Kehadiran Damar, pria beranak satu yang jadi tetangga baru di rumah seberang membuat hidup Mirna mulai dipenuhi emosi.
Bagaimana Mirna tidak kesal, dengan statusnya yang belum resmi sebagai duda, Damar berani menunjukkan ketertarikannya pada Mirna. Pria itu bahkan berhasil membuat kedua orang tua Mirna memberikan restu padahal merek paling anti dengan poligami.
Tidak yakin dengan cerita sedih yang disampaikan Damar untuk meluluhkan hati banyk orang, Mirna memutuskan mencari tahu kisah yang sebenarnya termasuk masalah rumahtangga pria itu sebelum menerima perasaan cinta Damar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekhawatiran Damar
“Lepaskan tanganmu !”
Suara bariton itu bukan hanya membuat keduanya menoleh tapi Firman spontan melepaskan tangan Mirna dengan mata membola karena tidak menyangka Damar ada di hadapannya.
“Mau ngapain kamu di sini ?”
Pertanyaan bernada sinis dari mulut Mirna tidak digubris Damar malah tatapan tajamnya fokus menatap Firman yang kelihatan tidak nyaman.
Tanpa permisi Damar menarik Mirna cukup kuat sampai wanita itu terjembab ke tubuhnya.
“Bapak mau…”
Damar langsung menoleh dan matanya yang nyalang gantian menatap Mirna tanpa bicara apa-apa sampai membuat Mirna menelan ludah.
“Pulang sekarang !” tegas Damar sambil menarik Mirna ke arah pintu keluar.
Mirna ingin menolak tapi cengkaraman Damar yang semakin kuat membuatnya terpaksa mengikuti langkah pria itu yang berjalan tergesa-gesa.
“Nggak bisa pelan-pelan ?” protes Mia yang tidak digubris Damar.
“Masuk !” perintah Damar dengan tatapan yang tidak menerima penolakan.
Meskipun wajahnya cemberut dan mulutnya mengerucut, Mirna tidak membantah, masuk ke dalam mobil tanpa adegan drama.
Sesuai tebakan Mirna, Damar mulai mengemudikan mobilnya dengan cara yang membuat jantung berdebar, kecepatan di atas rata-rata dan tidak sabaran.
“Darimana pak… .kak Damar tahu aku di situ ?” tanya Mirna setelah beberapa saat.
Terpaksa Mirna merubah panggilannya karena ia yakin Damar tidak suka saat ia memanggilnya bapak.
“Peringatan ini berlaku sebagai yang pertama dan terakhir ! Jangan pernah dekat dengan laki-laki brengsek itu lagi !”
“Tidak mungkin !” tolak Mirna dengan tegas.
“Kenapa tidak mungkin ?” Nada bicara Damar makin emosi, kepalanya sempat menoleh sesaat dan menatap Mirna dengan tajam, sesuatu yang belum pernah Mirna lihat selama mengenal pria itu.
“Firman masih sepupunya mbak Nita dan mbak Nita sendiri adalah calon istrinya kak Rangga.”
Damar tersenyum sinis meski tatapannya tetap fokus ke depan.
“Tidak usah membantah, Rangga juga sudah setuju.”
“Mana bisa begitu !” protes Mirna dengan nada keras.
“Terus darimana kak Damar tahu aku ada di cafe tadi ? Seenaknya pergi tanpa kabar, wa ku hanya dibaca tanpa dibalas lalu tiba-tiba muncul ingin mengatur hidupku !”
“Kenapa kamu kesal ? Sudah jatuh cinta padaku ?” sindir Damar dengan senyuman mengejek dan nadanya masih saja pedas.
“Ge-er ! Siapa yang jatuh cinta ! Kak Rangga nyuruh aku jadi sekretarismu tapi sebagai boss kak Damar tidak pernah memberikan kesempatan untuk menjalankan tugasku. Datang dan pergi seenaknya, mentang-mentang boss !”
Wajah Damar yang tadi emosi tiba-tiba berubah normal bahkan bibirnya menyunggingkan senyum.
“Aku paling senang melihatmu ngomel-ngomel begini.”
Berhenti di lampu merah membuat tangan Damar bebas mencubit pipi Mirna sambil tertawa gemas.
“Aku lagi kesal banget !”
Mirna berusaha melepaskan tangan Damar tapi pria itu selalu berhasil kembali menyentuh pipi Mirna dan terakhir tangannya mengacak pucuk kepala Mirna.
“Aku cemburu !”
Kalimat yang keluar dari mulut Damar spontan menbuat wajah Mirna langsung merona dan terasa panas.
“Aku tidak suka melihatmu berduaan dengan pria lain tapi khusus Firman aku melarangmu keras, dia bukan pria baik-baik.”
“Kenapa begitu ?” tanya Mirna dengan sedikit canggung.
“Suatu hari aku akan menjelaskannya padamu,” ujar Damar sambil tersenyum tipis.
