NovelToon NovelToon
Ibu Pengganti Anak Sponsor Ku

Ibu Pengganti Anak Sponsor Ku

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / CEO / Ibu Pengganti / Pengasuh / Chicklit
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Alensvy

"Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya."

Sienna menatap pria di hadapannya dengan mata membelalak, yakin bahwa ia pasti salah dengar. “Maaf, apa?”

Arsen Ludwig, pria yang baru diperkenalkan sebagai sponsor klub ice skatingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja ia katakan adalah hal paling wajar di dunia.
“Anakku, Nathan. Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”

Jantung Sienna berdebar kencang.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”

“Aku tahu,” potong Arsen cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikan dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”

Ini adalah permintaan paling aneh yang pernah ia terima. Namun, mengapa ia tidak langsung menolaknya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11

...****************...

Aku baru saja mau melangkah pergi ketika suara Maya menahan.

"Sienna, lihat deh," katanya pelan, matanya melirik ke belakangku.

Aku berbalik dan melihat sosok tinggi dengan jas yang sedikit berantakan berjalan cepat ke arah kami. Langkahnya lebar, wajahnya serius, seperti seseorang yang sedang terburu-buru.

Arsen.

Aku mengerutkan kening. "Kenapa dia kayak orang panik gitu?"

Arsen berhenti di depan kami, napasnya sedikit terengah. "Sienna, aku butuh bantuanmu."

Aku mengangkat alis. "Bantuan apa lagi? Jangan bilang—"

"Nathan," potongnya cepat. "Dia demam tinggi, nggak mau minum susu, rewel terus sejak tadi siang. Aku udah coba segalanya, tapi dia terus nangis."

Aku terdiam sejenak, merasa ada sesuatu mencelos dalam dadaku.

"Nathan sakit lagi?" ulangku pelan.

Arsen mengangguk. "Dokter bilang nggak terlalu serius, cuma butuh istirahat dan perhatian lebih. Tapi dia nggak mau tenang sama sekali."

Aku menggigit bibir, sedikit ragu. Ini urusan keluarga. Kenapa aku harus terlibat?

"Jadi kau mau aku ke sana buat bantu apa?" tanyaku, meski aku sudah bisa menebak jawabannya.

"Dia selalu tenang kalau ada kau. Aku nggak tahu harus gimana lagi," ucap Arsen, menatapku penuh harap.

"Arsen, aku—" helaku, merasa berat buat bilang iya.

Sebelum kalimatku selesai, Maya tiba-tiba mendorong punggungku pelan. "Udah, pergi aja dulu. Kasihan, kan?" serunya.

"Benar. Kau bisa lihat kondisinya sebentar. Kalau nggak bisa bantu, ya sudah, setidaknya kau tahu dia baik-baik saja," timpal coach.

"Kalian berdua ini, kenapa malah maksa aku?" protesku, menoleh ke mereka dengan mata memicing.

"Karena kami tahu kau nggak akan tega nolak," Maya menyengir lebar.

Aku mendengus, lalu menoleh ke Arsen yang masih menunggu jawaban.

"Baiklah," ujarku akhirnya. "Aku ikut."

Arsen menghela napas lega. "Terima kasih."

Tanpa buang waktu, kami langsung menuju mobil Arsen. Perjalanan terasa sedikit hening, aku menatap keluar jendela, berpikir apakah keputusan ini benar.

Begitu kami sampai di rumahnya, aku langsung terdiam.

Mewah.

Bangunan besar dengan desain modern berdiri kokoh di depan kami. Pintu gerbang otomatis terbuka, menampilkan taman yang luas dengan lampu-lampu taman yang berpendar hangat. Aku menoleh ke Arsen dengan tatapan tak percaya.

"Kau tinggal di sini?" tanyaku.

"Ya, kenapa?" Arsen melirik sekilas.

"Nggak heran bajumu selalu kelihatan mahal. Ternyata kau memang tajir melintir," ucapku, melipat tangan di dada.

Dia cuma tersenyum kecil tanpa menjawab.

Begitu masuk ke dalam, aku makin terpana. Interior rumahnya lebih gila lagi—dinding putih dengan aksen kayu, lantai marmer mengkilap, langit-langit tinggi dengan lampu gantung mewah.

"Aku nggak bohong, rumah ini lebih mirip hotel bintang lima daripada rumah keluarga," seruku, menoleh ke Arsen.

"Aku butuh tempat yang nyaman untuk Nathan," jawabnya santai, mengangkat bahu.

Aku baru saja ingin menjawab ketika suara tangisan bayi terdengar dari lantai atas. Aku langsung menoleh ke arah suara itu.

"Nathan," gumamku.

Arsen sudah lebih dulu melangkah, aku mengikutinya dengan sedikit tergesa.

Begitu masuk ke kamar bayi yang luas dan nyaman, aku melihat Nathan berbaring di ranjang kecilnya, wajahnya memerah, matanya berkaca-kaca, tubuhnya gelisah. Aku merasakan ada sesuatu yang mencubit hatiku melihatnya begitu tidak nyaman.

Aku berjalan mendekat. "Hey, Nathan…"

Tangisannya sedikit mereda saat dia melihatku, meski masih tersedu. Aku menyentuh dahinya yang terasa hangat.

"Berapa suhu tubuhnya terakhir?" tanyaku, menoleh ke Arsen.

