Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.
Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.
"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.
Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji di Ujung Usia
Argantara menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi kulit di ruang kerjanya. Ruangan itu kedap suara, dingin, dan sunyi—tempat perlindungan favoritnya dari hiruk-pikuk kampus. Namun hari ini, keheningan itu tidak mampu menenangkan badai di kepalanya.
Bayangan kejadian di ruang kesehatan tadi siang terus berputar seperti kaset rusak.
Wajah pucat Intan.
Teriakan histerisnya.
Dan yang paling mengganggu: tangan laki-laki bernama Rangga yang menopang tubuh istrinya.
"Mas Arga cemburu kan?"
Pertanyaan Intan itu terngiang lagi, mengejeknya. Arga memijat pelipisnya yang berdenyut keras. Cemburu? Omong kosong. Bagaimana mungkin ia cemburu pada bocah ingusan yang baru lulus SMA? Perasaan yang membakar dadanya ini bukan cemburu. Ini adalah rasa frustrasi. Frustrasi karena hidupnya yang tertata rapi, terencana, dan sempurna, tiba-tiba menjadi berantakan karena kehadiran satu gadis kecil.
Arga memutar kursi ke arah jendela besar yang menghadap gedung-gedung pencakar langit Jakarta. Matanya menerawang jauh, bukan menatap pemandangan kota, melainkan menembus lorong waktu. Kembali ke tiga bulan yang lalu. Ke titik awal di mana semua kekacauan ini bermula.
Tiga Bulan Lalu
Aroma itu. Aroma khas rumah sakit—campuran antiseptik, obat-obatan, dan keputusasaan—selalu membuat perut Arga mual.
Langkah kaki Arga menggema di koridor VVIP Rumah Sakit Medika. Ia baru saja mendarat dari Singapura setelah menghadiri konferensi ekonomi internasional ketika mendapat telepon darurat dari ibunya.
Kakek kritis.
Dua kata itu cukup membuat dunia Arga berhenti berputar. Kakek Fauzi adalah segalanya baginya. Sosok ayah, mentor, sekaligus panutan. Ayah Arga terlalu sibuk dengan bisnis tambangnya di Kalimantan, sehingga Kakek Fauzi-lah yang membentuk Arga menjadi pria disiplin dan ambisius seperti sekarang.
Arga mendorong pintu kamar rawat inap itu pelan.
Pemandangan di depannya meremukkan hati. Sosok gagah yang biasa membentaknya jika ia telat bangun subuh itu kini terbaring lemah. Selang infus dan kabel monitor menempel di tubuh rentanya. Suara bip... bip... bip... dari mesin EKG menjadi satu-satunya musik di ruangan itu.
"Kek..." panggil Arga lirih, mendekat ke tepi ranjang.
Mata tua itu terbuka perlahan. Ada senyum tipis di bibir pucatnya saat melihat cucu kesayangannya datang.
"Arga... kamu sudah pulang," suaranya parau, nyaris tak terdengar.
Arga menggenggam tangan kakeknya yang terasa dingin dan keriput. "Arga di sini, Kek. Arga sudah panggil dokter spesialis terbaik dari Singapura. Kakek pasti sembuh."
Kakek Fauzi menggeleng lemah. "Waktunya Kakek sudah tidak banyak, Ga. Jangan buang-buang uang untuk tubuh yang sudah rusak ini."
"Jangan bicara begitu," potong Arga tegas, menahan desakan air mata.
"Dengar..." Kakek Fauzi meremas tangan Arga dengan sisa tenaganya. "Ada satu hal yang mengganjal hati Kakek. Satu hal yang membuat Kakek takut menghadap Tuhan."
Arga mencondongkan tubuhnya. "Apa itu, Kek? Katakan. Arga akan lakukan apa pun. Arga akan belikan apa pun."
"Bukan harta," bisik Kakek. "Tapi janji."
