kamu lakukan untuk membalas Roats, selemah itu kamu. Eja memang teman kecilmu, dan bagimu Eja adalah segalanya, tapi kamu, segalanya di mataku, Evan dan Ebra. Kamu ngerasa diabaikan Eja, tapi kami pun juga merasa begitu terhadapmu. ” Air mataku sudah tidak terbendung, ternyata memang selemah itu aku sampai merelakan apapun untuk Eja yang sudah tidak akan peduli atas keberadaanku.

“Di hard disk itu ada rangkuman waktu di mana Roats menemui banyak gadis entah apa yang dilakukan di sana. Yang terpenting, di situ juga terekam kaluar masuknya Anindya dan Roats. Aku mencatat waktunya, setiap hari Minggu jam 22.22 gak kurang dan gak lebih Anindya dan Roats masuk ke kamar itu, sisa gadis lainnya di hari jumat siang.” Baskara menerangkan panjang kali lebar. Aku dan Ebra mengangguk paham.

“Kamu Eliza, bawa handphone Anindya padaku, bair aku cari tahu apapun di sana,” pinta Ebra. Aku hanya mengangguk paham.

...****************...

...Ternyata meletakkan perasaan pada orang yang sama sekali tidak menginginkan kita, adalah kesalahn besar yang tidak bisa dimaafkan siapapun yang mendengarnya....

1
pausberkuda
semangattt🫶👏👏
Azzah Nabilah: weeehhhhh🥲
total 1 replies
ׅ꯱ƙׁׅᨮׁׅ֮ᥣׁׅ֪ꪱׁׁׁׅׅׅꭈׁׅɑׁׅ ηα
kerja bagus ija
Azzah Nabilah
jangan lupa ikuti kisan Eliza dan eja ya
Ohara Shinosuke
Semangat terus thor, aku yakin ceritamu akan menjadi luar biasa!
boing fortificado
Yang bikin author sebisanya aja ya, pengen lanjutin ceritanya.
Min meow
Tidak ada yang kurang.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!