"Apa gunanya uang 100 Miliar jika tidak bisa membeli kebahagiaan? Oh, tunggu... ternyata bisa."
Rian hanyalah pemuda yatim piatu yang kenyang makan nasi garam kehidupan. Dihina, dipecat, dan ditipu sudah jadi makanan sehari-hari. Hingga suatu malam, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[Sistem Kapitalis Bahagia Diaktifkan]
[Saldo Awal: Rp 100.000.000.000]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29: Tahta Baru dan Algoritma Tuhan
Sinar matahari pagi menembus kaca jendela kamar tidur Rian di apartemen Sudirman Park. Ia mengerjapkan mata, mencoba mengumpulkan nyawa. Selama beberapa detik, ia lupa siapa dirinya. Apakah ia masih Rian si penjaga warung yang tidur di atas kasur busa tipis?
Namun, dinginnya AC sentral dan halusnya sprei sutra kualitas premium menyadarkannya. Ia bukan lagi sekadar pemilik warung. Ia kini adalah Presiden Direktur dari perusahaan pangan terbesar di Indonesia.
Rian bangun dan duduk di tepi ranjang. Kepalanya terasa sedikit pening, bukan karena sakit, tapi karena beban informasi yang membanjiri otaknya sejak kemarin sore. Aset 5 Triliun. Utang 2 Triliun. Dua puluh ribu karyawan. Lima puluh ribu outlet distribusi.
"Sistem," panggil Rian lirih.
[Selamat Pagi, Tuan Tycoon.]
[Saldo Poin Kebahagiaan: 52.450]
[Saldo Poin Dominasi: 25.000]
[Fitur Tier 3: Future Tech (Ready)]
Rian tersenyum tipis. Angka poinnya sekarang fantastis. Dulu, mengumpulkan 100 poin saja susahnya minta ampun. Sekarang ia punya puluhan ribu.
Ia bangkit, mandi, dan mengenakan setelan jas barunya. Hari ini adalah hari pertama ia berkantor resmi di Menara Rasa Nusantara. Ia tidak boleh terlihat lemah.
Satu jam kemudian, mobil Alphard Rian berhenti di lobi utama menara pencakar langit itu. Kali ini sambutannya berbeda. Jika dulu ia dihadang satpam, sekarang karpet merah digelar. Jajaran direksi yang tersisa (yang tidak ditangkap KPK) berdiri berbaris membungkuk hormat, ketakutan setengah mati.
Rian berjalan melewati mereka tanpa menoleh kanan-kiri, diikuti Maya yang tampil sangat powerful dengan blazer putih, dan Kenzo yang... yah, tetap memakai hoodie, tapi setidaknya hoodie-nya baru dan bersih.
"Selamat pagi, Pak Rian," sapa Sekretaris Perusahaan dengan suara bergetar.
"Pagi," jawab Rian singkat. "Kumpulkan semua kepala divisi di ruang rapat utama dalam 15 menit. Saya mau lihat laporan keuangan yang asli, bukan yang dipoles untuk pemegang saham."
Ruang rapat utama di lantai 50 itu terasa dingin mencekam. Rian duduk di kursi ujung meja panjang. Di hadapannya, tumpukan berkas setinggi gunung tersaji.
"Jadi," Rian melempar satu berkas ke tengah meja. "Bisa jelaskan kenapa biaya logistik kita membengkak 40% tahun lalu? Padahal harga minyak dunia turun?"
Direktur Logistik, seorang pria tua yang merupakan kroni lama Bramantyo, menyeka keringat di dahinya. "Euh... itu... ada kendala teknis di lapangan, Pak. Truk sering rusak, pungli di jalan, dan..."
"Dan mark-up vendor fiktif milik saudara ipar Bapak?" potong Kenzo sambil memutar laptopnya ke arah Direktur itu. Di layar, terpampang data aliran dana ke perusahaan cangkang.
Wajah Direktur Logistik itu pucat pasi.
Rian menghela napas. "Kalian semua dengar sini. Bramantyo memimpin dengan ketakutan dan korupsi. Saya tidak. Saya memimpin dengan efisiensi."
Rian memejamkan mata sejenak, mengakses Toko Sistem Tier 3. Ia butuh solusi cepat untuk membersihkan "sampah" warisan manajemen lama ini. Matanya tertuju pada satu item teknologi masa depan.
[ITEM: A.I. Omni-Logistics System (Level 1)]
[Harga: 10.000 Poin Kebahagiaan]
[Deskripsi: Kecerdasan Buatan yang mampu mengambil alih manajemen rantai pasok (Supply Chain). Mengoptimalkan rute, memprediksi stok, mendeteksi kebocoran anggaran, dan memecat vendor curang secara otomatis.]
"Beli," batin Rian.
[Transaksi Berhasil. Mengunduh data ke server perusahaan...]
"Kenzo, colokkan flashdisk ini ke server utama," Rian melemparkan sebuah flashdisk hitam (yang dimaterialisasikan oleh sistem di sakunya) ke arah Kenzo.
Kenzo menangkapnya. "Siap, Bos. Cleanup time."
Begitu Kenzo menancapkan flashdisk itu ke port server di pojok ruangan, lampu indikator server berkedip biru dengan pola yang aneh. Di layar besar ruang rapat, baris-baris kode berjalan sendiri dengan kecepatan gila.
