Cintanya itu harusnya menyatukan bukan memisahkan, kan? Cinta itu harusnya memberi bahagia bukan duka seumur hidup, kan? Tapi yang terjadi pada kisah Dhyaswara Setta dan Reynald de Bruyne berbeda dengan makna cinta tersebut. Dua orang yang jatuh cinta sepenuh jiwa dan telah bersumpah di atas darah harus saling membunuh di bawah tuntutan. Siapakah yang menang? Tuntutan itu atau cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep.22 : Perpisahan
Cakra menenteng koper kotak warna coklatnya. Kepergiannya begitu mendadak. Tidak sempat pamitan ke padepokan karena dia harus mengejar waktu agar tiba tepat waktu di pelabuhan Sunda Kelapa besok. Jadwal keberangkatan kapal ke Eropa adalah besok hari. Sedangkan dari desanya ke Sunda Kelapa memakan waktu hampir satu hari perjalanan darat.
"Jangan lupa sampaikan pesan ibu pada ayahmu, Cakra," Sri Lestari mewanti-wanti.
Cakra mengangguk.
"Yang paling penting katakan kamu tidak mau ayah menceraikan ibu. Pastikan itu tersampaikan,"
Cakra mengangguk.
"Aku pamit, Bu," Cakra mencium tangan ibunya.
"Pokoknya kamu jangan sampai lupa hal itu, Cakra,"
"Bi, aku pamit," Cakra menoleh pada Bibi Mirna. Bibi menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Hati-hati di jalan aden. Hati-hati juga di sana. Cepat kembali kalau sudah selesai,"
Cakra memeluk Bi Mirna.
"Cepatlah. Supir itu sudah menunggumu dari tadi," ucap Sri Lestari saat Cakra memeluk Bi Mirna.
Dengan langkah yang berat, Cakra membuka pintu mobil. Menaruh kopernya di kursi belakang, lalu disusul dirinya masuk ke dalam mobil.
Ketika pintu ditutup, di situlah hatinya mulai merasakan rasa yang menyesakan dada. Diminta melakukan hal yang kita tidak sukai bukan perkara mudah. Dia hanya mengingat batasannya sebagai anak. Andai tidak, dia tidak akan memenuhi permintaan ibu nya seperti ini.
Mesin mobil tua itu bergetar halus, suaranya monoton, seperti mantra yang tak henti mengantar Cakra menjauh dari segala yang ia cintai. Ia duduk di kursi belakang, menatap keluar jendela tanpa benar-benar melihat apa pun. Jalanan memanjang di hadapannya, namun pikirannya tertinggal jauh di pagi tadi. Pagi yang terlalu singkat untuk sebuah kenangan yang akan ia bawa seumur hidup.
Tanpa sadar, jari-jarinya menyentuh bibirnya sendiri.
Masih ada rasa itu.
Masih ada hangatnya.
Cakra menutup mata, dan seketika wajah Dhyas hadir begitu jelas. Pagi tadi, tak ada rencana. Tak ada kata. Hanya hening yang dipenuhi napas yang saling bertabrakan.
Ia mencium Dhyas—untuk pertama kalinya.
Bukan ciuman yang tergesa, bukan pula yang berani. Bibir itu menyentuh dengan ragu, seolah takut merusak sesuatu yang terlalu berharga. Namun ketika Dhyas tidak menjauh, ketika perempuan itu justru membalas dengan lembut, dunia Cakra seperti berhenti berputar. Ia merasakan setiap inci dari ciuman itu. Lembutnya bibir Dhyas. Hangatnya napasnya. Detik-detik yang terasa terlalu singkat namun membekas terlalu dalam.
Di dalam mobil yang terus melaju itu, dada Cakra mengencang. Sentuhan itu masih tertinggal di bibirnya, seperti luka yang manis. Ia mengingat bagaimana ia ingin berhenti di sana, ingin memperpanjang pagi, ingin mencuri lebih banyak waktu. Betapa ia menikmati setiap detik kebersamaan itu, dan betapa ia sadar, ia belum puas. Belum siap melepaskan hari-hari sederhana bersama Dhyas. Menjalani hari-hari penuh misi berbahaya tapi disitulah hubungan mereka semakin kuat. Belum rela meninggalkan kemungkinan hidup yang selama ini hanya ia simpan dalam diam.
