NovelToon NovelToon
MERENDAH UNTUK MELANGIT

MERENDAH UNTUK MELANGIT

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Kehidupan di Kantor / Kebangkitan pecundang / Bepergian untuk menjadi kaya / Romansa / Mengubah Takdir
Popularitas:5.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

​Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
​Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
​Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

RANI HAMPIR BUNUH DIRI

RANI!!!" Fajar menggedor pintu dengan sangat keras. "RANI BUKA PINTUNYA! PLEASE! RANI!"

Bu Nirmala dan Pak Wira juga mulai panik.

"RANI!" Bu Nirmala berteriak sambil menangis. "BUKA PINTU, NAK! PLEASE! IBU MOHON!"

Fajar tidak bisa tunggu lagi. Ia mundur beberapa langkah, kemudian menabrak pintu dengan bahu sekuat tenaga.

BRAK!

Pintu kayu tua itu retak tapi belum terbuka.

BRAK!

Fajar menabrak lagi. Bahunya sakit luar biasa tapi ia tidak peduli.

BRAK!

Pintu akhirnya jebol, terbuka dengan paksa.

Fajar masuk dengan napas terengah-engah—dan pemandangan yang ia lihat membuat jantungnya seakan berhenti berdetak.

Rani.

Adiknya.

Gadis berusia enam belas tahun yang dulu selalu ceria itu sekarang duduk meringkuk di pojok kamar yang gelap. Rambutnya acak-acakan, baju lusuh kotor, wajahnya sangat pucat—hampir putih seperti mayat. Matanya... Ya Tuhan, matanya. Mata yang dulu berbinar sekarang kosong melompong. Tidak ada cahaya. Tidak ada harapan. Hanya kekosongan yang sangat menakutkan.

Di tangan kanannya, ada pecahan kaca—pecahan cermin kecil yang sudah ia pecahkan. Pergelangan tangan kirinya penuh luka sayatan—tidak dalam, tapi cukup untuk berdarah. Darah mengalir pelan membasahi lantai kayu.

"RANI!!!"

Fajar berlari menghampiri adiknya, merebut pecahan kaca dari tangannya dengan paksa, kemudian langsung memeluk adiknya erat-erat.

"RANI! KENAPA KAMU LAKUKAN INI?! KENAPA?!"

Bu Nirmala yang menyusul dari belakang langsung menjerit melihat darah di tangan Rani. "YA ALLAH! RANI! ANAKKU!"

Rani hanya diam. Tidak bergerak. Seperti boneka. Matanya tetap menatap kosong ke depan, tidak fokus pada apapun.

"Ran... Dik... ini Kakak. Kakak Fajar. Kakak di sini. Kakak udah pulang," kata Fajar dengan suara bergetar hebat sambil terus memeluk adiknya. Ia merasakan tubuh Rani yang sangat kurus—tulang-tulangnya menonjol. Jelas adiknya tidak makan berhari-hari.

Rani tidak merespon. Tidak menangis. Tidak bicara. Hanya diam dengan mata kosong.

"Rani... please... jawab Kakak... Kakak di sini... Kakak janji nggak akan tinggalin kamu lagi..." Fajar menangis keras-keras sambil memeluk adiknya semakin erat.

Bu Nirmala berlutut di samping mereka, tangannya gemetar mengambil tangan Rani yang berdarah, membersihkannya dengan ujung baju—tidak ada kain bersih lain. "Rani sayang... kenapa kamu lakukan ini... kenapa... Ibu mohon jangan sakiti diri sendiri... Ibu mohon, Nak..."

Pak Wira di kursi rodanya di ambang pintu hanya bisa menangis diam-diam—menangis seorang ayah yang tidak bisa melakukan apapun, tidak bisa melindungi anak perempuannya, hanya bisa menonton dengan hati hancur berkeping-keping.

Fajar melepas pelukannya, memegang wajah Rani dengan kedua tangannya, memaksa adiknya menatap matanya.