[SYSTEM INITIALIZING...]
[SCANNING NETWORK...]
[DETECTING INEFFICIENCIES: 4,502 ISSUES FOUND]
Para direksi melongo melihat layar itu. Data-data rahasia mereka, penyelewengan dana, rute truk yang diputar-putar demi uang jalan, semuanya terbuka telanjang di layar.
"Mulai hari ini," suara Rian tegas. "Sistem logistik perusahaan ini dikendalikan oleh AI. Tidak ada lagi manusia yang bisa main mata sama vendor. AI ini akan memotong biaya operasional kita sebesar 30% bulan ini."
Rian menatap Direktur Logistik yang gemetar.
"Pak Direktur, AI barusan mengirim email pemecatan ke Bapak dan melaporkan data korupsi Bapak ke polisi. Silakan bereskan meja Bapak sekarang."
Ruangan itu hening senyap. Rian tidak butuh marah-marah. Dia baru saja mengganti sistem lama yang busuk dengan "Algoritma Tuhan" yang tak punya belas kasihan pada pencuri.
"Rapat selesai. Kembali kerja," tutup Rian.
Siang harinya, Rian merasa butuh udara segar. Gedung pencakar langit ini terlalu steril, terlalu dingin. Ia merindukan bau bawang goreng dan suara sutil beradu dengan wajan.
Tanpa memberitahu banyak orang, Rian menyelinap keluar lewat lift barang, hanya ditemani Pak Teguh. Mereka kembali ke Ruko Jalan Merpati.
Suasana di sana sangat kontras. Warung Nasi Bahagia kini sudah dibuka kembali setelah segel dicabut. Antrean pengunjung mengular sampai ke jalan raya. Wajah-wajah yang mengantre itu tampak lelah—supir ojol, buruh bangunan, mahasiswa perantauan—tapi begitu mereka menerima nasi bungkus seharga sepuluh ribu itu, wajah mereka berubah cerah.
Rian berdiri di seberang jalan, mengamati dari jauh.
"Kangen, Bos?" tanya Pak Teguh sambil menyulut rokok kreteknya.
"Banget, Pak," jawab Rian. "Di sana, di gedung tinggi itu, orang-orang bicara soal triliunan tapi mukanya pada stress. Di sini, orang bicara soal recehan tapi bisa ketawa lepas."
"Itu bedanya rumah sama tempat kerja, Bos."
Tiba-tiba, seorang ibu tua penjual tisu keliling yang baru saja membeli nasi bungkus berjalan tertatih melewati mereka. Ibu itu membuka bungkus nasinya di trotoar, lalu berdoa khusyuk sebelum suapan pertama.
Rian melihat aura keemasan tipis keluar dari ibu itu saat ia makan.
[TING! +50 Poin Kebahagiaan]
Rian tersenyum. Sumber kekuatannya bukan di pasar saham, tapi di sini. Di perut orang-orang yang kenyang.
"Pak Teguh," kata Rian tiba-tiba.
"Ya, Bos?"
"Saya punya ide gila. Gimana kalau kita ubah semua produk Rasa Nusantara—mie instan, sosis, bumbu, susu—jadi kayak masakan Bu Ningsih?"
Pak Teguh menaikkan alisnya. "Maksudnya?"
"Kita suntikkan Resep Bahagia ke dalam semua lini produksi pabrik raksasa itu. Kita bikin seluruh Indonesia makan enak dan bahagia, bukan cuma pelanggan warung ini."
"Dan harganya?"
"Tetap murah. Kita subsidi silang dari keuntungan efisiensi AI tadi."
Pak Teguh tertawa lebar. "Wah, kalau itu kejadian, Bos bukan cuma jadi Konglomerat. Bos bakal jadi Presiden suatu hari nanti."
Rian tertawa. "Presiden kejauhan, Pak. Jadi Menteri Perut Kenyang aja cukup."
Saat mereka sedang bercanda, HP Rian berbunyi. Telepon dari Maya.
"Halo, May? Kenapa? Ada yang korupsi lagi?"
Suara Maya terdengar panik, tapi bukan panik karena masalah internal.
"Pak Rian! Bapak harus lihat berita TV sekarang! Ini bukan soal perusahaan kita. Ini soal... wabah."
"Wabah?"
"Iya, Pak. Di berita internasional. Ada virus flu jenis baru yang menyebar cepat di Asia Timur. Dan... kasus pertama baru saja terdeteksi di Bandara Soekarno-Hatta."
Rian mematikan telepon. Ia menatap langit Jakarta yang mulai mendung.
Sistem Future Tech tadi menawarkan Nano-Health Drink. Rian pikir itu hanya untuk gaya-gayaan. Tapi sekarang, Rian sadar. Sistem tidak pernah memberikan penawaran tanpa alasan.
Sistem tahu apa yang akan datang.
"Ayo balik ke kantor, Pak Teguh," perintah Rian, wajahnya serius. "Liburannya selesai. Kita harus menyelamatkan lebih dari sekadar perut lapar."
Angin kencang bertiup, menerbangkan debu jalanan. Era perang dagang sudah berakhir. Kini, Rian menghadapi era bertahan hidup.