Sesak itu datang perlahan, menekan dadanya tanpa ampun.
Ia pergi bukan karena ingin. Ia pergi karena harus.
Bayangan ibunya, Sri Lestari, muncul di benaknya, perempuan yang dia panggil sebagai ibu, tapi tidak pernah memperlakukannya layaknya seorang anak. Seorang perempuan yang dengan tatapan tegas yang tak pernah memberi ruang untuk penolakan. Tuntutan ibunya itu seperti rantai yang melilit kakinya sejak lama. Ada kewajiban yang tak bisa ia hindari, ada jalan yang sudah dipilihkan, dan ada harga yang harus dibayar: perpisahan.
Cakra menunduk, tangannya mengepal. Di antara suara mesin dan deru angin yang masuk dari celah jendela, ia berjanji dalam hati. Janji yang ia ucapkan tanpa suara, namun dengan keyakinan penuh.
Dia akan kembali.
Bukan sebagai laki-laki yang ragu. Bukan sebagai seseorang yang hanya berani mencuri pagi. Ia akan kembali sebagai pria yang pantas berdiri di hadapan Dhyas, menggenggam tangannya di hadapan siapa pun, dan melakukan satu hal yang paling ia idamkan dalam hidupnya: menikahi Dhyas, dan memilikinya seutuhnya, tanpa sembunyi, tanpa jarak, tanpa perpisahan.
Malam berganti pelan. Lampu-lampu kota menyala satu per satu, lalu perlahan memudar saat fajar mulai merekah. Udara berubah asin. Bau laut menyusup ke dalam mobil, menandai bahwa perjalanan itu hampir berakhir.
Ketika mobil akhirnya berhenti, cahaya subuh menyelimuti Pelabuhan Sunda Kelapa dengan warna pucat. Tiang-tiang kapal menjulang diam, ombak kecil memukul dermaga dengan irama pelan. Dunia tampak sibuk, seolah tak peduli pada satu hati yang baru saja patah dan menguat sekaligus.
Cakra turun dari mobil. Ia berdiri sejenak, menarik napas panjang. Dalam hatinya, ia menyebut satu nama, nama yang kini menjadi tujuan, bukan sekadar kenangan.
Dhyas.
Lalu, dengan janji yang mengikat jiwanya, ia melangkah menuju takdirnya, menunggu hari ia kembali.
**
Dhyas duduk di tepi ranjangnya. Pagi telah beranjak dan senja menjemput. Tapi sunyi masih menggantung, lebih berat dari biasanya. Hatinya terasa berbeda, terlalu lapang, terlalu kosong, seolah sesuatu yang penting telah dicabut begitu saja dari hidupnya.
Cakra telah pergi.
Ia menunduk, jemarinya menggenggam ujung kain di pangkuannya. Tanpa sadar, bibirnya terkatup pelan. Masih ada sisa hangat di sana. Masih ada ingatan itu—ciuman pertama mereka, yang terjadi begitu hening, begitu jujur. Dhyas mengingat bagaimana bibir Cakra menyentuhnya dengan ragu, seolah takut melukainya. Namun justru di sanalah hatinya runtuh sepenuhnya.
Ia masih bisa merasakan sentuhan itu. Lembut. Dalam. Membuat dadanya bergetar dengan perasaan yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Ciuman itu bukan sekadar keberanian dan membuka titik-titik sensitif dalam tubuhnya, melainkan janji yang tak terucap.
Air matanya jatuh tanpa suara.
Dhyas tidak mencegah nya. Tidak melarang. Ia memilih mengikhlaskan Cakra pergi, bukan karena lemah, melainkan karena percaya. Dalam hatinya, ia berjanji dengan keyakinan yang tenang: jika Cakra telah mencium bibirnya, maka hanya Cakra-lah pria yang akan dia nikahi. Kepadanya saja ia akan menyerahkan hidupnya. Tubuhnya. Dan seluruh kesetiaannya.
Ia mengusap pipinya, menarik napas perlahan. Jika takdir memang memisahkan, maka ia akan menunggu.
"Cakra, cinta ini bukan tentang cepat berlabuh, tapi tentang ketahanan menunggu dalam kesetiaan. Semoga semesta menguatkan kita berdua," gumam Dhyas.