NovelToon NovelToon
Butterfly

Butterfly

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:423
Nilai: 5
Nama Author: Nadhira ohyver

Arunaya, seorang gadis dari keluarga terpandang yang terpenjara dalam sangkar emas tuntutan sosial, bertemu Adrian, pria sederhana yang hidup mandiri dan tulus. Mereka jatuh cinta, namun hubungan mereka ditentang keras oleh Ayah Arunaya yang menganggap Adrian tidak sepadan.

Saat dunia mulai menunjukkan taringnya, memihak pada status dan harta, Naya dan Adrian dihadapkan pada pilihan sulit. Mereka harus memilih: menyerah pada takdir yang memisahkan mereka, atau berjuang bersama melawan arus.

Terinspirasi dari lirik lagu Butterfly yang lagi happening sekarang hehehe....Novel ini adalah kisah tentang dua jiwa yang bertekad melepaskan diri dari kepompong ekspektasi dan rintangan, berani melawan dunia untuk bisa "terbang" bebas, dan memeluk batin satu sama lain dalam sebuah ikatan cinta yang nyata.

Dukung authir dong, like, vote, n komen yaa...
like karya authir juga jangan lupa hehehe

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18

Jakarta di bulan Desember membawa udara yang lembap dan langit yang selalu kelabu, seolah mewakili perasaan Naya yang terus bergemuruh. Setelah kejadian di ruangan Andika, Naya tidak bisa langsung pulang. Ia duduk di ruang kerjanya yang hanya diterangi lampu meja, menatap mesin penghancur kertas yang masih menyisakan aroma panas.

Pikirannya melayang pada map yang diberikan Andika. Di satu sisi, ia lega luar biasa. Namun di sisi lain, ia merasa perih. Mencintaimu berarti harus melihatmu hidup, bukan hanya bernapas. Kalimat Andika terus terngiang seperti melodi yang menyedihkan.

Naya meraih ponsel rahasianya, mengetikkan pesan singkat untuk Adrian yang kini dikenal sebagai Arsitek Rian.

"Perisai itu sudah ada, Rian. Andika berada di pihak kita. Tapi batin ini tetap tidak tenang. Tetaplah menjadi asing di depan mata dunia."

Di hotelnya yang menghadap ke arah gedung pencakar langit Jakarta, Rian berdiri di balkon. Ia baru saja kembali dari pertemuan dengan beberapa sub-kontraktor. Jasnya sudah ia lepaskan, menyisakan kemeja putih dengan lengan digulung.

Getar ponsel di saku celananya membawa senyum tipis yang penuh kerinduan. Ia membaca pesan Naya, lalu menatap langit yang tak berbintang.

"Asing di depan dunia, namun satu di dalam jiwa," gumam Rian pelan.

Ia tahu, bantuan Andika adalah berkah yang tak terduga. Namun, Rian juga sadar bahwa Tuan Hardi memiliki "mata" lain. Ia harus membuktikan kemampuannya lebih dari siapa pun agar Tuan Hardi tidak punya alasan untuk menggoyahkan posisinya sebagai konsultan utama.

Keesokan harinya, suasana di Hardi Group menjadi sangat sibuk. Tuan Hardi menjadwalkan kunjungan mendadak ke lokasi proyek di lobi utama. Naya, Andika, dan Rian harus mendampingi.

Ini adalah momen pertama mereka bertiga berada di satu ruang terbuka setelah rahasia itu terbongkar di hadapan Andika.

"Saudara Rian, saya ingin galeri ini menjadi wajah baru perusahaan. Jangan sampai ada kesalahan teknis," ujar Tuan Hardi sambil menunjuk kerangka sayap yang mulai menjulang.

Rian mengangguk hormat, wajahnya sangat tenang, seolah pria di depannya bukanlah orang yang pernah memerintahkan untuk menghancurkan hidupnya dua tahun lalu. "Tentu, Tuan Hardi. Filosofi bangunan ini adalah tentang ketangguhan. Sesuatu yang tumbuh dari bawah untuk mencapai langit. Saya menjamin kekuatannya."

Naya berdiri di samping Ayahnya, tangannya yang tersembunyi di saku blazer mengepal kuat. Ia harus bersikap dingin. Ia bahkan tidak melirik ke arah Rian.

Andika, yang berdiri di sisi lain, tiba-tiba angkat bicara. "Saya sudah memeriksa semua spesifikasi material yang diajukan Rian, Om Hardi. Semuanya di atas standar. Saya pribadi menjamin pilihan arsitek kita kali ini."

Tuan Hardi menoleh ke arah Andika, sedikit terkejut dengan pembelaan yang begitu mantap. "Begitu? Baguslah kalau kamu sudah memastikannya, Andika."

Naya sempat mencuri pandang ke arah Andika. Ada rasa syukur yang mendalam di matanya. Andika membalasnya dengan anggukan tipis—sebuah isyarat bahwa ia akan menjadi benteng bagi mereka berdua.

Namun, keromantisan yang sesungguhnya justru terjadi dalam kebisuan. Saat Tuan Hardi sibuk berdiskusi dengan kepala konstruksi, Rian harus melewati Naya untuk mengambil gulungan denah yang tertinggal di meja supervisi.

