Caca dan Kiano memutuskan untuk bercerai setelah satu tahun menikah, yaitu di hari kelulusan sekolah. Karena sejak pertama, pernikahan mereka terjadi karena perjodohan orang tua, tidak ada cinta di antara mereka. Bahkan satu tahun bersama tak mengubah segalanya.
Lalu bagaimana ceritanya jika Caca dinyatakan hamil setelah mereka bercerai? Bagaimana nasib Caca selanjutnya? Mampukah ia menjalani kehamilannya tanpa seorang suami? Dan bagaimana reaksi Kiano saat tahu mantan istrinya tengah mengandung anaknya? Akankah ia bertanggung jawab atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon desih nurani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23
Setelah menemui sang Daddy, Kiano pun pulang ke rumah untuk menjenguk Mommy terkasihnya.
"Di mana Mommy?" Tanya Kiano pada sang pengurus rumah.
"Dibelakang, Den." Jawab wanita paruh baya itu. Kiano yang sudah tahu di mana Ariana berada pun langsung beranjak menuju halaman belakang.
"Mom." Sapanya saat melihat Ariana tengah sibuk merawat tanaman hiasnya.
Ariana memekik kesenangan karena putranya pulang. "Aaaa... akhirnya anak Mommy pulang." Buru-buru ia melepas sarung tangannya lalu berlari kecil mendekati Kiano.
Kiano tersenyum dan langsung memeluknya. "Apa kabar Mom?"
"Mommy sehat, Sayang. Kamu gimana? Kenapa baru pulang sekarang? Di mana kamu tinggal selama ini? Makan kamu gimana?" Tuntut Ariana yang selama ini mencemaskan putranya itu.
Kiano melerai pelukan, lalu menatap wajah cantik sang Mommy lekat. "Aku baik-baik aja, Mom. Aku juga numpang di apartemen Agra."
Ariana balas menatap putranya itu penuh rasa bersalah. "Maafin Mommy ya? Mommy sama Daddy terlalu kejam sama kamu." Diusapnya lengan Kiano lembut.
"It's okay, Mom. Itu memang salahku."
Ariana menghela napas. "Kamu udah makan?"
Kiano mengangguk. "Aku ke sini cuma mau lihat kondisi Mommy."
"Maksudnya? Kamu mau pergi lagi?" Kiano mengangguk.
"Aku kerja, Mom."
Ariana kaget mendengarnya. "Kerja di mana? Kantor Daddy?"
Kiano menggeleng. "Aku jadi waiter."
"What?" Kaget Ariana menatap anaknya itu tak percaya. "Waiter? Kamu becanda kan?"
Kiano tersenyum kecil. "Aku serius, Mom." Sahutnya lalu membawa sang Mommy masuk. Sedangkan Ariana masih tak percaya putranya menjadi seorang pelayan.
Pelayan? Yang benar saja.
Keduanya beranjak menuju ruang tengah dan duduk di sofa.
"Kenapa harus jadi pelayan, Kiano? Kamu bisa minta sama Daddy, pasti dikasih kerjaan yang lebih bagus." Protes Ariana masih tak terima putranya menjadi seorang waiter.
"Mom, aku mau belajar mandiri. Lagian gaji waiter juga lumayan. Mommy lupa ya bentar lagi aku bakal jadi Ayah?" Kiano meraih tangan Ariana lalu mengusapnya lembut. "Aku mau jadi Ayah yang bertanggung jawab, Mom."
Ariana menatap putranya iba. "Ini salah Mommy."
"Mom, gak ada yang salah dalam hal ini. Aku yang salah. Lagia udah seharusnya aku mengepakkan sayap sendiri."
"Enggak, Mommy masih gak terima kamu jadi waiter. Temui Daddy kamu, minta untuk atur posisi kamu di kantor. Kalau kamu gak berani, Mommy yang minta." Putus Ariana dengan tekad bulat.
Kiano tersenyum geli. "Mom, aku rasa itu gak perlu. Aku pengen hidup mandiri. Lagian aku gak enak terus sembunyi di ketiak Daddy. Udah seharusnya aku nyari jati diri."
"Kiano." Ariana memeluk putranya itu penuh sayang. "Sekarang Mommy nyesel karena ikutan ngusir kamu. Tapi kamu juga salah sih, terus gimana dong? Mommy gak mau kamu kerja kasar. Dari kecil kamu hidup enak terus. Sekarang malah kayak gini. Pokoknya Mommy bakal minta Daddy buat atur posisi buat kamu di kantor."
Kiano menarik diri dari pelukan Ariana, lalu menatapnya lekat. "Mom, aku rasa itu gak perlu."
"Gak mau tahu, Mommy gak setuju kamu kerja kasar. Lagian gajinya gak seberapa, kalau di kantor kamu pasti bisa beli apa yang kamu mau." Kekeh Ariana.
