Rendra Adyatama hanya memiliki dua hal: rumah tua yang hampir roboh peninggalan orang tuanya, dan status murid beasiswa di SMA Bhakti Kencana—sekolah elite yang dipenuhi anak pejabat dan konglomerat yang selalu merendahkannya. Dikelilingi kemewahan yang bukan miliknya, Rendra hanya mengandalkan kecerdasan, ketegasan, dan fisik atletisnya untuk bertahan, sambil bekerja sambilan menjaga warnet.
Hingga suatu malam, takdir—atau lebih tepatnya, sebuah Sistem—memberikan kunci untuk mendobrak dinding kemiskinannya. Mata Rendra kini mampu melihat masa depan 24 jam ke depan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilo Ginting, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22. Jejak Digital dalam Ponsel Jadul dan Ujian Mandiri
Taksi online menurunkan Rendra dua blok dari ruko barunya. Ia sengaja berjalan kaki melalui rute memutar yang gelap, memastikan tidak ada ekor yang mengikutinya dari kawasan Menteng. Jas mahalnya kini terasa menyesakkan, seolah kostum panggung yang harus segera dilepas setelah pertunjukan usai.
Sesampainya di dalam bunker, Rendra mengunci pintu baja rangkap tiga. Hembusan udara dingin dari AC sentral menyambutnya, aroma elektronik dan kopi menyadarkannya kembali pada realitas. Ia bukan eksekutif muda, bukan pula teman sosialita Clara. Ia adalah operator bayangan dengan aset senilai tiga perempat miliar rupiah dan daftar musuh yang terus bertambah.
Rendra melepas jasnya, menggantungnya rapi, lalu duduk di depan meja kerjanya. Ia mengeluarkan benda yang ia rampas dari preman di gang tadi sore: sebuah ponsel Nokia model lama dengan layar retak.
Bagi orang awam, benda ini hanyalah sampah elektronik. Bagi Rendra, ini adalah kotak hitam musuh.
Ponsel itu terkunci dengan kode PIN. Rendra tidak bisa menggunakan Visi nya untuk melihat masa lalu (saat preman itu mengetik PIN), jadi ia harus mengandalkan teknologi.
Rendra menghubungkan ponsel itu ke laptop khususnya menggunakan kabel data yang sudah dimodifikasi. Ia menjalankan software brute-force yang ia beli dari pasar gelap online menggunakan Bitcoin. Program itu mencoba ribuan kombinasi angka per detik.
Sambil menunggu, Rendra menyeduh kopi. Pikirannya melayang pada Elena Paramita. Wanita itu cerdas, terlalu cerdas. Rendra berhasil menipunya malam ini dengan insiden gelas pecah, tapi itu hanya solusi sementara. Elena seperti anjing pelacak yang sudah mencium bau darah; dia tidak akan berhenti mengendus sampai menemukan sumbernya. Rendra harus memastikan bahwa setiap kali Elena "menemukan" sesuatu, itu adalah sesuatu yang Rendra ingin dia temukan.
Ting!!
Layar laptop berkedip hijau. PIN ditemukan: kode 1998, Kode yang klise.
Rendra membuka isi ponsel itu. Sesuai dugaannya, tidak ada aplikasi pesan modern seperti WhatsApp. Para pemain lapangan kotor ini masih menggunakan SMS seluler biasa untuk menghindari pelacakan internet.
Rendra menyalin semua data SMS ke server pribadinya dan mulai menganalisis pola komunikasi.
Sebagian besar pesan berisi perintah singkat: "Sikat", "Ambil paket", "Tunggu di pos". Namun, ada satu nomor yang sering muncul dengan nama kontak "Pak Kobra".
Pesan terakhir dari Pak Kobra, dikirim satu jam sebelum Rendra diserang:
"Target anak SMA. Teman P. Beri pelajaran. Patahkan satu tangan biar dia menjauh. Jangan bunuh. Kita cuma mau kirim pesan ke P."
"P" pasti merujuk pada Paramita.
