Mutia Muthii seorang ibu rumah tangga yang sudah menikah dengan seorang pria bernama Zulfikar Nizar selama 12 tahun dan mereka sudah dikaruniai 2 orang anak yang cantik. Zulfikar adalah doa Mutia untuk kelak menjadi pasangan hidupnya namun badai menerpa rumah tangga mereka di mana Zulfikar ketahuan selingkuh dengan seorang janda bernama Lestari Myra. Mutia menggugat cerai Zulfikar dan ia menyesal karena sudah menyebut nama Zulfikar dalam doanya. Saat itulah ia bertemu dengan seorang pemuda berusia 26 tahun bernama Dito Mahesa Suradji yang mengatakan ingin melamarnya. Bagaimanakah akhir kisah Mutia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tindakan Pembuat Pingsan
Mutia terduduk lemas di pinggir jalan, air matanya tak henti mengalir. Firasat buruk terus menghantuinya, membuatnya semakin khawatir dengan keselamatan Sephia dan Sania. Ia menatap langit malam yang gelap, hatinya dipenuhi kesedihan dan keputusasaan.
"Ya Allah, lindungilah anak-anakku. Aku mohon, kembalikan mereka padaku," bisik Mutia, suaranya bergetar. Ia mengangkat kedua tangannya, memohon kepada Tuhan dengan sepenuh hati.
Ahmad dan Leha, yang berdiri di samping Mutia, merasakan kesedihan yang sama. Mereka tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa menghibur putri mereka saat ini. Mereka hanya bisa memeluk Mutia erat, mencoba menyalurkan kekuatan dan dukungan.
"Semuanya akan baik-baik saja, Nak. Kita akan menemukan mereka," ucap Ahmad, suaranya lembut namun tegas.
"Ibu yakin, mereka baik-baik saja. Mereka anak-anak yang kuat, mereka pasti bisa menjaga diri," tambah Leha, mencoba menenangkan Mutia.
Mutia menggelengkan kepalanya, air matanya semakin deras. "Aku takut, Ayah, Ibu. Aku takut sesuatu yang buruk terjadi pada mereka," isaknya.
Ahmad dan Leha memeluk Mutia semakin erat, mencoba meredakan ketakutan putrinya. Mereka tahu bahwa kata-kata mereka mungkin tidak cukup, tetapi mereka akan terus berusaha untuk memberikan Mutia harapan.
"Kita tidak boleh menyerah, Nak. Kita harus terus mencari. Kita akan menemukan mereka, bersama-sama," ucap Ahmad, suaranya penuh keyakinan.
Mutia mengangguk, menyeka air matanya. Ia tahu bahwa ia tidak boleh menyerah. Ia harus terus berjuang untuk menemukan kedua anaknya. Ia akan terus berdoa dan berharap, sampai ia bisa memeluk Sephia dan Sania kembali.
Malam itu, mereka bertiga kembali melanjutkan pencarian, menyusuri jalanan yang sepi dan gelap. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka temukan, tetapi mereka bertekad untuk tidak menyerah. Mereka akan terus mencari, sampai mereka menemukan Sephia dan Sania, anak-anak yang sangat mereka cintai.
****
Zulfikar terkejut saat Lestari mengungkapkan tempat persembunyian Sephia dan Sania. Ia segera bangkit, berniat untuk menyelamatkan kedua anak itu. Namun, Lestari dengan cepat meraih benda tumpul dan memukul kepala Zulfikar, membuatnya pingsan seketika.
"Kamu tidak akan menghentikanku, Mas Zulfikar," desis Lestari, matanya berkilat penuh kebencian. "Aku akan membuat Mutia menderita, seperti yang dia lakukan padaku."
Lestari menyeret tubuh Zulfikar ke kamar dan menguncinya. Ia tidak akan membiarkan Zulfikar menggagalkan rencananya. Ia telah merencanakan semuanya dengan matang, dan ia tidak akan membiarkan siapa pun menghalangi jalannya.
"Mutia, kamu akan membayar mahal atas semua ini," gumam Lestari, senyum sinis menghiasi wajahnya. "Kamu akan merasakan sakitnya kehilangan, seperti yang aku rasakan."
Lestari melangkah keluar rumah, meninggalkan Zulfikar yang terbaring tak sadarkan diri. Ia menuju tempat persembunyian Sephia dan Sania, tempat di mana ia akan memulai rencana jahatnya.
Di tempat persembunyian itu, Sephia dan Sania meringkuk ketakutan di sudut ruangan. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka, tetapi mereka tahu bahwa mereka dalam bahaya.
"Kak, aku takut," bisik Sania, air matanya mengalir deras.
"Jangan takut, Sania. Kita akan baik-baik saja," hibur Sephia, meskipun hatinya sendiri juga diliputi ketakutan.