Kiano memijat batang hidungnya, sepertinya ia menyesal karena memberi tahu Ariana soal pekerjaannya. Namun, tiba-tiba saja ia malah mengingat tentang Caca.
Ah, apa Mommy bakal lakuin hal yang sama kalau tahu Caca kerja? Apa aku bilang aja ya? Mungkin aja Mommy bisa bujuk Caca buat berhenti kerja. Kiano tampak berpikir.
"No, kok malah ngelamun sih?" Tegur Ariana membuat Kiano terhenyak.
"Mom, tolong bujuk Caca buat berhenti kerja." Mohon Kiano yang lagi-lagi membuat Ariana kaget.
"Caca kerja?" Kiano mengangguk.
"Dia kerja di tempat yang sama dengan aku, Mom."
Ariana melotot. "Kenapa kamu biarin, Kiano?" Pekiknya memukul lengan Kiano kasar. "Kamu lupa Caca lagi hamil anak kamu hah? Gimana kalau dia kenapa-napa?"
"Aku udah larang, Mom. Tapi dia gak mau dengar, wajar juga karena aku bukan siapa-siapanya dia sekarang." Jawab Kiano adanya. "Mungkin kalau Mommy yang ngomong, dia pasti dengerin."
"Caca. Ngapain coba dia kerja? Kalau kurang uang Mommy bisa kasih. Lagian Mommy yakin Ferry juga gak akan biarin anaknya kerja. Atau mereka juga gak tahu lagi?" Kiano menggeleng karena tak yakin.
"Ck, ya udah nanti Mommy coba bujuk dia. Sekalian Mommy juga bawa Tias buat bujuk Caca supaya berhenti kerja. Lagian buat apa sih dia kerja? Emangnya uang yang Daddy kamu kirim tiap bulan buat apa?" Mendadak Ariana kesal pada Caca. Tentu saja ia kesal karena anak itu dalam keadaan hamil. Bagaimana jika terjadi hal yang tak diinginkan? Ah, Ariana pusing sekarang.
Kiano tersenyum senang, berharap Caca benar-benar berhenti bekerja.
****
Menjelang siang, Ariana dan Tias pun benar-benar mendatangi apartemen Caca. Tentu saja bumil itu kaget saat melihat mereka berdua datang bersamaan. "Ma, Mom?"
"Mama sama Mommy Ariana mau ngomong sama kamu." Tanpa ragu Tias masuk lebih dulu, lalu di susul oleh Ariana. Sedangkan Caca cuma menatap keduanya bingung.
"Ca." Panggil Mama Tias yang sudah duduk di sofa. Sontak Caca pun menutup pintu dan bergegas menyusul mereka. Lalu duduk di hadapan mereka berdua yang tengah memberikan tatapan intimidasi.
"Ada apa ya? Kok auranya aneh?" Tanya Caca penasaran bercampur takut.
Mama memberikan tatapan tak senang. "Mama udah dengar kalau kamu kerja, Caca."
Deg!
Caca terkejut mendengarnya. "Eh, Mama tahu dari siapa?" Ditatap keduanya bergantian.
"Jadi bener kamu kerja, Ca? Buat apa? Kamu lupa kalau lagi hamil? Perut kamu udah gede, Ca. Kalau kamu kenapa-napa gimana?" Sembur Tias memelototi anaknya itu.
Ariana mengusap lengan Tias. "Jangan dimarahin Caca-nya, Jeng. Kasian lagi hamil."
Tias menghela napas kasar, ia benar-benar tak bisa menahan emosinya setelah mendengar dari Ariana jika putrinya bekerja. "Jelasin sama Mama, buat apa kamu kerja?"
Caca meremat jemarinya sambil menatap keduanya bergantian. "Caca cuma pengen rasain punya uang dari hasil keringat sendiri, Ma." Jawabnya gugup.
"Caca." Geram Tias dengan sorot mata tak percaya. "Kamu bisa rasain itu nanti, bukan sekarang. Jangan lupa kamu lagi hamil."
Caca setengah menunduk. "Tapi Caca gak mau nyusahin kalian terus. Anak ini anak Caca, Caca cuma mau rawat dia dengan uang Caca sendiri." Cicitnya.
"Ca, gak masalah kamu mau kerja atau apa pun itu. Tapi jangan sekarang ya? Mommy sama Mama cuma gak mau kamu kenapa-napa. Kondisi hamil itu gak mudah, Ca. Mungkin belum terasa karena perut kamu masih kecil, tapi kalau udah jalan lima bulan kamu pasti lebih banyak keluhan. Mommy sama Mama khawatir sama kondisi kamu." Jelas Ariana selembut mungkin. Wanita itu pun berpindah duduk di sebelah Caca, merengkuhnya lembut.
"Kamu juga masih harus kuliah. Kalau ditambah kerja lagi pasti kamu gak punya banyak waktu istirahat. Belum lagi tugas-tugas kuliah yang numpuk. Coba kamu pikirin lagi ya sayang?" Bujuk Ariana lagi.
