Shanum disiksa sampai matii oleh dua kakak tirinya. Sejak ibunya meninggal, dia memang diperlakukan dengan sangat tidak baik di rumah ayahnya yang membawa mantan kekasihnya dan anak haramnya itu.
Terlahir kembali ke waktu dia masih SMA, ketika ibunya baru satu tahun meninggal. Shanum bangkit, dia sudah akan membiarkan dirinya dilukai oleh siapapun lagi. Dia bukan lagi seorang gadis yang lemah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Ketakutan Diana
Sementara Ricky dan Dion membawa Yuyun ke rumah sakit. Diana masih berada di ruang bawah tanah. Tempat yang dulu merupakan tempat, dimana Ricky kerap menghukum Shanum. Membuat Shanum menjadi seseorang yang punya mental penakut. Karena memang ruangan itu membuatnya mentalnya lemah.
Ruang bawah tanah itu seakan menjadi liang gelap yang menelan segala cahaya. Dinding batu yang lembap dipenuhi noda hijau lumut, baunya pengap dan menusuk hidung seperti campuran debu, karat, dan udara basi yang tak pernah bersirkulasi. Lantai tanahnya dingin, lembap, membuat kaki Diana terasa beku setiap kali ia bergerak.
Diana terhempas begitu saja ke ruangan itu, pintu besi berat berderit menutup di belakangnya dengan suara menggelegar. Seketika, keheningan menelan segalanya. Tidak ada ikatan di pergelangan tangannya, tidak ada rantai di kakinya, tapi ruangan itu sendiri adalah penjara.
Air matanya jatuh, membasahi pipinya yang pucat. Tubuhnya gemetar tanpa henti, antara dingin dan rasa takut yang mencengkeram dadanya. Nafasnya tersengal, terputus-putus, seakan udara tipis ruangan itu sedang mempermainkannya. Ia menempelkan punggungnya ke dinding dingin, lututnya ditarik ke dada, mencoba sekadar menemukan kenyamanan yang tak pernah ada.
Tapi semakin dia terdiam. Semakin rasa takut menggerogoti jiwanya. Diana bahkan merasa sesak seolah dirinya tak bisa bernafas.
Diana kembali mendekati pintu besi itu.
Brakk brakk
Diana kembali memukul keras pintu besi itu dengan kedua telapak tangannya yang bahkan sudah merah dan hampir lecet.
"Buka! tolong, aku mohon…" suaranya sudah serak, nyaris hilang. Ia sudah menjerit sampai kepalanya pening, tenggorokannya perih, tapi tidak seorang pun datang.
Semua keluarganya sedang di rumah sakit, dan ia benar-benar sendirian. Pikiran itu saja sudah cukup untuk membuat jantungnya berdebar liar, seakan akan meloncat keluar.
Rasa takut menekan dari segala arah. Tangisnya berubah menjadi isakan tak terkendali, bahunya berguncang hebat. Setiap detik yang berlalu membuat ruangan itu terasa semakin menyempit, seakan dinding-dinding lembap itu merapat dan siap menelannya. Diana merasa terperangkap dalam neraka basah yang pengap.
Matanya semakin tak terkendali. Bergerak ke segala arah. Dia sendirian di tempat itu. Tapi rasanya dia tidak benar-benar sendirian.
Diana terjatuh lemas ke lantai. Wanita itu memeluk dirinya erat-erat, tubuhnya bergetar hebat. Dadanya naik turun cepat, napasnya terengah seolah udara di ruangan itu semakin menipis. Air matanya membasahi wajah pucatnya, rambutnya yang kusut menempel di pelipis karena keringat dingin. Ia sudah berteriak, sudah memohon, suaranya habis, tenggorokannya perih, namun tak ada balasan selain gema suaranya sendiri.
Semakin dia melihat ke arah lain. Semakin rasa takut itu muncul semakin bertambah dan terus bertambah.
"Ayah, ibu, kak Dion tolong aku. Aku takut!" lirihnya memejamkan matanya dan memegang kepalanya, lebih tepatnya dengan posisi seolah melindungi kepalanya karena memang dia merasa sangat ketakutan.
Perasaan yang sama yang dulu pernah dirasakan oleh Shanum. Bahkan lebih parah dari itu. Karena sebelum di masukkan paksa ke tempat itu oleh Ricky atau Dion. Shanum bahkan biasanya di pukuli dulu sampai seluruh tubuhnya memar.
