kisah seseorang yang berjuang untuk lepas dari perjanjian tumbal yang ditujukan kepadanya karena sebuah kedengkian. Ikuti kisahnya selanjutnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sesat
Ira tersenyum girang dengan perhiasan yang diberikan oleh Ki Pahing padanya. "Wah,makasih banget, Ki, kamu memang baik," ucapnya dengan hati yang sangat senang.
"Itu belum seberapa,Mbak. Tetapi kamu harus mengikuti semua apa yang ku katakan!" ucap pria itu dengan penuh penekanan.
"Asalkan ada timbal baliknya saya pasti akan mengikuti semua perkataan Ki Pahing," sahutnya dengan mantab.
"Bagus, kalau begitu Mbak Ira segera pulang sebelum ada yang melihat dan mereka curiga," usir pria tersebut.
Wanita yang tengah tersesat imannya itu menganggukkan kepalanya, lalu membenahi pakaiannya dengan segera. Ia bergegas beranjak keluar dari kamar sang pria untuk segera pulang.
"Tunggu," cegah Ki Pahing.
"Ada apa lagi, Ki? Mau minta nambah service lagi?" tanyanya dengan senyum yang begitu genit.
Ki Pahing tersenyum datar. "Besok jangan lupa rumah mbak Ira dicat warna hijau terang ya,"
Ira mengerutkan keningnya, ia masih penasaran. "Emangnya kenapa, Ki?"
"Untuk syarat jika kamu memang mengikuti ritual yang saya jalankan," ungkapnya.
Wanita yang kini menjadi dengan semua kebencian yang menggunung dihatinya hanya menganggukkan kepalanya, baginya yang terpenting semua niatnya terkabulkan.
Ia tak sabar ingin melihat bagaimana keluarga kakak kandungnya habis satu persatu menjadi tumbal kebenciannya.
Ia pulang kerumah mengendarai sepeda motornya..ia sangat senang hari ini. Bagaimana tidak bahagia, ia mendapatkan perhiasan yang cukup banyak, bahkan mendapatkan kenikma--tan surgawi dari seorang Ki Pahing yang ia anggap perkasa.
Ia melintasi sebuah kedai grosir yang cukup besar bagi ukuran orang dikampung. Ia turun dari motor dengan wajah sumringah. sialnya dikedai itu ada beberapa orang ibu-ibu yang juga sedang berbelanja.
Melihat Ira memasuki kedai dengan pakaian yang serba ketat dan begitu mencolok bak seorang gadis remaja yang sedang pu--bertas, ia melangkah masuk tanpa menghiraukan pandangan orang-orang padanya.
"Ya ampun, Mbak Ira. Belum lepas iddah mengapa pakaiannya seperti ini, tidak baik bagi perempuan saat suami baru saja meninggal berpenampilan sangat vulgar," ucap seorang wanita yang mengenakan pakaian syar'i dengan nada sangat rendah agar yang lain tak mendengarnya.
Seketika Ira membolakan kedua matanya, ia tak.suka jika ada orang yang ikut campur akan urusan hidupnya."Eh, Mbak, jangan urusin saya, urus saja diri mbak! Apa situ kira dengan pakaian syar'i seperti ini sudah jamin masuk surga dan saya yang berpenampilan begini pasti.masuk neraka-hah!" jawab Ira dengan sengit.
Orang-orang yang tadinya tidak mendengar percakapan mereka, kini mendengarnya dengan jelas dan mereka yang ada dikedai tersentak kaget dengan ucapan Ira yang begitu angkuh.
Seorang wanita yang juga menggunakan hijab mengedipkan matanya kepada wanita berpakaian syar'i yang merupakan lawan bicara Ira.
Wanita berpakaian syar'i itu menghela nafasnya,lalu mengerti maksud dari tetangganya itu, dan ia memilih untuk tidak lagi menasehati Ira yang saat ini sangat keras kepala. Bahkan kejadian tempo hari yang mana ia kepergok oleh warga sedang bercinta dengan Danang tak menjadi jalan pertaubatannya.
Mereka bergegas dengan belanjanya dan memilih untuk menjauhi Ira yang semakin hari semakin menjadi angkuh.
Saat bersamaan, Dewi memasuki kedai, sebab ia ingin membelikan susu formula untuk anak Kanaya yang rewel terus dari tadi.
Melihat bibinya ada juga dikedai, ia teringat peristiwa dipasar pagi tadi. Tetapi ia tak ingin menanyakannya, sebab ia sangat terburu-buru dan sang bibi memalingkan wajahnya saat mereka berpapasan.