"Ran... lihat Kakak. Lihat mata Kakak."

Rani menatap—tapi matanya tetap kosong. Tidak ada emosi. Seolah jiwanya sudah tidak ada di dalam tubuhnya.

"Kakak percaya sama kamu," kata Fajar dengan suara bergetar keras, air matanya berjatuhan ke wajah Rani. "Kakak tahu kamu nggak mencuri. Kamu bukan pencuri. Kamu anak baik. Anak yang paling baik yang Kakak kenal. Dan Kakak janji... Kakak janji dengan segenap jiwa Kakak... Kakak akan buktikan kamu tidak salah. Kakak akan buktikan pada semua orang yang udah nyakitin kamu bahwa mereka salah. Kakak akan sukses. Kakak akan angkat derajat keluarga kita. Dan orang-orang yang udah nginjak-injak kita akan menyesal."

Tidak ada respon.

Fajar memeluk Rani lagi, kali ini lebih erat. Sangat erat. Seolah takut kalau ia lepaskan, adiknya akan menghilang.

"Please, Ran... please jangan tinggalin Kakak... Kamu adalah salah satu alasan terbesar Kakak bertahan di kota yang kejam itu... Kalau kamu pergi... Kakak nggak tahu Kakak bisa lanjutin atau nggak... Please... Kakak mohon... bertahan untuk Kakak... untuk Ibu... untuk Ayah..."

Keheningan.

Kemudian—

"Ka...kak..."

Suara yang sangat pelan. Sangat lemah. Hampir tidak terdengar.

Fajar langsung melepas pelukannya, menatap wajah Rani dengan mata berbinar harap. "Iya, Ran?! Iya?! Kakak di sini!"

Bibir Rani bergetar. Air matanya mulai jatuh—perlahan dulu, kemudian semakin deras.

"Kakak... kenapa... kenapa hidup aku harus begini..." isaknya dengan suara yang sangat hancur. "Aku udah coba jadi anak baik... Aku nggak pernah nyakitin orang... Aku nggak pernah ambil yang bukan hak aku... Tapi kenapa... kenapa aku terus disakitin... dihina... dicaci... sekarang malah dituduh pencuri..."

"Rani..." Fajar memeluk adiknya lagi, membiarkan Rani menangis di bahunya.

"Bu Rina... Bu Rina guru yang baik... Dia kasih aku kesempatan sekolah lagi dengan gratis..." Rani terisak-isak dengan tubuh bergetar hebat. "Aku... aku seneng banget, Kak... Aku pikir akhirnya aku bisa sekolah lagi... aku bisa punya masa depan... Cuma seminggu, Kak... Cuma seminggu aku balik sekolah... Terus... terus kejadian itu..."

Rani menangis semakin keras, tubuhnya bergetar sangat hebat.

"Bu Lastri... guru matematika... Dia taruh tas di meja... Pas pelajaran, aku disuruh ambil spidol di meja guru... Aku deket meja... Aku ambil spidol... Aku balik ke tempat duduk... Habis itu... Bu Lastri bilang uangnya hilang... Lima ratus ribu... Dia langsung nunjuk aku... Bilang cuma aku yang deket mejanya... Bilang aku pasti yang ambil..."

"Aku bilang aku nggak ambil... Aku bilang aku cuma ambil spidol... Tapi dia nggak percaya... Dia bilang: 'Anak orang miskin emang suka mencuri! Udah jadi kebiasaan!' Dia teriak-teriak, Kak... Dia teriak-teriak di depan seluruh kelas... Semua murid ngeliatin aku... Mereka ngetawain... Ada yang bilang: 'Dasar pencuri miskin!' Ada yang bilang: 'Pantas aja dikeluarin sekolah dulu, ternyata emang pencuri!'"

Fajar merasakan dadanya seperti ditusuk berkali-kali. Setiap kata yang keluar dari mulut Rani adalah pisau yang menancap semakin dalam.