Kakek Fauzi mengambil napas panjang yang berat. "Dulu, saat perusahaan Kakek hampir bangkrut dan Kakek dituduh korupsi, ada satu orang yang pasang badan. Dia jual tanah warisannya untuk menutupi hutang Kakek. Dia yang menyelamatkan nama baik keluarga kita, Ga. Haryanto."
Arga mengernyit. Ia pernah mendengar nama itu sekilas, sahabat lama kakeknya yang hidup sederhana.
"Kami membuat ikrar," lanjut Kakek, matanya mulai berkaca-kaca. "Untuk menyatukan cucu kami dalam pernikahan. Sebagai tanda persaudaraan abadi. Sebagai cara Kakek membalas budi yang tak terbayar itu."
Darah Arga berdesir. Firasat buruk mulai menyelimutinya.
"Maksud Kakek?"
"Menikahlah dengan cucu Haryanto. Namanya Intan. Intan Puspita Dewi."
Arga terdiam kaku. Ia menarik tangannya perlahan, seolah tersengat listrik.
"Kek, ini bukan zaman Siti Nurbaya," tolak Arga halus namun tegas. "Arga punya rencana hidup sendiri. Arga mau ambil S3 di London tahun depan. Arga belum mau menikah, apalagi dengan orang yang tidak Arga kenal."
"Dia anak baik, Ga..."
"Berapa umurnya?" potong Arga.
Kakek terdiam sejenak. "Tujuh belas tahun. Baru mau masuk kuliah."
Arga berdiri tegak, tertawa tak percaya. Tawa yang getir. "Tujuh belas tahun? Kek, itu anak kecil! Usia kami beda sepuluh tahun. Dia baru lulus SMA, masih labil, masih main-main. Kakek mau Arga menikahi bocah?"
"Arga!" sentak Kakek Fauzi, batuk-batuk hebat setelahnya. Monitor EKG berbunyi lebih cepat.
Ibu Arga yang duduk di sofa menangis, memohon pada Arga lewat tatapan mata. Turuti saja, Arga. Tolong.
"Ini bukan permintaan, Arga," ucap Kakek setelah napasnya stabil, air mata menetes dari sudut matanya. "Ini amanat terakhir. Kakek tidak akan bisa meninggal dengan tenang kalau janji ini belum lunas. Kamu mau Kakek membawa hutang janji ini sampai ke liang lahat?"
Kalimat itu adalah skakmat.
Arga menatap sosok rapuh di hadapannya. Ia melihat pria yang membiayai kuliahnya, yang mengajarinya naik sepeda, yang selalu membanggakannya di depan kolega. Dan kini, pria itu memohon dengan air mata demi sebuah kehormatan masa lalu.
Logika Arga berteriak menolak. Menikahi gadis 17 tahun adalah bunuh diri bagi karier dan kebebasannya. Ia butuh pasangan yang setara, wanita karier yang dewasa, bukan mahasiswi yang harus ia bimbing dari nol.
Tapi hati nuraninya kalah. Ia tidak bisa menjadi cucu durhaka yang membiarkan kakeknya pergi membawa penyesalan.
Dengan rahang mengeras dan hati yang hancur, Arga mengangguk kaku.
"Baik, Kek," ucapnya, suaranya terdengar seperti vonis hukuman mati bagi dirinya sendiri. "Arga akan menikahi dia. Tapi demi Allah, Arga melakukan ini hanya untuk Kakek. Bukan untuk dia, bukan untuk cinta."
Kakek Fauzi tersenyum lega, air matanya menetes semakin deras. "Terima kasih, Nak. Terima kasih."
Seminggu kemudian, kondisi Kakek membaik secara ajaib—seolah beban hidupnya telah diangkat. Namun bagi Arga, beban itu baru saja berpindah ke pundaknya.
Ia ingat hari pertama ia melihat foto Intan yang diberikan oleh ibunya. Foto gadis remaja dengan seragam SMA putih abu-abu, tersenyum lebar sambil memegang bubble tea. Wajahnya polos, ceria, dan sangat... kanak-kanak.
