Emma tak pernah menyangka akan mengalami transmigrasi dan terjebak dalam tubuh istri yang tak diinginkan. Pernikahannya dengan Sergey hanya berlandaskan bisnis, hubungan mereka terasa dingin dan hampa.
Tak ingin terus terpuruk, Emma memutuskan untuk menjalani hidupnya sendiri tanpa berharap pada suaminya. Namun, saat ia mulai bersinar dan menarik perhatian banyak orang, Sergey justru mulai terusik.
Apakah Emma akan memilih bertahan atau melangkah pergi dari pernikahan tanpa cinta ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Sergey duduk di balik meja kayunya yang besar, ruangan kantor yang luas terasa sunyi hanya diiringi suara detak jam dinding. Secangkir kopi yang sudah setengah dingin tergeletak di samping tumpukan dokumen yang belum sempat ia sentuh.
Pandangannya kosong, terhenti di layar komputer yang menyala, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Hari itu terasa biasa saja, sampai suara ketukan pintu yang pelan, namun tegas, membuyarkan lamunannya.
"Masuk." Suara Sergey datar, tanpa ekspektasi apa pun.
Pintu terbuka perlahan, dan saat ia mengangkat wajahnya, seluruh dunianya seakan berhenti. Waktu seakan hilang, dan hanya hawa dingin yang menghiasi ruangan tersebut.
Wanita itu berdiri di ambang pintu sesosok yang pernah mengisi hidupnya dengan cahaya sebelum semuanya runtuh seperti abu. Mata mereka bertemu, dan untuk sesaat, Sergey lupa bagaimana cara bernapas dengan benar.
Ia menelan ludah, mencoba mengendalikan debaran tak wajar di dadanya. "Aria...?"
Nama itu keluar dari bibirnya hampir seperti bisikan. Nama yang dulu pernah menjadi tujuan dari segala ambisi, tempat semua harapannya berlabuh, sebelum akhirnya tenggelam dalam perpisahan yang tak pernah benar-benar bisa ia pahami.
Aria melangkah masuk, langkahnya tetap anggun seperti yang selalu ia ingat. Tak ada perubahan besar dalam dirinya, wanita itu masih dengan sorot mata tajam yang menyimpan ribuan cerita, masih dengan kehadiran yang mampu mengguncang kestabilan yang selama ini susah payah ia bangun.
Sergey mengatur napasnya, mencoba mencari kendali dalam situasi yang tiba-tiba berubah menjadi begitu mencekam.
"Kenapa kamu ada di sini?" tanyanya, berusaha terdengar tegas, padahal di dalam dirinya, segala perasaan sedang berkecamuk.
Aria tersenyum kecil, senyum yang membawa Sergey kembali ke masa lalu yang selama ini ia pendam.
"Aku hanya kebetulan lewat... dan ingin tahu apakah kamu masih mengingatku, Sergey." Jawab Aria, suaranya mengalun begitu lembut di gendang telinga Sergey.
Sergey menahan napas. Seakan-akan seluruh ruangan mendadak menyempit, membuatnya sulit berpikir jernih. Karena, bagaimana mungkin ia bisa lupa? bagaimana mungkin seseorang bisa melupakan satu-satunya hal yang pernah membuatnya merasa hidup dan mati di saat yang bersamaan.
Dan kini, masa lalu itu berdiri tepat di hadapannya tanpa diundang, tapi membawa badai yang bisa menghancurkan segalanya.
Sergey meraih asal berkas di atas meja, lalu mulai membacanya. "Pergilah, aku sibuk."
Bukannya pergi, Aria justru menghampiri meja Sergey lalu duduk di atas meja kerja pria tersebut.
Aria menyilangkan kakinya dengan anggun, tatapannya tak lepas dari wajah Sergey yang berusaha terlihat tak terganggu. Tapi ia tahu, pria itu bukanlah aktor yang baik dalam berbohong.
"Kamu masih sama saja," ujar Aria pelan, suaranya mengandung nada nostalgia. "Selalu berpura-pura sibuk saat tidak ingin menghadapi sesuatu."
Sergey mendesah, meletakkan berkas di tangannya dengan sedikit lebih keras dari yang diperlukan.
"Aku tidak berpura-pura. Aku benar-benar sibuk," katanya tanpa menatap Aria.
Aria tersenyum kecil. "Benarkah? atau kamu hanya takut melihatku lagi?"
Sergey akhirnya mengangkat wajahnya, matanya menatap tajam pada wanita itu. "Aku tidak takut apa pun, termasuk kamu."
"Oh, begitu?" Aria mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, membuat jarak di antara mereka semakin menipis. "Kalau begitu, kenapa kamu bahkan tidak bisa menatapku lebih dari lima detik?"
Sergey menghela napas, lalu bersandar di kursinya. "Apa yang kamu inginkan, Aria? kita sudah selesai."
Aria memiringkan kepalanya, senyumnya terlihat samar. "Mungkin aku hanya ingin melihat apakah kamu bahagia dengan pilihanmu, Sergey."
Tatapan Sergey mengeras. "Aku sudah menikah, Aria. Tentu saja aku bahagia."
"Aku tahu," Aria mengangguk pelan. "Dengan Eleanor, bukan? anak dari keluarga Rosenthal. Wanita manja yang tidak memiliki attitude sama sekali, wanita yang sudah mengekor padamu sejak lama."
Sergey tidak menjawab, tapi keheningannya sudah cukup menjadi jawaban.
