Once We Get Divorce
Suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring memecah keheningan yang terjadi di sebuah ruang makan. Sepasang anak muda berseragam SMA terlihat duduk berjarak sambil menikmati sarapan pagi mereka. Tidak ada sepatah kata pun sejak tadi. Sampai suara berat milik si lelaki pun terdengar dan menarik perhatian sang wanita.
"Kelulusan tinggal menghitung minggu, kita akan bercerai sesuai perjanjian." Kata si lelaki berparas tampan itu dengan nada dingin. Tentu saja ia bicara tanpa berniat melihat lawan bicaranya.
Kiano Atmaja, lelaki berusia delapan belas tahun yang terpaksa harus menjadi kepala keluarga diusia muda. Dijodohkan dengan anak dari sahabat sang Daddy, Raicha Mahalini. Gadis cantik yang biasa dipanggil dengan sebutan Caca.
Caca sendiri teman satu angkatan Kiano di sekolah. Hanya saja mereka jarang bertemu karena beda kelas. Dan keduanya harus terjebak dalam sebuah ikatan pernikahan yang tak pernah mereka inginkan. Hampir satu tahun usia pernikahan mereka, bahkan keduanya tinggal satu atap. Akan tetapi tak terlihat benih-benih cinta tumbuh di antara keduanya. Jangankan cinta, bicara saja mereka sangat jarang. Bahkan hubungan mereka semakin renggang seiring berjalannya waktu.
Kiano yang sejak awal memiliki kekasih yang sangat dicintainya pun sampai detik ini masih menjalin hubungan itu. Dan Caca sendiri tak pernah mengusiknya karena sejak awal pernikahan mereka hanya di atas kertas.
"Soal malam itu, aku tidak pernah menganggapnya terjadi. Aku tidak sadar melakukannya." Imbuh lelaki itu melirik Caca sekilas tanpa minat. Seolah melempar kesalahan malam itu pada Caca. Bahkan sejak menikah Kiano selalu bicara formal padanya.
Satu bulan lalu, keduanya memang pernah mengalami kejadian yang tak diinginkan. Yaitu terlibat one night stand saat merayakan pesta ulang tahun salah satu siswa ternama.
Caca menahan pergerakannya, lalu ditatap lelaki itu tanpa berniat menjawab. Kemudian ia pun melanjutkan sarapnnya lagi.
Merasa diabaikan, Kiano membanting sendok dan garpu hingga menimbulkan suara dentingan keras. Sontak Caca pun menoleh.
"Aku kenyang." Lelaki itu bangkit dan bergegas pergi dari sana. Caca yang melihat itu menarik napas berat. Lalu menghentikan sarapannya karena sejak tadi selera makannya sudah hilang. Setelah itu ia pun merapikan meja makan dan mencuci piring terlebih dahulu sebelum berangkat sekolah. Karena sejak menikah mereka hanya tinggal berdua di apartmen milik Kiano.
Menjadi seorang istri di usia muda seperti sekarang ini membuat Caca dipaksa dewasa. Apa lagi harus menghadapi sikap Kiano yang sudah jelas menolak dirinya sejak awal pernikahan.
Seperti biasa, Caca berangkat sekolah dengan taksi. Sedangkan Kiano hampir setiap hari menjemput kekasih hatinya. Tantu saja Caca tak mempermasalahkan hal itu, karena sejak awal tidak ada yang tahu soal pernikahan mereka. Kecuali keluarga besarnya dan Kiano. Juga kekasih Kiano tentunya.
Sesampainya di sekolah, Caca sempat melihat Kiano turun dari mobil bersama kekasihnya. Ia pun mengabaikannya dan berlalu begitu saja, memasuki kelasnya dengan lesu. Entah kenapa hari ini rasanya ia malas melakukan apa pun. Ia duduk di tempatnya, lalu menyandarkan kepalanya di atas meja.
"Woi... lemes banget lo! Masih pagi kali." Sapa Gladis, teman sebangku Caca.
Caca menoleh sekilas. "Lemes banget badan gue." Keluh Caca.
"Yaelah, kantin yuk." Ajak Gladis duduk di meja sambil menatap Caca. "Masih pagi nih, gue belum sempat sarapan tadi."
"Males. Gue udah makan di rumah."
Gladis berdecak sebal. "Gak asik lo. Ya udah, gue ke kantin dulu. Beneran gak mau nitip nih?"
Caca menggeleng pelan, lalu Gladis pun berlalu meninggalkan Caca.
"Ca," panggil seseorang yang berhasil menarik perhatian gadis itu. Ternyata yang memanggilnya itu Randy, teman sekelasnya yang sudah lama menyukai Caca. Lelaki itu menarik kursi, lalu duduk menghadap Caca. Caca pun duduk tegak, membalas tatapan lelaki itu dengan heran.