Tiba-tiba, pintu terbuka, dan Lestari muncul di hadapan mereka. Sephia dan Sania tersentak kaget, wajah mereka pucat pasi.
"Halo, anak-anak manis," sapa Lestari, suaranya dingin dan mengancam. "Kita akan bersenang-senang hari ini."
Sephia dan Sania saling berpegangan erat, mencoba mencari perlindungan satu sama lain. Mereka tahu bahwa mereka tidak bisa melawan Lestari, tetapi mereka juga tidak akan menyerah tanpa perlawanan.
****
Zulfikar membuka matanya perlahan, kepalanya terasa berdenyut-denyut. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi, dan seketika itu juga, ingatan tentang Lestari dan rencananya yang mengerikan kembali menghantuinya. Ia terkejut, mendapati dirinya terkunci di dalam kamar.
"Lestari, apa yang kamu lakukan?" geram Zulfikar, ia mencoba mendobrak pintu, tetapi pintu itu terkunci rapat.
Zulfikar panik. Ia tidak menyangka Lestari akan berbuat sejauh ini. Ia tidak menyangka istrinya itu akan tega menyakiti anak-anaknya. Sebagai seorang ayah, ia merasa gagal melindungi mereka.
"Aku harus keluar dari sini," gumam Zulfikar, ia mencari cara untuk melarikan diri. Ia tidak boleh membiarkan Lestari menyakiti Sephia dan Sania.
Zulfikar melihat sekeliling kamar, mencari benda yang bisa ia gunakan untuk membuka pintu. Ia menemukan sebuah vas bunga di atas meja, dan dengan sekuat tenaga, ia melemparkan vas itu ke arah pintu.
Pecahan vas berserakan di lantai, tetapi pintu tetap tidak terbuka. Zulfikar menggeram frustrasi. Ia tidak punya banyak waktu.
"Aku tidak boleh menyerah," ucap Zulfikar pada dirinya sendiri. Ia kembali mencari benda lain yang bisa ia gunakan untuk membuka pintu.
Ia menemukan sebuah kursi kayu di sudut kamar, dan dengan sekuat tenaga, ia mengangkat kursi itu dan menghantamkannya ke arah pintu. Berkali-kali ia menghantamkan kursi itu, sampai akhirnya pintu itu jebol.
Zulfikar segera berlari keluar kamar, hatinya dipenuhi amarah dan ketakutan. Ia harus segera menemukan Lestari dan menyelamatkan anak-anaknya.
"Lestari, kamu akan membayar atas apa yang kamu lakukan," geram Zulfikar, ia berlari keluar rumah, mengikuti jejak Lestari.
Ia tidak tahu apa yang akan ia temukan, tetapi ia bertekad untuk menghentikan Lestari, tidak peduli apa pun yang terjadi. Ia akan melindungi Sephia dan Sania, meskipun itu berarti ia harus mengorbankan dirinya sendiri.
****
Lestari menatap kedua anak Mutia dengan tatapan dingin, hatinya dipenuhi dendam yang membara. Ia tidak peduli dengan rasa sakit yang ia timbulkan, ia hanya ingin Mutia merasakan penderitaan yang sama seperti yang ia rasakan.
"Kalian akan menjadi alat untuk membalas dendamku pada ibu kalian," desis Lestari, suaranya dingin dan mengancam.
Sephia dan Sania meringkuk ketakutan, air mata mereka mengalir deras. Mereka tidak mengerti mengapa wanita ini begitu membenci mereka.
Lestari mulai menyiksa mereka dengan sadis, menggunakan berbagai macam alat yang ia bawa. Ia tidak peduli dengan jeritan kesakitan kedua anak itu, ia hanya ingin memuaskan dendamnya.
"Ini untuk rasa sakit yang aku rasakan," teriak Lestari, ia memukul Sephia dengan tongkat kayu.
Sephia menjerit kesakitan, tubuhnya gemetar ketakutan. Sania menangis histeris, memohon kepada Lestari untuk berhenti.
"Tolong, jangan sakiti kami," isak Sania, air matanya membasahi pipinya.
Lestari tertawa sinis, ia tidak peduli dengan permohonan Sania. Ia terus menyiksa kedua anak itu, sampai mereka berdua terbaring lemah di lantai.
Setelah puas menyiksa Sephia dan Sania, Lestari meninggalkan mereka berdua dalam keadaan terluka parah. Ia tertawa puas, merasa bahwa dendamnya telah terbalaskan.
"Mutia, kamu akan menyesal telah menjadi penghalang antara Zulfikar dan aku," gumam Lestari, ia melangkah keluar dari tempat persembunyian itu, meninggalkan Sephia dan Sania yang terbaring tak berdaya.