Elden Hyper Badboy

Di balik sebuah jeruji.

Jovano mendekam di sana. Dia menundukkan kepalanya sedih. Sudah hampir dua tahun, Devano tak menjenguknya. Pria itu menarik napasnya pelan. Di kejauhan, sosok perempuan datang.

Cindy.

"Papa masih ngarep Devano jenguk papa?" tawanya. Rupanya masih anak dari selingkuhan Jovano yang lain berani menjenguk ke sini. Cindy—sahabatnya Mirna. Siapa sangka? Kalo perempuan itu putra Jovano Pitch sebenarnya.

"Papa banyak salah dengan Devano," balas Jovano.

Cindy tertawa. "Apa yang salah, Pa? Papa gak salah kok, papa jadi pecandu narkoboy kan juga karena Devano dan mamanya!" Sinis Cindy.

"Cindy!!"

"Pah, kenapa sih, Pa? Papa gak mau terus terang sama Devano, papa itu cuma mantan supirnya Nyonya Anera, bukan anak kandung sungguhan! Papa cuma dianggap anak sama kakek Besar Alesandro. Papa lupa!"

"Diam kamu, Cindy! Papa tetap berharga, dulu waktu Tuan Jonathan sakit, papa yang bolak balik antarkan Tuan Alesandro sampai menang proyek besar!"

"Tapi, Pah! Devano malah kelewatan, dia nyangkanya Elden beneran sepupunya!"

"Justru bagus, dengan begitu papa bisa manfaatkan Devano buat bunuh Elden!"

Pletakk!

Tas kecil yang dipegang Cindy, segera dilemparkan ke arah Jovano. "Papa jahat! Papa gak tau gimana sakitnya aku selama ini nahan buat pura-pura gak suka sama Elden! Papa gak tau apa apa! Papa egois!" keluh Cindy, air matanya terjatuh.

Jovano hanya tertawa licik. "Papa bakalan tetap jadi napi! Papa harus sadar kalo papa cuma pak Parman, jangan papa terus terusan klaim nama Jovano seolah-olah papa sungguhan anaknya kakek Alexandro."

Setelah Cindy berujar demikian, gadis itu pergi. Dia masih tetap sama, kecewa dengan papanya sendiri.

****

Minggu—

Moza duduk di kamarnya. Gadis itu terdiam untuk beberapa saat, dia masih mengingat video Devano yang berada di ponsel pria itu dan dirampas oleh suaminya. Sementara Elden, masih berlatih harpa di ruangan khusus. Yah, saat ini keduanya terakhir berada di apartemen pribadi milik keluarga Pitch. Karena esok, Moza harus kembali pulang ke rumahnya yang sudah di renovasi habis habisan oleh Anera dan Jonathan.

”Kenapa sih, Elden gak coba bicara baik-baik sama Devano? Kalo dia udah gak sayang Mirna, harusnya dia bisa lupakan kesalahan Devano kan? Tapi, kenapa... " Moza menundukkan wajahnya. Entah kenapa dia jadi ikut sedih. Meski memang Moza tak pernah tahu apa fakta yang jelas dibalik itu semua.

Tak lama terdengar suara harpa yang dipetik oleh Elden. Lagunya JTL yang berjudul My Lecon, hanya saja petikannya terdengar melankolis. Moza seketika terbuyar dari lamunannya. Gadis itu penasaran. Dia segera mencari ruangan dimana Elden berada.

Pria itu tampak serius memainkan harpa. Tubuh proporsionalnya duduk di kursi menunduk memainkan harpa.

Mungkin Moza tak melihat bagaimana wajah Elden dengan jelas, tapi Moza bisa merasakan kalo Elden sedang tidak baik-baik saja. Saat ia hendak masuk ke dalam ruangan, Jagur menahannya.

"Maaf Nona, Anda jangan masuk dulu. Tuan Muda tidak mau diganggu."

Moza pun menghela napasnya pelan. "Ke-ke-napa?"

"Maaf Nona. Saya gak tau kenapa, sebaiknya Nona tunggu saja dulu." Jelas Jagur. Moza pun akhirnya mengalah. Gadis itu duduk di ruangan tengah dimana Elden biasa membaca buku.

Moza pun akhirnya mengirimkan pesan pada Elden seketika.

“Katanya, kalo ada masalah, kamu mau cerita. Kenapa kamu bohong?”