"38,5," jawabnya cepat. "Dokter bilang kalau naik lagi, aku harus segera ke rumah sakit."

Aku mendesah, menatap Nathan yang masih tampak lemas. "Kau udah coba kasih dia minum?"

"Dia selalu menolak. Hanya menangis dan rewel setiap kali dicoba sama asisten di sini," Arsen menggeleng.

Aku menatap Nathan lagi, lalu menghela napas panjang. "Aku nggak percaya aku bakal bilang ini, tapi…" Aku menatap Arsen tajam. "Kau boleh keluar dari kamar ini sebentar?"

Arsen tampak terkejut, lalu alisnya bertaut. "Kenapa?"

"Karena aku nggak mungkin menyusui anakmu dengan kau berdiri di sini, dasar duda nggak peka," balasku ketus.

Arsen terdiam sejenak, lalu mengembuskan napas, mengangkat tangan tanda menyerah. "Baiklah, baiklah. Aku tunggu di luar."

Begitu dia keluar, aku kembali menatap Nathan.

"Baiklah, Nak. Aku nggak tahu kenapa kau suka sekali hal ini, tapi…" Aku menarik napas dalam, mengeluarkan satu ‘bongkahan’ milikku, lalu mendekatkannya ke bibir mungil Nathan.

Seperti sudah terbiasa, Nathan langsung menempel, tangannya menggenggam bajuku erat. Aku mengusap kepalanya lembut.

"Kau cuma butuh ini, ya?" gumamku pelan. "Apa kau hanya butuh seseorang untuk memelukmu, sayang?"

Aku nggak sadar kalau aku tersenyum tipis saat melihat wajah mungilnya yang mulai tenang.

Saat aku mengangkat kepala, aku mendapati Arsen berdiri di pintu, menatapku dalam diam.

Matanya menatap ke arahku dan Nathan, ekspresinya sulit ditebak.

Tapi yang jelas… ada sesuatu di sana. Sesuatu yang membuat dadaku sedikit berdebar.

"Aku nggak mau ada orang lain yang lihat milikku," gumamku sambil melirik Arsen. "Kau aja udah keterlaluan bisa lihat terus, jadi sekalian aja."

Arsen menaikkan alisnya. "Maksudnya?"

"Masuk, kunci pintunya," ucapku malas.

Dia sempat ragu, tapi akhirnya menutup pintu dan menguncinya. Aku kembali fokus ke Nathan yang mulai tenang di pelukanku, sesekali mengusap kepalanya yang mungil.

"Kenapa dia selalu anteng kalau sama kau?" tanya Arsen sambil duduk di tepi tempat tidur.

"Mana aku tahu," ucapku, mengangkat bahu.

"Mungkin karena kau lembut padanya," ujar Arsen.

"Kau baru sadar?" balasku, mendelik.

Arsen terkekeh kecil. "Biasanya kau sinis dan nyebelin."

"Bagus banget pujianmu," dengusku.

Dia masih tertawa kecil, tapi kemudian wajahnya berubah serius. "Sienna, soal Milan…"

Aku memutar bola mata. "Kau mau maksa aku jadi model lagi?"

"Belum mau mempertimbangkan?" tanyanya santai.

"Udah aku bilang, aku atlet. Aku nggak punya waktu buat berlenggak-lenggok di panggung," balasku ketus.

"Aku nggak suruh kau jadi model," katanya sambil bersandar ke kursi. "Aku cuma mau kau ikut ke Milan."

"Kenapa?" tanyaku, meliriknya curiga.

Arsen menatap Nathan sebentar sebelum kembali menatapku. "Aku butuh seseorang yang bisa jagain anakku di sana," ucapnya pelan.

Aku sontak menoleh. "Apa?! Kau serius?" seruku, hampir nggak percaya.

Dia mengangguk pelan. "Acara fashion week bulan depan bakal sibuk banget buat perusahaanku. Aku harus pergi, tapi aku nggak mau ninggalin Nathan. Aku butuh seseorang yang bisa aku percaya buat jaga dia," balasnya serius.

Aku membuka mulut, lalu menutupnya lagi.

"Arsen, kau sadar ini konyol, kan?" seruku akhirnya. "Kau mau bawa aku ke luar negeri cuma buat jagain anakmu?"

"Kau atlet, kan? Seharusnya kau suka bepergian," katanya santai.

Aku menyilangkan tangan di dada. "Itu beda. Kalau aku bepergian, itu karena ada pertandingan. Bukan buat jadi babysitter!"

"Tapi di sini kau mau jagain Nathan," ucapnya pelan. "Kenapa nggak di Milan juga?"

Aku menunduk, menatap wajah Nathan yang damai dalam pelukanku.

Sial.

Aku nggak bisa langsung bilang nggak.

.

.

.

Next 👉🏻

1
Semangat
lanjut thor
Alen's Vy: Iyaa ntar sore yakk
total 1 replies
Alen's Vy
Bagusss
Anonymous
Yang baca juga shock ko sienna, ga kamu doang/Facepalm//Awkward/
Semangat
jahat bgt. untung putus ya thor
Alen's Vy: Iya ih, untung aja.
total 1 replies
Semangat
modus duda ini pasti.
Semangat
luar biasa
Semangat
Hahahaa Thor😭😭
Alen's Vy: Sstt🤫🤣
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!