"Kepala sekolah dipanggil... Aku dibawa ke ruang kepala sekolah... Bu Lastri bilang aku yang ambil... Kepala sekolah nggak nanya apa-apa... Nggak ada investigasi... Nggak ada bukti... Dia langsung bilang: 'Kamu dikeluarkan. Sekarang. Ambil tas kamu dan pergi.' Aku nangis... Aku bilang aku nggak ambil... Tapi nggak ada yang percaya..."

Rani menangis semakin histeris, suaranya bergetar tidak terkontrol.

"Waktu aku jalan keluar... Murid-murid pada ngeliatin dari jendela kelas... Mereka ngetawain... Ada yang teriak: 'PENCURI! PENCURI!' Ada yang lempar penghapus ke aku... Ada yang... ada yang ludahin aku, Kak... LUDAHIN AKU... Aku... aku nggak kuat... Aku nggak kuat lagi..."

Fajar memeluk Rani semakin erat. Ia menangis keras-keras, tidak peduli lagi terlihat lemah. Ia merasa sangat marah. Sangat sedih. Sangat tidak berdaya.

*Kenapa? Kenapa orang-orang begitu kejam? Kenapa mereka dengan mudahnya menghakimi tanpa bukti? Kenapa orang miskin harus selalu jadi kambing hitam?*

"Kak..." Rani berbisik pelan di bahu Fajar. "Aku udah nggak tahan lagi... Aku pengen mati aja... Mending aku mati daripada hidup dihina terus... Aku... aku udah coba... tadi aku coba..." Rani menatap pergelangan tangannya yang penuh luka sayatan. "Tapi aku takut... Aku penakut... Aku nggak berani..."

"JANGAN!" Fajar memegang wajah Rani dengan kedua tangan, memaksa adiknya menatap matanya. "JANGAN PERNAH BILANG BEGITU LAGI! JANGAN PERNAH COBA LAGI! KAMU DENGAR AKU, RAN?!"

Rani menangis histeris.

"Kamu pikir kalau kamu mati, masalah selesai?!" Fajar berteriak dengan suara penuh air mata. "TIDAK! Kalau kamu mati, Ibu akan hancur! Ayah akan hancur! AKU AKAN HANCUR! Kamu pikir aku bisa lanjutin hidup kalau kamu pergi?! TIDAK! Aku nggak bisa! Kamu adalah salah satu alasan terbesar aku bertahan di kota itu! Kalau kamu pergi, aku kehilangan alasan untuk terus berjuang!"

"Tapi... tapi hidup kayak gini sakit banget, Kak..." isak Rani dengan suara sangat lemah.

"AKU TAHU!" Fajar menangis semakin keras. "Aku tahu hidup kita sakit! Aku tahu kita disakitin terus! Tapi kita harus bertahan, Ran! Kita harus bertahan sampai kita bisa buktikan bahwa kita layak dihormati! Sampai kita bisa angkat kepala kita tinggi-tinggi dan bilang: 'Lihat! Kalian salah! Kami bukan sampah! Kami adalah manusia yang layak dihargai!'"

Rani menatap mata kakaknya yang penuh air mata, penuh tekad, penuh cinta yang sangat besar.

"Kakak... Kakak janji?" bisiknya dengan suara bergetar.

"AKU JANJI!" Fajar memegang kedua tangan Rani erat-erat. "Aku janji dengan segenap jiwa aku! Aku akan sukses! Aku akan buktikan kamu tidak salah! Aku akan buat orang-orang yang udah nyakitin kamu menyesal! Dan yang paling penting... aku akan buat kamu bahagia, Ran. Aku janji akan buat kamu bisa sekolah lagi, kuliah, jadi orang sukses. Tapi kamu harus bertahan. Please... please bertahan untuk aku..."

Rani akhirnya memeluk kakaknya dengan sangat erat—pelukan seorang adik yang sangat butuh kekuatan dari kakaknya. Mereka berdua menangis dalam pelukan. Di belakang mereka, Bu Nirmala menangis sambil memeluk Pak Wira yang juga menangis diam-diam di kursi rodanya.