Pesan terkirim.

Moza tiba-tiba saja terdiam. Entah kenapa, dia jadi penasaran akan permasalahan yang Elden hadapi? Apa orang kaya seperti Elden bisa punya masalah juga? Bukannya semuanya ada? Sepintas, Moza berpikir pendek, apa rasa sakit Elden akan Mirna masih membekas?

Tak lama Elden kembali. Tanpa basa-basi pria itu duduk setengah berlutut di depan tubuh mungil Moza yang bersandar di kursi sofa. Pria itu menatap ke arah mata Moza dengan penuh cinta.

”Sayang, maaf. Tadi aku memang serius latihan harpa, karena aku harus tampil di acara pertemuan keluarga Minggu depan setelah ujian sekolah.”

Dalam berbicara hal ini, Elden memang seolah tak menyimpan perasaan apapun. Entah sedih atau permasalahan besar. Moza pun akhirnya mengulas senyumnya.

"Yakin? Gak ada masalah?" tanyanya. Elden pun meriah kedua tangan Moza, dan meletakkan tangan mungil itu ke pipinya.

"Gak ada, Sayang. Makasih. Sudah hadir di hidupku. Ajarin aku yuk."

"Belajar apa?"

"Bahasa Inggris,"

"Kamu kan juga pinter?"

"Iya, tapi gak sepintar kamu." Elden mengusap puncak kepala Moza dengan lembut.

"Aku mau ada rewardnya," sahut Moza dengan terkekeh kecil.

"Apa? Minta aja, aku bakalan belikan apa yang kamu mau.”

Moza pun tertawa kecil. Dia menggelengkan kepalanya. "Gak, El. Ayo kita belajar. Aku bakalan kasih beberapa soal di buku, terus kamu kerjakan.”

"Kamu temenin aku kan?"

"Gak, aku mau masakin kamu sesuatu. Sesuai yang aku janjikan beberapa waktu lalu," ucap Moza. Dengan gemas, Elden pun mengangkat tubuh mungil Moza. Moza pun terbelalak. "Elden, ngapain? Turunkan!"

"Sayang, bisa gak terlalu manis? Aku kagum." Sahut Elden. Moza pun menahan senyumnya, tapi dia juga terpesona dengan tatapan Elden.

"Aku mau masak, kamu pasti sok manis biar gak aku buatkan soal bahasa inggris kan?" ledek Moza. Elden pun tersenyum, lalu membawa Moza ke ruangan khusus belajar.

"Aku gak gitu, aku malah pengen ujian aku bagus. Aku mau kamu, Sayang."

Moza pun diturunkan, dia tau pikiran Elden pasti soal perjanjian first night. Tapi, gadis itu juga pandai mengalihkan pembicaraan Elden.

"Yaudah, ayo ini soalnya. Aku mau kamu jawab rinci pakai grammar yang sesuai!" titah Moza yang membuat soal Bahasa inggris. Saat gadis itu menuliskan soal untuk suaminya, Elden terus menatap Moza tanpa berkedip. Dia benar-benar kagum akan Moza, pilihan mamanya tak pernah salah.

Moza yang tau sejak tadi dilihat oleh suaminya dia segera fokus menulis, setelah selesai Moza berpura-pura cuek pada Elden. "Aku mau masak dulu, kalo grammar kamu gak bagus, aku bakalan kasih soal lagi, terus sampai kamu tau."

"Tapi, aku mau makan juga sayang, boleh kan?"

"Gak ada. Kamu kerjain aja! Gak usah makan!" balas Moza. Elden pun tersenyum menggoda Moza. "Terus, kamu masakin aku buat apa?"

"Buat kamu. Kamu gak usah makan sendiri. Aku yang suapin, kamu fokus kerjakan soal yang aku kasih! Denger?" tanya Moza yang lantas membuat Elden tersenyum tipis, pria itu cengengesan dengan ulah manis Moza.

"Kalo itu, soalnya seratus aku juga mau."

Moza pun melempar pensil ke arah Elden. "Dih, giliran disuapin, manjanyaaaa!" Ocehnya. Elden pun menyahut.

"Sebelumnya aku gak pernah manja kok, Sayang,"

"Ke Mirna sekalipun?" Tanya Moza penasaran. Elden pun mengangguk. "Iya, tanyakan aja. Aku cuma begini ke kamu."