Aria menatap pria itu lekat-lekat, mencari sesuatu di matanya. "Apakah dia bisa membuatmu bahagia?"
Sergey ingin menjawab cepat, mengatakan "ya" tanpa ragu. Tapi entah kenapa, kata itu terasa begitu sulit keluar dari bibirnya.
Keheningan yang terjadi di antara mereka lebih berbicara daripada jawaban apa pun yang bisa Sergey berikan. Aria menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil, senyum yang kali ini terasa berbeda.
"Aku mengerti, kamu tidak bisa mencintai Eleanor, kan?" katanya akhirnya.
"Itu bukan urusanmu! mau aku mencintai Eleanor atau tidak, itu semua tidak ada sangkut pautnya denganmu!" hardik Sergey.
Aria tidak terkejut dengan reaksi itu. Ia hanya menatap Sergey dengan sorot mata tenang, seolah sudah menduga jawaban yang akan keluar dari mulut pria tersebut.
"Aku tidak pernah bilang ini urusanku, Sergey," balasnya pelan. "Tapi reaksi berlebihanmu barusan membuktikan bahwa tebakanku memang benar."
Sergey mengepalkan tangannya di atas meja, rahangnya mengeras. "Jangan mengada-ada, Aria. Aku sudah menjalani hidupku dan aku menikmatinya dengan baik. Lebih baik, kamu urusi saja hidupmu, dan jangan menggangguku lagi."
Aria tertawa kecil, tapi tawanya terdengar lebih seperti helaan napas putus asa. "Kamu selalu seperti ini. Selalu berusaha mengusir sesuatu yang tak bisa kamu hadapi."
Sergey berdiri dari kursinya, menatapnya dengan dingin. "Aku tidak mengusir siapa pun. Aku hanya tidak ingin membahas masa lalu yang sudah berakhir."
Aria mengangguk pelan, lalu mengambil langkah mundur. "Baiklah," katanya. "Kalau begitu, aku akan pergi."
Sergey mengira kata-kata itu akan memberinya kelegaan, tapi yang ia rasakan justru sebaliknya... sebuah perasaan aneh yang menekan dadanya, meskipun ia sendiri tak tahu mengapa.
Namun sebelum Aria mencapai pintu, ia berbalik sekali lagi dan menatapnya dengan sorot mata yang sulit di artikan.
"Tapi jawab satu hal saja, Sergey," ucapnya. "Jika aku bukan bagian dari hidupmu lagi, kenapa kamu tidak bisa mengatakan kalau kamu mencintai Eleanor?"
Sergey terdiam. Tenggorokannya terasa kering, pikirannya berkecamuk, tapi tak satu pun jawaban keluar dari mulutnya.
Aria tersenyum tipis. "Itulah yang kupikirkan, sampai sekarang perasaanmu masih milikku, bukan?"
"Jangan bermimpi sialan!" sentak Sergey.
Aria tidak terkejut sedikit pun dengan reaksi itu. Ia hanya menatap Sergey tenang, seakan Aria ingin memastikan bahwa semua dugaannya benar.
"Kamu boleh menyangkal sekeras apa pun, Sergey," katanya dengan nada lembut yang justru terasa menusuk. "Tapi kamu tahu, aku tahu, dan bahkan Eleanor pun mungkin menyadarinya. Hati kecilmu masih terikat padaku."
Sergey menggebrak meja, matanya membara. "Berhenti bicara omong kosong! pergi dari ruanganku sekarang, Aria!"
Aria tersenyum kecil, tidak terpengaruh amarah pria itu. "Kalau memang omong kosong, kenapa kamu begitu marah?"
Sergey membuka mulutnya, siap melontarkan balasan, tapi tak ada kata-kata yang keluar. Ia benci bagaimana Aria bisa membaca dirinya dengan begitu mudah, bagaimana wanita itu masih memiliki kekuatan untuk mengaduk-aduk emosinya, bahkan setelah bertahun-tahun mereka berpisah.
Aria menghela napas pelan, lalu melangkah kembali mendekat ke arah Sergey. Tangannya terangkat, seolah ingin menyentuh wajah Sergey, tapi di saat itu juga Sergey menepis tangannya kasar.
"Aku tidak datang untuk mengacaukan hidupmu, Sergey," bisiknya. "Aku hanya ingin tahu… apakah aku masih ada di hatimu."
Sergey menatapnya tajam, mencoba menemukan kebohongan dalam kata-kata itu, tapi yang ia lihat hanyalah kejujuran yang menyakitkan.
Aria mundur perlahan, lalu berbalik dengan langkah cepat menuju pintu. Saat tangannya menyentuh gagang pintu, ia menoleh sekali lagi.
"Kamu boleh terus berpura-pura, Sergey. Tapi suatu hari nanti, kamu harus menghadapi kebenaran, dan kehilangan istrimu untuk selamanya."
Dan kali ini, tanpa menunggu balasan, ia benar-benar pergi.
Pintu tertutup dengan pelan, tapi suara itu terasa menggema di kepala Sergey. Ia berdiri diam, matanya menatap kosong ke arah pintu yang kini kosong. Dadanya terasa sesak, bukan karena kemarahan, tapi karena sesuatu yang tak ingin ia akui.
Karena di balik semua bantahan dan amarahnya, Sergey tahu satu hal yang tak bisa ia sangkal. Aria masih ada di dalam hatinya.
"Sial!" umpat Sergey mengusak rambutnya dengan kasar.
thor 😄😄😄😄😄😄