Keluarga kecil ini—keluarga yang sudah berkali-kali diinjak-injak oleh dunia—sekarang berkumpul di kamar kecil yang pengap, memeluk satu sama lain, menangis bersama, mencoba bertahan bersama.

Karena itulah satu-satunya yang mereka punya: satu sama lain.

---

Malam itu, Fajar tidak tidur. Ia duduk di samping kasur Rani yang akhirnya tertidur setelah menangis seharian—tidur yang sangat tidak tenang, sesekali tersentak, bermimpi buruk, menangis dalam tidur.

Fajar duduk sambil memegang tangan adiknya yang sudah diperban—luka sayatan di pergelangan tangan yang menjadi bukti betapa hancurnya Rani.

Di samping Fajar, Bu Nirmala juga duduk—tidak tidur, hanya menatap anak perempuannya dengan mata penuh air mata yang tidak pernah berhenti mengalir.

"Jar..." bisik Bu Nirmala pelan agar tidak membangunkan Rani. "Ibu... Ibu hampir kehilangan dia, Nak. Kalau kamu nggak pulang... Kalau kamu nggak bisa buka pintunya tadi... Ibu nggak tahu apa yang akan terjadi..."

Fajar menatap ibunya. Wajah wanita ini sangat hancur. Sangat lelah. Seolah sudah tidak punya energi lagi untuk terus bertahan.

"Maafin aku, Bu," bisik Fajar dengan suara bergetar. "Maafin aku yang nggak bisa jaga Rani. Maafin aku yang jauh—"

"Ini bukan salahmu," potong Bu Nirmala lembut. "Ini salah dunia yang kejam. Salah orang-orang yang suka nginjak-injak orang lemah. Tapi Jar... Ibu mohon... jangan biarkan Rani menyerah. Dia mendengarkan kamu. Dia percaya sama kamu. Kalau kamu bilang ada harapan, dia akan percaya."

"Aku akan buktikan, Bu," kata Fajar dengan suara pelan tapi sangat tegas. "Aku akan buktikan bahwa Rani tidak salah. Aku akan buktikan bahwa keluarga kita layak dihormati. Aku janji."

Bu Nirmala menatap anaknya lama sekali. Kemudian ia memeluk Fajar—pelukan seorang ibu yang sangat bangga sekaligus sangat khawatir pada anaknya.

"Ibu percaya padamu, Nak. Ibu selalu percaya."

Pagi harinya, Minggu subuh, Fajar harus kembali ke kota. Ia harus kuliah Senin pagi. Ia harus kerja Senin sore. Ia tidak bisa berlama-lama.

Sebelum pergi, ia masuk ke kamar Rani yang baru bangun. Adiknya masih sangat lemah, matanya masih sembab, tapi setidaknya tidak kosong lagi. Ada sedikit cahaya—sangat kecil, tapi ada.

"Kakak harus balik ke kota," kata Fajar sambil duduk di samping kasur Rani.

Rani langsung menatap kakaknya dengan mata panik. "Kakak... jangan pergi... Rani takut sendirian..."

Fajar memegang tangan adiknya dengan lembut. "Kakak harus pergi, Dik. Kalau Kakak nggak kuliah, nggak kerja, Kakak nggak akan bisa sukses. Dan kalau Kakak nggak sukses, Kakak nggak bisa buktikan kamu tidak salah. Tapi Kakak janji... Kakak akan sering telepon. Setiap hari. Dan Kakak akan pulang lagi secepatnya."

"Kakak..." Rani menangis lagi, memeluk kakaknya erat.

"Rani harus janji sama Kakak," kata Fajar sambil memeluk adiknya. "Janji nggak akan sakiti diri sendiri lagi. Janji akan makan dengan baik. Janji akan bertahan. Bisa?"

Rani terdiam lama. Kemudian ia mengangguk pelan. "Rani... Rani janji."