Rendra melakukan pelacakan nomor Pak Kobra menggunakan database terbuka dan tools OSINT (Open Source Intelligence). Nomor itu terdaftar atas nama fiktif, tetapi riwayat lokasinya sering aktif di sebuah area pergudangan tua di Jakarta Utara yang dikenal sebagai sarang rentenir ilegal.
Kobra. Nama aslinya kemungkinan Hendra Wijaya, seorang koordinator lapangan untuk organisasi sayap Partai Keadilan yang bergerak di bidang "keamanan" dan pinjaman ilegal.
Rendra kini punya nama dan lokasi.
Tepat pukul 01.00 dini hari, ponsel burner Rendra yang khusus untuk komunikasi dengan Wirawan berdering.
Rendra mengangkatnya. "Halo."
"Aku dengar ada keributan kecil di gang dekat tempat barumu sore tadi," suara Tuan Wirawan terdengar santai, namun menyiratkan bahwa ia tahu segalanya. "Tiga orang menyerangmu. Kau mematahkan lengan salah satunya. Gerakan yang efisien, Rendra."
Rendra tidak terkejut. Wirawan pasti menempatkan pengawas di sekitar ruko barunya. "Mereka hanya gangguan kecil, Tuan. Tidak perlu dikhawatirkan."
"Gangguan kecil?" Wirawan tertawa kecil. "Mereka orang-orang Kobra. Sayap kotor dari lawan politik kita. Mereka menyerangmu karena kau terlalu dekat dengan Clara. Kau sekarang ada di radar musuhku, Rendra."
"Saya bisa mengatasinya," jawab Rendra datar.
"Bagus. Karena aku tidak akan membantumu," kata Wirawan, suaranya berubah dingin dan tajam. "Dengar baik-baik, Rendra. Kau adalah calon Kingpin. Seorang Raja tidak berlari ke pelindungnya setiap kali ada anjing yang menggonggong. Ini ujian mandirimu."
Wirawan memberi jeda, membiarkan kata-katanya meresap.
"Urus Kobra. Bersihkan ancaman itu dari papan catur. Aku tidak peduli caranya. Kau punya uang, kau punya otak, kau punya kemampuan. Jika besok Kobra masih bernapas dan mengganggu operasiku atau mendekatimu lagi, aku akan menganggap kau tidak layak memegang investasi setengah miliarku. Dan kau tahu apa yang terjadi pada investasi yang gagal !!!."
Telepon terputus.
Rendra menatap layar ponsel yang gelap. Ini bukan sekadar izin untuk membalas dendam. Ini adalah perintah eksekusi secara metafora atau harfiah. Wirawan ingin melihat apakah Rendra memiliki kekejaman yang diperlukan untuk bertahan di dunia ini.
Rendra tidak akan membunuh Kobra. Pembunuhan akan menarik polisi dan merusak hidupnya. Rendra akan melakukan sesuatu yang jauh lebih menyakitkan bagi seorang lintah darat seperti Kobra: Memiskinkannya.
Rendra memfokuskan Kemampuan Visinya ke lokasi yang ia identifikasi sebagai markas Kobra di Jakarta Utara.
Ia melihat sebuah ruko kumuh yang berkedok koperasi simpan pinjam. Di dalamnya, ada brankas besi tua.
Rendra memutar waktu visinya ke depan. Ia melihat besok siang, pukul 14.00, Kobra akan menerima setoran tunai mingguan dari para penagih utangnya. Uang tunai dalam jumlah besar ratusan juta akan dikumpulkan di sana sebelum disetorkan ke atasan partainya.
Namun, Rendra melihat detail lain yang lebih menarik.
Pukul 14.30, akan ada penggerebekan polisi di lokasi tersebut.
Rendra mengerutkan kening. Polisi?
Ia mempertajam Visi-nya. Tidak. Itu bukan polisi resmi. Itu adalah polisi gadungan kelompok saingan yang mencoba merampok Kobra dengan menyamar. Akan terjadi baku tembak. Kobra akan kabur membawa uangnya lewat pintu belakang, lolos dari sergapan itu.
Ini dia celahnya.