"Apa yang bisa dibicarakan dengan anak seperti ini?" gumam Arga saat itu, melempar foto tersebut ke meja kerjanya. "Dia akan menghancurkan hidupku."
Sejak saat itu, kebencian tumbuh. Bukan benci pada sosok Intan secara personal, tapi benci pada keadaan. Benci pada fakta bahwa ia terjebak. Ia merasa Intan adalah simbol dari hilangnya kebebasan Arga. Simbol dari kegagalannya menentukan jalan hidup sendiri.
Setiap kali melihat Intan, Arga tidak melihat seorang istri. Ia melihat "hutang budi" yang berjalan. Ia melihat rantai yang mengekangnya.
Itulah sebabnya ia bersikap dingin. Ia membangun tembok tinggi agar tidak perlu terlibat emosi. Ia berpikir, jika ia bersikap jahat, Intan akan membencinya, dan pernikahan ini akan tetap menjadi sekadar status di atas kertas tanpa melibatkan hati. Itu cara Arga melindungi kewarasannya.
Kembali ke Masa Kini
Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan Arga.
"Masuk," perintahnya.
Seorang Office Boy masuk dengan ragu, membawa nampan berisi kopi hitam. "Permisi, Pak Arga. Kopinya."
"Taruh di situ. Keluar," usir Arga tanpa menoleh.
Setelah pintu tertutup, Arga menatap pantulan wajahnya di kaca jendela yang mulai gelap karena senja. Wajah itu terlihat lelah.
Kejadian kemarin pagi berputar lagi. Saat ia membentak Intan soal nasi goreng. Saat ia melihat mata gadis itu berkaca-kaca namun menahan tangis. Dan hari ini, saat gadis itu pingsan karena ulahnya.
"Saya berlebihan," gumam Arga pada bayangannya sendiri. Pengakuan itu keluar begitu saja.
Ia sadar, Intan hanyalah korban sama sepertinya. Gadis itu juga dipaksa. Gadis itu juga kehilangan masa mudanya. Bedanya, Intan mencoba berbakti dengan memasakkan nasi goreng (meskipun baunya menyengat), sementara Arga membalasnya dengan penghinaan.
Arga merogoh saku jasnya, mengeluarkan ponsel. Jarinya melayang di atas kontak bernama 'Intan (Maba)'.
Ia ingin mengetik pesan. Mungkin sekadar bertanya, 'Sudah sampai rumah?' atau 'Sudah makan?'.
Namun, egonya kembali mengambil alih. Jempolnya berhenti bergerak. Gengsinya sebagai dosen, sebagai laki-laki dewasa yang mapan, menahannya. Jika ia berbaik hati sekarang, Intan akan besar kepala. Intan akan berpikir ia menang.
Dan Arga benci kalah. Terutama dari Rangga-Rangga itu.
"Biar saja," Arga mematikan layar ponselnya dan memasukkannya kembali ke saku. "Dia butuh pelajaran tentang mentalitas. Dunia tidak seindah drama Korea."
Arga meraih jasnya, bersiap pulang. Namun, sebelum keluar ruangan, ia menelepon sekretaris pribadinya.
"Halo, Rina. Tolong carikan kontak katering makanan sehat yang bisa delivery harian. Menu lengkap, 4 sehat 5 sempurna. Kirim ke alamat apartemen saya mulai besok pagi. Jangan pakai nama saya, bilang saja dari... fasilitas kampus."
Arga menutup telepon. Itu bukan perhatian, batinnya menyangkal. Itu hanya manajemen aset. Ia tidak mau "aset" berupa istri pajangan itu rusak dan membuatnya repot bolak-balik rumah sakit.
Dengan langkah tegap, Argantara keluar dari ruangannya. Ia siap pulang ke "neraka" sunyi yang ia ciptakan sendiri, tanpa menyadari bahwa benteng pertahanan yang ia bangun dengan susah payah mulai retak sedikit demi sedikit oleh rasa bersalah.
makan tuh gengsi Segede gaban😄