"Good girl," Fajar mengecup puncak kepala adiknya. "Kakak sayang sama kamu. Sangat sayang."

"Rani juga sayang Kakak."

Fajar berdiri, berjalan keluar dengan hati sangat berat. Di ruang tengah, ia berpamitan dengan ayah dan ibu—keduanya menangis saat melepas Fajar pergi.

Sepanjang perjalanan pulang ke kota—enam jam di bus ekonomi yang pengap—Fajar tidak bisa berhenti menangis. Air matanya mengalir diam-diam sambil menatap keluar jendela.

*Rani... adikku... maafin aku yang harus tinggalin kamu lagi. Tapi aku janji... aku janji akan sukses. Aku akan buktikan kamu tidak salah. Aku akan buat semua orang yang udah nyakitin kamu menyesal.*

Di sakunya, hanya tersisa dua puluh lima ribu rupiah. Uang untuk dua minggu ke depan.

*Aku tidak tahu gimana aku akan bertahan. Tapi aku harus. Untuk Rani. Untuk keluarga. Aku tidak boleh menyerah.*

Malam itu, sampai di kos, Fajar langsung jatuh ke kasur tipisnya. Tubuhnya hancur. Mentalnya hancur. Tapi di dadanya, ada api yang menyala sangat besar.

Api untuk membalas semua yang pernah menyakiti keluarganya.

Bukan dengan kekerasan.

Tapi dengan kesuksesan.

---

**BERSAMBUNG...**

1
Sean Eagle
yg gue bingung Fajar ini masih umur 5 tahun kah thor ?......dikit dikit nangis
Dri Andri: terlalu pedih hidupnya
total 1 replies
ceuceu
sebenarnya kasian sm fajar,tapi kerasnya yg bikin greget,ga mau minta bantuan akhirnya kerja trs ampe sakit,biaya rumah sakit gede kn .
lama" ngeselin fajar.
Meru Kristanto
udah tamatkah
Dri Andri: belum kak... aku belum update bab... masih update 2 novel lain Sultan setelah koma dan cinta beda alam

mungkin bab ini sekarang update tunggu ya 😊
total 1 replies
ceuceu
Masyaa Allah ikut senang nereka sukses bersama/Good//Good//Good/
Dri Andri: iya makasih hadirnya yah
total 1 replies
Adek Denu
nice thor💪😍
Dri Andri: makasi
total 1 replies
Dewiendahsetiowati
semoga cepat clear masalah Fajar dan Damar dapat hukuman
Dri Andri: susah kak... karena dari keluarga kaya koneksi besar hukum bisa di tutup dengan cuan
total 1 replies
ceuceu
terimakasih update nya thor
Dri Andri: sama sama makasih juga dukungan lewat komentarnya
total 1 replies
ceuceu
thor rani apa kabarnya pengacara david udh nanganin kasusnya blm?
Dri Andri: hehehe kelupaan.. kebawa suasana cerita kuliah,,, pokus dulu aja di sini
total 1 replies
ceuceu
gedeg bgt blm apa" udh ada pengacau
Dri Andri: 🤭minum dulu jngn terbawa suasana
total 1 replies
Dri Andri
ya seperti parkiran.... kan beda di sana kota... sama bahan bakar yang pake🤭
ceuceu
thor bukan nya sepeda ga pake bensin ya?
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.
Dri Andri
sama....bukan lebay yah aku aja yang tulis mau nangis
ceuceu
tiap bab penuh bawang/Sob/
Dri Andri: sama.... bukan lebay ya... aku aja yng tulis sampe mau nangis
total 1 replies
ceuceu
ga tega bgt fajar/Sob/
Dri Andri
sabar yaa
Dri Andri
terimakasih udah selalu hadir di novel saya.... ini suatu kebangaan bagi saya 🙏
Dri Andri
Terimakasih kak udah selalu hadir di novel saya ini suatu kebangaan bagi saya
Dewiendahsetiowati
bikin dada nyesek.baca 😭😭
Dewiendahsetiowati
hadir thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!