Kobra akan lolos membawa uangnya, dan menghilang. Jika itu terjadi, Rendra gagal dalam ujian Wirawan. Rendra harus memastikan Kobra kehilangan uangnya dan tertangkap (atau setidaknya hancur).
Rendra menyusun rencana. Ia tidak perlu turun tangan langsung memukul Kobra. Ia hanya perlu memanipulasi variabel yang ada.
Ia membuka laptopnya, masuk ke forum dark web tempat para hacker dan informan berkumpul. Ia tidak menyewa pembunuh bayaran. Ia mencari jasa kurir anonim.
Rendra mengetik pesan, mengirimkannya ke nomor kontak rahasia kepolisian sektor setempat (nomor pengaduan masyarakat yang jarang dicek, tapi akan meledak jika ada bukti valid).
Ia menyusun sebuah dossier digital. Isinya bukan tentang Kobra, tetapi tentang "Rencana Perampokan Polisi Gadungan" yang akan terjadi besok pukul 14.30. Ia memberikan detail kendaraan para perampok (yang ia lihat di Visi) dan senjata yang mereka bawa.
Dengan melaporkan perampoknya, bukan Kobra-nya, Rendra memicu respons polisi resmi yang bersenjata lengkap untuk datang ke lokasi sebelum perampokan terjadi. Polisi akan mengepung tempat itu karena menduga ada sindikat bersenjata.
Dan ketika polisi datang, mereka tidak hanya akan menemukan perampok yang bersiap menyerang, tetapi juga menemukan markas judi dan rentenir Kobra yang penuh uang tunai ilegal.
Sekali tepuk, dua lalat mati.
Para perampok tertangkap. Kobra tertangkap basah dengan uang haram ratusan juta. Organisasi sayap Partai Keadilan akan terekspos, dan nama Kobra akan hancur.
Keesokan harinya, Rendra tidak pergi ke sekolah. Ia duduk di bunker-nya, memantau frekuensi radio polisi yang ia sadap menggunakan peralatan barunya.
Pukul 14.15 WIB.
Suara panik terdengar di radio. "Tersangka bersenjata teridentifikasi di Jalan Yos Sudarso. Unit Walet bergerak. Kepung lokasi."
Rendra tersenyum tipis sambil menyeruput kopinya.
Pukul 14.45 WIB.
Berita breaking news di televisi lokal menyiarkan penggerebekan besar-besaran.
"Polisi berhasil menggagalkan upaya perampokan bersenjata dan sekaligus membongkar sindikat pinjaman ilegal berkedok koperasi. Pimpinan sindikat berinisial H alias Kobra berhasil diamankan beserta barang bukti uang tunai Rp800 juta dan senjata tajam."
Di layar TV, Rendra melihat Kobra digiring keluar dengan tangan terborgol, wajahnya lebam (mungkin melawan saat ditangkap). Rendra menatap wajah pria yang memerintahkan pemukulan dirinya kemarin sore.
Kobra tamat. Tanpa Rendra harus mengotori tangannya dengan darah.
Rendra mengambil ponsel burner-nya, memotret layar TV itu, dan mengirimkannya ke Tuan Wirawan.
Pesan: "Sampah sudah dibuang ke tempat pembuangan akhir. Ujian selesai."
Satu menit kemudian, balasan masuk.
"Kerja bagus. Kau memang berbakat menjadi sutradara, Rendra. Sekarang, bersiaplah. Elena akan menghubungimu besok untuk proyek yang sesungguhnya. Kita akan mengguncang fondasi kota ini."
Rendra mematikan TV. Ia menang lagi. Tapi kemenangan ini terasa hampa. Ia baru saja menghancurkan hidup seseorang meskipun orang itu jahat hanya dengan beberapa ketikan di laptop. Kekuasaan ini memabukkan, sekaligus menakutkan.
Dan besok, Elena. Rendra harus kembali menjadi "hantu" yang melindungi wanita itu, sambil terus mencari cara untuk melepaskan diri dari cengkeraman Wirawan yang semakin erat.
Semangat Thor