Jarak mereka hanya beberapa sentimeter. Aroma parfum Rian—campuran aroma kayu cendana dan dinginnya hujan—merambat masuk ke indra penciuman Naya. Di saat yang sama, tangan Rian yang sedang mengambil denah tanpa sengaja bersentuhan dengan ujung jemari Naya yang sedang memegang tablet.

Hanya satu detik. Sentuhan itu terasa seperti sengatan listrik yang menghangatkan seluruh tubuh mereka. Naya menahan napas, dadanya sesak karena kerinduan yang harus ia telan bulat-bulat. Rian tidak menoleh, tapi rahangnya mengeras, mencoba mengontrol debar jantungnya yang kacau.

Di bawah lampu lokasi proyek yang terang benderang, jiwa mereka seolah sedang saling berpelukan erat, menangisi jarak yang diciptakan oleh status dan sandiwara.

"Bisa kurasa getar jantungmu, mencintaiku, apalagi aku..." batin Naya merintih.

Malam harinya, Andika masuk ke ruangan Naya saat kantor sudah mulai sepi. Ia membawa sebuah berkas baru.

"Nay, aku sudah menghapus semua log akses penyelidikan kemarin dari server pusat. Tidak akan ada jejak di departemen IT," ujar Andika pelan.

Naya menatap Andika dengan mata yang berkaca-kaca. "Mas... aku tidak tahu bagaimana cara membalas ini."

Andika tersenyum getir, menyandarkan tubuh di pintu. "Cukup pastikan kalian tidak lengah. Bram, asisten Ayahmu, mulai sering bertanya-tanya tentang Aris, asisten Rian. Dia merasa Aris terlalu familiar dengan lingkungan Jakarta."

Naya tersentak. Bram adalah ancaman baru. "Lalu apa yang harus kita lakukan?"

"Biarkan aku yang menangani Bram. Tugasmu hanya satu, Nay," Andika menatap Naya dalam-diam. "Tetaplah jadi 'Naya yang dingin' di depan umum. Jangan biarkan binar matamu muncul setiap kali Rian lewat. Itu adalah celah paling berbahaya bagi seorang wanita yang sedang jatuh cinta."

Naya mengangguk lemah. Ia menyadari, perjuangan mereka kini bukan lagi soal jarak benua, tapi soal bagaimana menjaga hati agar tetap tersembunyi di balik topeng profesionalisme yang membeku.

Perjamuan di Atas Bara

Undangan itu datang seperti petir di siang bolong. Tuan Hardi, yang sangat puas dengan kemajuan pesat galeri seni, memutuskan untuk mengadakan makan malam privat di kediamannya sebagai bentuk apresiasi bagi sang arsitek konsultan.

Bagi dunia, ini adalah kehormatan luar biasa. Namun bagi Arunaya dan Adrian, ini adalah ujian batin yang paling menyiksa.

Malam itu, kediaman Hardi tampak megah dengan lampu-lampu taman yang berpijar. Rian turun dari mobil dengan langkah yang diatur sedemikian rupa agar tetap tenang. Ia mengenakan setelan jas berwarna charcoal yang elegan. Saat ia menginjakkan kaki di teras rumah itu, memori dua tahun lalu menghantamnya—bayangan saat ia diseret keluar, dihina, dan dianggap sampah.

Rian menarik napas panjang, membiarkan udara malam Jakarta menenangkan paru-parunya. "Aku bukan lagi pria katering itu, Naya. Aku datang untuk menjemputmu," batinnya menguatkan diri.

Di dalam rumah, Naya berdiri di puncak tangga. Ia mengenakan gaun sutra berwarna biru malam yang sederhana namun mewah. Saat melihat Rian masuk melalui pintu depan, jantungnya berdegup hingga ke ujung jemari. Ia melihat Rian disambut oleh Ayahnya dengan jabat tangan—sebuah pemandangan yang dulu terasa mustahil.

"Selamat datang, Saudara Rian. Silakan masuk," ujar Tuan Hardi dengan nada ramah yang dibuat-buat.

Naya turun perlahan, wajahnya dipasang setenang mungkin. "Selamat malam, Pak Rian. Terima kasih sudah memenuhi undangan Ayah," sapanya dengan suara sedingin es, meski di dalam dadanya, jiwanya sedang meronta ingin memeluk pria itu.

"Malam, Nona Naya. Sebuah kehormatan bagi saya," balas Rian. Mata mereka bertemu sekejap—sebuah kontak mata yang menyimpan ribuan kata rindu, namun segera diputus oleh kehadiran Andika dan Nyonya Hardi.

Meja makan panjang itu dipenuhi hidangan mewah. Rian duduk tepat di hadapan Naya. Di samping Naya, duduk Andika, yang sepanjang malam terus memberikan tatapan waspada sekaligus protektif.

Tuan Hardi mulai membuka pembicaraan. "Saudara Rian, desain sayap kupu-kupu pada galeri itu... Andika bilang itu adalah simbol kebebasan. Apa yang menginspirasi Anda?"

Bersambung...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!