**
Di dalam mobil, menuju kediaman utama Megantara. Shanum melihat ke arah jendela. Dia pada akhirnya bisa pergi dari tempat itu. Rumah yang dia harapkan bisa menjadi tempat berlindung, tempat bernaung, tempatnya pulang. Tapi pada akhirnya, rumah itu menjadi tempat paling mengerikan untuknya. Sampai pada akhirnya di kehidupan sebelumnya dia sampai meregang nyawa di tangan orang-orang yang selama ini dia harapkan bisa menjadi keluarga.
"Shanum"
Shanum segera menoleh ketika Dimas memanggil namanya.
"Iya paman"
"Kamu pasti sudah melewati banyak hal sulit selama ini. Paman merasa lega, akhirnya kamu mau keluar dari rumah itu"
Dimas terlihat begitu lega. Sejak Sofia, kakak angkatnya meninggal. Sudah beberapa kali Dimas datang ke rumah itu dan ingin meminta Shanum pergi bersamanya. Tapi, sangat sulit. Jangankan mau ikut dengan Dimas. Shanum bahkan menolak menemui Dimas.
Shanum juga mengangguk paham. Dia tahu paman angkatnya itu sangat khawatir. Dulu dia buta, sangat buta sampai membiarkan dirinya matii sia-sia. Sekarang dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Tak lama kemudian. Mereka sampai di sebuah rumah yang bahkan lebih besar dari kediaman Sofia sebelumnya. Itu adalah mansion Megantara. Tempat tinggal nenek Shanum, ibunya Sofia. Mansion itu adalah milik Shanum. Seperti yang terjadi di keluarga Ricky. Saat usia Shanum mencapai 21 tahun. Semua itu juga akan menjadi miliknya. Dimas juga hanya membantu mengelola sementara.
Begitu Shanum datang, dia disambut oleh beberapa pelayan yang sudah berbaris rapi.
"Selat datang nona muda!" sapa mereka sampai membungkuk sembilan puluh derajat.
Shanum merasa dirinya dulu itu memang sangat bodohh. Dia menolak semua kemudahan ini dulu, dilayani oleh banyak pelayan. Dan malah menjadi pelayan di rumah ayahnya itu, hanya karena ingin mendapatkan kasih sayang semu dari ayah dan kedua saudara tirinya.
"Kamu bisa pilih kamar kamu. Kamar utama, adalah kamar nenek Yasmin. Sejak dulu memang tidak di tempati. Tapi kalau kamu mau..."
"Kamar paman dimana?" tanya Shanum pada Dimas.
"Di lantai dua" jawab Dimas.
"Kalau begitu di sebelah kamar paman saja. Aku akan merasa aman saat dekat dengan paman" kata Shanum.
Dimas terdiam sejenak. Tapi kemudian dia melihat ke arah bibi Hamidah. Kepala pelayan di mansion ini.
"Tunjukkan kamar nona!" kata Dimas yang langsung di angguki bibi Hamidah.
"Silahkan nona muda" kata bibi Hamidah dengan sangat sopan.
Shanum mengangguk. Dia mengikuti wanita paruh baya yang merupakan kepala pelayannya itu sekarang.
Sementara Dimas, dia bergegas ke ruang kerjanya. Karena banyak hal yang harus dia urus setelah Shanum pindah ke rumah ini, dan menjadi tanggung jawabnya. Tidak boleh ada kesalahan sekecil apapun, karena Dimas memang sudah berjanji pada Sofia. Untuk menjaga putrinya itu sampai kapanpun.
Shanum sudah membuka kamar yang ada di sebelah kamar Dimas. Balkon yang terpisah dari kamar Dimas. Tapi jaraknya cukup dekat.
"Semua pakaian untuk nona sudah disiapkan oleh tuan Dimas. Para pelayan sedang membuka packingnya dan akan di tata di ruang ganti di kamar ini. Semua perlengkapan sekolah, dan yang lain sudah disiapkan"
Shanum mengangguk paham. Dia menjadi seperti tuan putri di tempat ini. Paman angkatnya itu memang sangat baik. Tapi tiba-tiba saja muncul pertanyaan random di kepala Shanum.
"Oh ya bibi Hamidah. Apa paman Dimas pernah membawa teman wanitanya ke mansion ini?" tanya Shanum.
Bibi Hamidah malah tersenyum mendengar pertanyaan Shanum itu.
"Tidak pernah nona muda. Tuan tidak pernah membawa siapapun ke tempat ini. Tuan sangat menghormati mendiang Nyonya Yasmin dan mendiang nyonya Sofia. Sebenarnya tuan bahkan jarang tinggal di mansion ini. Dia datang hanya untuk memastikan semua baik-baik saja, tapi setiap hari dia berkunjung" jawab bibi Hamidah.
Shanum mengangguk paham. Paman angkatnya itu, benar-benar orang yang bisa di percaya.
***
Bersambung...