Dewi mengambil sekotak susu, dan jarak ia dengan sang bibi sangat dekat. "Bi, mengapa bibi tidak datang dicara malam ketiga ibu?" tanya Dewi yang ternyata tidak tahan untuk menyimpannya didalam hati.
"Memangnya harus datang, ya? Gak penting juga!" jawab Ira ketus, lalu melangkah menuju kasir setelah mendapatkan apa yang dicarinya.
Deeeeegh...
Jantung Dewi seolah terlepas dari tempatnya saat mendengar ucapan dari bibi kandungnya sendiri. Tanpa sadar bulir bening jatuh disudut matanya. Ia sudah kehilangan ibunya, seharusnya sang bibi yang menjadi pengganti ibu mereka, sebagai tempat berbagi keluh kesah.
Akan tetapi, wanita itu seolah tak ingin menjadi peran yang seharusnya, bahkan ia bersikap bengis.
Wuuuuuusssh...
Sesaat Dewi merasakan jika hawa panas baru saja menyapa wajahnya. Seketika ia merasakan punggung belakangnya menebal dan bulu kuduknya meremang.
Ia melihat sang bibi sudah pergi, dan ia mempercepat belanjanya.
Dewi mengendarai motornya menuju pulang melewati jalanan yang sudah semakin sepi sebab waktu sudah menunjukkan pukul hampir 12 malam, dan mereka baru saja mengalami peristiwa heboh dengan kejadian yang menimpa Wardah barusan dan hampir membuat mereka panik.
Saat akan memasuki simpang rumah mereka, tiba-tiba mesin motor mati. "Astaghfirullah," ucap wanita itu, lalu mencoba menghidupkan mesinnya, tetapi juga tak mau menyala.
Punggungnya semakin menebal, ia merasakan makhluk tak.kasat mata sedang mengikutinya dibagian belakang dan itu sangat nyata.
Meskipun Dewi tak dapat melihat makhluk tersebut, tetapi ia dapat merasakan kehadirannya melalui aroma, dan suhu yang dihadirkan.
Dewi mencoba mendorong sepeda motornya menuju rumah, karena jaraknya hanya tinggal 100 meter saja.
Akan tetapi, motornya terasa sangat berat, seolah ia sedang mendorong sebuah mobil, yang mana motornya tak dapat bergerak sedikitpun.
Wuuuuuss....
Tiba-tiba udara bersuhu panas kini menerpa kulit wajahnya kembali, ia merasa jika ini sungguh sangat terlalu. Kegelapan malam yang mana tidak adanya penerangan lampu kalan dan mengandalkan lampu-lampu dari rumah warga, membuat suasana semakin mencekam.
"Dasar setan sialan!" maki Dewi dengan kesal. Ia membayangkan keponakannya yang saat ini sedang membutuhkan susu tersebut dengan segera, tetapi ia justru mendapatkan gangguan.
"A'uzubillahiminassyaithan nirajiim...," ucapnya dalam hati.
"Allahu laa ilaaha ilaa huwwal hayyul qayyum...," Dewi mulai melafazkan doa yang sangat terkenal, yaitu ayat qursi sebagai benteng perlindungannya dari makhluk durjana yang berusaha untuk mencelakainya.
Ia terus menerus melafazkannya hingga berulang kali, sehingga perlahan sesuatu yang membuatnya terganggu menghilang dengan diiringi suara pekikan yang parau.
Sesaat ia bernafas lega dan mengucapkan syukur, kemudian menghidupkan mesin motornya kembali, dan ternyata dapat menyala, ia bergegas untuk pulang.
Sementara itu, Ira sudah tiba dirumahnya. Seseorang sedang mengintainya sedari tadi dibalik dinding rumah yang gelap.
Saat ia membuka pintu rumahnya dan mendorong motornya untuk masuk, seseorang ikut menerobos masuk hingga hampir membuatnya terjatuh.
Pria itu menutup pintu dengan cepat dan Ira tersentak kaget melihat siapa yang ada didalam rumahnya, siapa lagi jika bukan Danang. Sepertinya kejadian saat dimassa warga waktu itu tak membuatnya menjadi jera.
Ira menstandarkan motornya. Ia menatap pria dihadapannya. "Mau apa kamu kemari!" tanya Ira dengan nada berbisik namun penuh penekanan. Ia tak ingin warga memergoki hal ini lagi.
"Aku ingin bagian dari perhiasan yang diberi oleh Ki Pahing tadi," jawabnya.
klu bisa buat Ki Pahing meninggoi jg dg cepat 🤣🤣
ini ira duduk bersila loh🙈🙈🙈🙈🙈🙈🙈🤭🤭🤭🤭🤭🤭🤣🤣🤣🤣🤣
yahhh dasar manusia PD g normal