"Apaan?" Tanya Caca dengan malas. Karena sampai saat ini Caca tidak tahu mengenai perasaan lelaki itu padanya.
Randy tersenyum. "Weekend ini lo free gak?"
Caca tampak berpikir. "Kayaknya free, kenapa?"
Senyuman lelaki itu pun semakin mengembang. "Nobar yuk." Ajaknya dengan semangat.
Caca mengerut bingung. "Nobar apaan? Sepak bola? Ogah gue."
Randy tertawa kecil. "Film horor, berani gak?" Tantangnya.
Caca berdecih pelan. "Bukan Caca namanya kalau takut sama yang gituan. Ok, gue mau." Toh weekend ini ia tak memiliki janji apa pun.
Randy tersenyum senang. "Minggu siang gue jemput lo ya? Sebelum nonton kita jalan-jalan dulu. Gimana?"
Caca mengangguk. "Gue pengen ke toko es krim yang lagi viral itu, Ran. Lo mau kan bawa gue ke sana?" Menatap Randy penuh harap.
"Boleh, apa yang enggak buat elo."
Caca tersenyum senang. "Gak sabar nunggu hari minggu."
Randy ikut tersenyum. "Btw, gak ada yang marah kan gue ajak lo jalan?"
Caca langsung menggeleng. "Gue free."
Randy pun mengangguk sambil mengulas senyuman lega. "Kita harus nikmatin masa senggang, sebelum bertempur di meja belajar."
Caca mengangguk setuju. "Gak kerasa kita hampir lulus. Padahal kayaknya baru kemaren deh kita masuk, gue juga masih ingat dulu lo cupu banget. Mana dekil lagi, tapi sekarang lo berubah."
Randy tertawa geli. "Gue lakuin itu buat seseorang yang gue suka."
Mendengar itu wajah Caca berseri. "Wah, jadi cewek yang lo taksir ada di sekolah ini? Siapa?"
Randy terdiam sejenak. "Dia ada di dekat gue, tapi gue rasa dia gak tertarik tuh."
Caca tertawa renyah. "Perjuangin dong, Ran."
Randy tersenyum lagi. "Jadi lo mau gue perjuangin, Ca?"
"Hah?" Caca memasang wajah bingung. "Gue?" Tunjuknya pada diri sendiri.
Randy mengangguk. Sontak Caca pun tertawa geli karena ia menganggap perkataan Randy hanya candaan.
"Ca...."
"Udah ah, jangan buat gue kepedean." Potong Caca masih dengan sisa tawanya.
Randy hendak menyahut, tetapi suara bel masuk mendahuluinya. Alhasil ia pun tak jadi bicara. Randy pun pindah ke bangkunya. Tidak lama anak-anak yang lain pun masuk yang disusul dengan guru pengajar.
Caca pulang sekolah saat suasana sudah sepi. Karena tadi ia sempat mampir ke perpustakaan untuk meminjam beberapa buku. Saat keluar dari gerbang, Caca merasa heran karena Kiano ada di sana. Lelaki itu duduk di kap mobil dengan tatapan mengarah padanya.
Lah, tumben dia masih nangkring di situ. Pikir Caca. Caca melihat kesekeliling, dirasa aman ia pun menghampiri suaminya.
Kiano menatap Caca lekat. "Mommy mau kita makan siang bareng di rumah." Katanya dingin.
Oh, pantes masih di sini. Lagi butuh gue rupanya. Omel Caca dalam hati.
"Hm." Sahut Caca yang langsung masuk ke dalam mobil Kiano. Kemudian lelaki itu pun menyusulnya masuk. Mobil mewah itu pun melesat pergi meninggalkan lingkungan sekolah.
Kiano melirik istrinya sekilas. "Muka kamu dikondisiin."
Caca menoleh, tetapi seperti biasa ia tak menjawab. Kiano yang sudah terbiasa dengan hal itu pun kembali fokus mengemudi.
"Tolong mampir di toko kue." Akhirnya Caca pun bersuara.
"Gak perlu."
"Tapi gue perlu." Sahut Caca merasa kesal. "Setidaknya pikirkan posisi gue saat ini. Gue gak mungkin bawa tangan kosong ke rumah lo." Imbuhnya yang berhasil membuat Kiano terdiam.
Akhirnya Kiano pun menuruti Caca, mampir ke sebuah toko kue yang cukup terkenal. Tidak perlu lama Caca pun sudah kembali dengan sebuah paper bag berukuran besar. Lalu menaruhnya di bangku belakang, dan kembali memasang seat belt. Kiano pun kembali melajukan mobilnya.