Pembicaraan tidsk betlanjut, masing-masing larut dalam pikirannya sampai akhirnya mobil Damar berhenti di depan rumah orangtua Mirna.
“Banyak-banyak istirahat di rumah supaya tubuhmu bisa cepat pulih dan kembali normal.”
Damar kembali mengusap kepala Mirna dengan lembut dan senyuman yang membuat jantung Mirna berdebar tidak karuan.
“Aku ingin bertanya dulu sebelum turun.”
“Jangan hari ini, aku masih harus ke tempat lain mengurus pekerjaan.”
“5 menit ! Aku hanya ingin mengajukan 2 pertanyaan !” tegas Mirna menolak permintaan Damar yang akhirnya menghela nafas panjang.
“Pertama gimana caranya kak Damar bisa tiba-tiba muncul di cafe ? Apa kalian, maksudku kak Damar dan kak Rangga, memasang alat pelacak di handphoneku atau malah menyuruh orang untuk mengawasiku ?”
“Tidak dua-duanya,” sahut Damar dengan tenang. “Semuanya hanya kebetulan.”
“Aku nggak percaya !”
Damar kembali menghela nafas. “Lalu apa pertanyaan kedua ?”
“Aku belum puas dengan jawaban kak Damar !”
“Kamu mau lanjut atau kita cari waktu untuk bicara lebih serius. Aku harus jalan sekarang, tidak bisa ngobrol sama kamu.”
Mirna kelihatan kesal saat melihat Damar mulai tidak sabar, tatapannya berharap Mirna cepat-cepat turun dari mobilnya.
“Oke, aku akan turun sekarang tapi supaya kak Damar tahu, aku tidak suka diperlakukan seperti anak kecil begini. Jangan pernah lagi mencampuri urusan pribadiku apalagi mengatur hidupku termasuk masalah Firman.”
Usai mengomel, Mirna langsung membuka pintu namun saat pintu terbuka, tangan Damar mencengkram lengannya membuat Mirna menoleh dan menatap pria itu dengan raut kesal bahkan bibinya sampai mengerucut.
“Jangan coba-coba melanggar perintahku soal Firman ! Sampai kapan pun kamu tidak boleh berada di dekatnya.”
Bukan hanya suara Damar yang berubah, raut wajah pria itu pun kembali galak tapi Mirna tidak merasa ciut sedikit pun.
“Kita bukan siapa-siapa jadi kak Damar tidak berhak melarangku !”
Setelah berhasil menghempaskan tangannya dari cengkraman Damar, Mirna buru-buru turun dari mobil dan berlari ke pintu gerbang.
Sejujurnya hati kecil Mirna berharap Damar turun dan menghampirinya apalagi saat ini Mirna harus menunggu pintu dibukakan dari dalam.
Sayangnya Damar malah melajukan mobilnya sambil menekan gas dalam-dalam sampai menarik perhatian orang yang melintas.
Kenapa kamu membiarkan perasaanku terombang-ambing seperti ini ? Kalau ingin kembali pada istrimu, jangan pernah menunjukkan sikap seolah-olah aku memiliki tempat spesial di hatimu.
Sementara di dalam mobilnya, Damar memukuli setir beberapa kali, Emosinya benar-benar ingin meledak melihat Firman masih berani menemui Mirna.
Bukti yang dimiliki Damar belum cukup kuat untuk menyeret pria itu ke dalam jeruji besi.
Untung saja semalam Rangga memberitahu Damar kalau Mirna semakin sering ijin tidak masuk kerja tapi bukan karena ingin istirahat di rumah. Khawatir dengan kondisi kesehatan Mirna, pagi ini Damar menyuruh Budi, asistennya untuk mengutus orang mengawasi Mirna.
Damar kembali menginjak pedal gas untuk mempercepat laju mobilnya menuju kantor. Tangannya menekan panggilan cepat ke nomor Ardi.
“Halo Dam.”
“Halo Di, elo bisa datang ke kantor gue secepatnya ?”
“Ada masalah apa lagi sama Mirna ?” ledek Ardi sambil terkekeh.
“Firman. Dia masih berani menemui Mirna. Untung saja hari ini gue minta Budi untuk mengawasi Mirna.”
“Kapan tuh cowok balik dari Singapura ?” Nada suara Ardi berubah seperti orang terkejut.
“Gue nggak tahu Di. Entah sengaja atau kebetulan dia bertemu Mirna di cafe tapi apapun itu, gue nggak yakin niatnya pada Mirna sudah berubah.”
“Gue baru bisa sampai kantor elo sekitar 2 jam lagi.”
“Nggak apa-apa. Sepertinya kita harus lebih cepat menuntaskan masalah Mirna.”
“Siap Dam, nanti kita bahas di kantor lo.”
Damar menghela nafas panjang dan berat setelah mengakhiri pembicaraannya dengan Ardi.
pergi ke akhirat mgkin
ah... lama2 jadi maminya sendiri