Caca melirik sang Mama yang masih memasang wajah kesal.
"Mama sama Papa kerja keras buat kamu, Ca. Supaya kamu hidup enak di sini, supaya kamu gak capek. Mama sama Papa gak mungkin kehabisan uang kalau cuma biayain kamu sama anak kamu nantinya." Lirih Tias dengan pandangan kecewa.
Caca menggeleng kecil. "Bukan gitu maksud Caca, Ma. Caca cuma pengen rasain punya uang sendiri, Caca pengen beli sesuatu buat anak Caca dari hasil jerih payah Caca sendiri. Lagian Caca cuma kerja paruh waktu, kerja kalau ada waktu kosong aja, Ma, Mom. Please, izinin Caca kerja sebulan aja. Setelah itu Caca berhenti, janji." Mohonnya seraya menangkup kedua tangan.
Ariana dan Tias pun saling melempar pandangan. Lalu Ariana pun mengusap pundak Caca. "Ya udah, tapi janji sama Mommy dan Mama ya? Kamu langsung berhenti kerja setelah satu bulan."
Caca mengangguk antusias. "Caca janji," ditatapnya sang Mama penuh harap.
Akhirnya Tias pun menghela napas berat. "Ya udah, mulai besok Mama antar Bik Nur ke sini buat bantu kamu. Jadi pulang kuliah atau kerja kamu gak capek lagi. Langsung istirahat."
Caca tersenyum senang. "Makasih, Ma."
****
Setibanya di restoran, Caca langsung menarik Kiano keluar dan membawanya ke tempat yang lumayan sepi dan jauh dari jangkaun teman-temannya yang kemungkinan akan menguping. Tentu saja karyawan yang melihat itu merasa heran bercampur penasaran.
"Lo kan yang ngadu sama Mommy kalau gue kerja di sini?" Sembur Caca menatap Kiano penuh permusuhan.
Kiano menatapnya lekat. "Iya, aku cuma gak mau lihat kamu capek, Ca."
Caca tertawa sumbang. "Udah gue bilang sama elo, Kiano. Stop buat peduli sama gue, gue gak butuh itu. Urus aja hidup lo sendiri, Brengsek. Mending peduliin aja cewek lo yang baik hati itu, mungkin aja dia juga hamil anak elo." Katanya penuh penekanan.
Kiano mengeratkan rahangnya. "Ca...."
"Gue makin benci sama elo, No. Lo gak pernah ngertiin perasaan gue, elo selalu mentingin perasaan elo sendiri. Egois tahu gak?" Napas Caca memburu karena terlalu emosi. Bahkan air matanya tumpah begitu saja.
"Aku peduli sama kamu dan calon anak kita, Ca."
"Buat apa lo peduli hah? Lo lupa, lupa kalau dulu elo gak pernah ngakuin kalau kita pernah tidur bareng hah? Lo limpahin semua kesalahan sama gue, lo tuduh gue tanpa perasaan. Lo anggap gue ini apa, Kiano? Lo kira hati gue terbuat dari baja?" Caca mendorong Kiano sekuat tenaga. Namun pemuda itu hanya mundur selangkah karena tenaga Caca tak seberapa untuknya.
"Andai gue gak hamil, elo bakal peduli?" Caca tertawa getir. "Enggak, Kiano. Lo gak bakal peduli sama gue. Masa depan gue juga gak elo peduliin, yang elo pikir itu cuma masa depan lo doang." Teriakan Caca harus tertahan karena masih sadar jika mereka berada di lingkungan tempat kerja.
"Dulu elo juga yang selalu bilang sama gue, kita gak usah peduli kehidupan masing-masing. Terus kenapa sekarang lo terus ganggu hidup gue, Kiano? Bahkan lo sampe ngadu ke Mommy kalau gue kerja di sini. Brengsek lo!" Caca menendang tulang kering Kiano sangking emosinya. Alhasil pemuda itu meringis kesakitan. "Mulai sekarang jangan pernah nunjukin muka lo lagi di depan gue. Gue enek liat muka elo."
Kemudian Caca pun meninggalkan tempat itu dan hari ini ia sama sekali tak berniat untuk bekerja karena moodnya sudah hancur.
"Ca!" Panggil Kiano masih meringis karena tendangan Caca di kakinya lumayan menyakitkan.
Caca masuk ke mobilnya dan membanting pintu dengan keras. Lalu menghapus jejak air matanya dengan kasar. "Brengsek!" Umpatnya seraya memukul setir. Lalu menyandarkan punggungnya di kepala kursi sambil menarik dan membuang napas secara beraturan. Mencoba menormalkan suasana hatinya. Sejak hamil emosinya sangat sulit ia kontrol.
tetap semangat ya kak upnya 💪💪💪
semoga terus berlanjut dan lancar hingga ending nya nanti 👍👍🤗🤗🤗