Setibanya di rumah besar keluarga Atmaja, Caca disambut hangat oleh sang ibu mertua. Wanita paruh baya itu memang sangat menyukai Caca. Bahkan Caca selalu diperlakukan layaknya anak sendiri. Maklum saja, anaknya hanya Kiano seorang. Sedangkan dirinya sejak lama menginginkan anak perempuan. Dan sekarang ia mempunyai menantu cantik seperti Caca, tentu saja ia merasa senang.
Caca memberikan bingkisan tadi pada sang mertua.
"Ya ampun, sayang. Ngapain repot-repot sih?" Ucap Ariana mengintip isi bingkisan dari menantu kesayangannya.
"Gak repot kok, Mom."
Ariana merengkuh tubuh ramping Caca, lalu membawa gadis itu masuk. "Gimana, Kiano tetep baik kan sama kamu sejauh ini?" Selalu saja pertanyaan itu yang Ariana lontarkan saat Caca mampir ke rumah.
Caca tersenyum. "Baik kok, Mom. Baik banget malah." Jawabnya.
Kiano yang mendengar percakapan keduanya seolah tak peduli. Ia pun berlalu meninggalkan keduanya menuju ruang makan.
Ariana menggelengkan kepala. "Lihat, dia gak pernah berubah. Masih aja dingin kayak ea. Sayang, Kiano beneran baik kan sama kamu?"
Caca mengangguk yakin.
"Syukurlah. Mommy senang dengarnya. Ya udah, kita langsung makan aja ya? Mommy tahu kamu pasti lapar kan?"
Lagi-lagi Caca mengangguk. Lalu keduanya pun bergegas menuju ruang makan. Di meja makan, Kiano tampak berbincang dengan sang Daddy. Caca pun menyalami Ayah mertuanya, lalu duduk di sebelah Kiano.
"Gimana kabar kamu, Ca?" Tanya Daddy Kiano, Regar.
"Baik, Dad." Jawab Caca dengan senyumannya yang khas.
"Syukurlah... Daddy senang mendengarnya." Regar ikut tersenyum. Begitu pun dengan Ariana. "Ya udah, jangan ngobrol lagi. Ayo makan, mereka pasti udah lapar banget."
Mereka pun menyantap hidangan dengan khidmat. Namun, di sela makan mereka. Regar kembali bersuara. "Berhubung kalian udah mau lulus, rencananya mau lanjut kuliah di mana?" Regar memandang keduanya bergantian.
Caca menjawab lebih dulu. "Caca lanjut di Indo aja kayaknya, Dad."
"Loh, kenapa gak ambil ke luar negeri aja? Kayaknya Kiano dulu pernah bilang mau kuliah di luar negeri deh." Timpal Ariana. Spontan Caca pun menoleh ke arah Kiano yang masih asik makan.
"No, kamu beneran mau ninggalin Caca di sini? Yakin mau LDR?" Imbuh Ariana.
Caca yang mendengar itu memilih lanjut makan.
"Aku gak bisa maksa Caca buat ikut." Sahut Kiano sekenanya.
Ariana dan Regar pun saling melempar pandangan. Sebenarnya mereka tahu hubungan keduanya tidak baik-baik saja sejak awal. Meski kadang Caca menutupi semua itu dan selalu memuji Kiano di depan mereka. Kiano putra mereka satu-satunya, tentu saja mereka tahu prilaku anaknya seperti apa.
Regar berdeham kecil. "Setidaknya beri kami cucu dulu sebelum kalian pisah. Supaya Caca juga gak kesepian pas kamu tinggal, No."
Uhuk!
Caca tersedak saat mendengar itu, cepat-cepat ia meneguk air minum. Matanya ikut berair karena menahan perih di kerongkongan.
Ariana menatap Caca dan Kiano bergantian. "Daddy kalian benar, udah saatnya kalian buat program bayi."
Kiano melirik Caca sekilas. "Aku pasti kasih kalian cucu, tapi bukan sekarang."
Caca tertohok. Ia tahu betul ke mana arah pembicaraan Kiano. Tentu saja lelaki itu akan memberikan seorang anak, tetapi bukan bersama dirinya. Caca menghela napas pelan. Dan suasana pun mendadak canggung. Tidak ada lagi pembicaraan yang keluar dari mulut mereka sampai acara makan siang pun selesai dan keduanya berpamitan pulang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Indra Fiantikara
Sabar ded, mom lg otw cucunya heheh
2023-05-27
0
Uthie
mampir... seperti nya awal yg menarik 👍🤗
2023-05-19
0
Arga
menyakitkan ya omongan kiano pas banget kena di jantung, anggap aja gak terjadi sesuatu diantara kita malam itu
2023-04-06
0